Thursday, November 29, 2007,1:36 PM
Urip Herdiman Kambali

IA YANG JATUH CINTA PADA KARNA

Nama Urip Herdiman Kambali relatif masih baru di jagat sastra Nusantara. Namanya praktis baru mulai sering dibincang sejak buku kumpulan puisinya, Meditasi Sepanjang Zaman di Borobudur, berhasil menjadi salah satu finalis Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun lalu. Melalui buku yang dicetak dengan biaya sendiri itu, Urip melenggang mantap, terjun ke arena puisi.

“Tetapi sebetulnya saya sudah menulis puisi sejak SMA”, katanya memulai kisah. Itu berarti antara tahun 1981-1984. Tak sekadar menulis, ia pun pernah pula mengikuti lomba baca puisi serta aktif di beberapa komunitas sastra, seperti Gorong-Gorong Budaya dan Apresiasi Sastra. Putra kedua pasangan Kresno Kambali dan Soebijarsinih Soehoed–keduanya telah almarhum–ini mengaku tertarik pula pada filsafat dan wayang. Rumitnya filsafat sempat membawa Urip singgah sejenak menekuni ibu segala ilmu tersebut di STF Driyarkara meski tak selesai (1992-1993). Dua tahun sebelumnya, penggemar berat sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Joko Pinurbo ini, menamatkan kuliahnya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1990).

Adapun wayang adalah yang memunculkan gagasan di kepala lelaki berusia 42 tahun ini untuk menerbitkan antologi puisinya yang kedua. Buku yang diluncurkan pada 9 November 2007 lalu diberi judul Karna, Ksatria di Jalan Panah. Acara launching-nya berlangsung di Café Omah Sendok, Jakarta Selatan. Dihadiri segenap sahabat dan kerabat Urip dari berbagai kalangan, termasuk pendukung utamanya: teman-teman di Perkumpulan Meditasi Bali Usada.

Telah lama pegawai media internal di sebuah BUMN ini menggeluti meditasi ala buddhis. Di perkumpulan ini pula Urip memperoleh bantuan dana bagi penerbitan buku puisinya tersebut yang memakan biaya lebih dari sepuluh juta rupiah.

“Meskipun saya pernah masuk lima besar KLA 2006, tetapi ternyata bukan jaminan bisa dengan mudah menembus para penerbit”, ujar Urip dengan wajah prihatin.

Demikianlah adanya kenyataan di negeri ini. Puisi belum mendapat tempat yang “layak” di ranah sastra kita. Layak di sini bermakna tidak banyak penggemar (pembaca), tidak seperti prosa. Sehingga para penerbit mesti berhitung dengan sangat cermat sebelum memutuskan untuk menerbitkan sebuah buku puisi. Lantaran itulah Urip lantas memilih menerbitkan sendiri karyanya secara swadaya dan swadana.

Menyangkut perkara ide sebuah puisi, Urip bisa memulungnya dari mana saja. Namun, khusus untuk buku-buku yang telah dan kelak akan diterbitkannya, ia menciptakan sajak-sajak tematis yang dipikirkan dan direncanakan masak-masak. Antologi tematis seperti Karna ini merupakan salah satu obsesinya dalam berpuisi.

Dan tentang Karna, Urip mendapatkan ilhamnya pertama kali usai membaca Mahabharata hasil gubahan Purwadi sekitar dua tahun silam. Saat itu, pria kurus kelahiran 15 Juli 1965 ini baru ngeh dan merasa jatuh cinta pada karakter si “Anak Haram”, Karna yang gugur secara ksatria di tangan Arjuna di medan perang Bharata Yudha.

Sesungguhnya, pewayangan bukanlah barang baru dan asing bagi Urip. Sejak kecil ia telah dikenalkan oleh sang ayah kepada kesenian ini. Pun ia juga melahap dengan rakusnya kisah-kisah wayang tersebut lewat majalah Si Kuncung yang terbit pada 1970-an serta versi komik Mahabharata karya R.A.Kosasih yang legendaris itu. Belakangan, bacaannya tentang wayang (Mahabharata dan Ramayana) meluas hingga ke banyak versi. Misalnya, versi India karya P.Lal terbitan Balai Pustaka. Dari kitab-kitab yang dibacanya itu, urip menemukan beberapa perbedaan yang mencolok dan bertolak belakang, khususnya pada tokoh Karna.

Dalam versi India, dituturkan bahwa tidak banyak yang tahu Karna itu sebenarnya adalah saudara seibu dengan Pandawa Lima. Ibu mereka, Kunti, sebelum kawin dengan Pandu Dewanata, telah lebih dulu melahirkan Karna dari hasil hubungan cinta dengan Batara Surya. Sementara menurut lakon wayang Jawa, para Pandawa dan Karna telah mengetahui bahwa mereka adalah kakak beradik.

Setelah melalui perenungan yang dalam, Urip memutuskan untuk setia pada alur kisah dari negeri Mahatma Gandhi. Pertimbangannya semata-mata demi dramatika cerita dan mendapatkan efek puitik untuk sajak-sajaknya. Maka, lahirlah 23 puisi bertopik Karna, sejak kelahiran hingga ajalnya. Semua terangkum dalam buku yang sudah disebut di atas tadi.

Nah, sebagaimana yang dicita-citakannya, kini Urip telah mulai merancang buku antologi puisi selanjutnya. Kepinginnya sih bisa terbit secara berkala setiap dua tahun. Di benaknya telah ada konsep tema “mimpi dalam mimpi” yang menunggu direalisasikan. Akankah Urip sanggup terus tegar berkecimpung bersama puisi-puisi yang telah menjadi “jalan hidup”-nya, kendati, seperti kata Wayan Sunarta, nasib puisi (di negeri ini masih) seperti kisah Karna? Semoga saja….***

Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤