Tuesday, October 23, 2007,9:40 PM
MEREKA KINI TERBARING, TETAPI BUKAN TIDUR, SAYANG…

Empat hari menjelang Idul Fitri, tepatnya Sealas, 9 Oktober 2007, kita dikejutkan oleh sebuah berita duka: penyair Toto Sudarto Bachtiar telah berpulang ke rahmatullah pada pukul 06.00 WIB di kediaman seorang kerabatnya di Banjar, Ciamis, Jawa Barat. Penyair Angkatan ’45 ini tutup usia hanya beberapa hari menjelang ulang tahunnya yang ke-79 tahun. Beliau dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, pada 12 Oktober 1929.

Almarhum Toto Sudarto Bachtiar adalah penyair Angkatan ’45 yang cukup banyak menulis puisi-puisi perjuangan di masa kemerdekaan dulu bersama rekannya Si Binatang Jalang, Chairil Anwar. Salah satu puisinya yang sangat terkenal adalah Pahlawan Tak Dikenal yang dibuatnya sepuluh tahun setelah kemerdekaan (1955). Sepanjang kiprah kepenyairannya, ia baru menerbitkan dua buku kumpulan puisi saja, yakni Suara (1956) dan Etsa (1958).

Selain menulis puisi, bapak satu orang putri ini juga seorang penerjemah yang lumayan produktif. Karya-karya terjemahannya antara lain: Pelacur (Jean Paul Sartre;1954), Sulaiman yang Agung (Harold Lamb;1958), Bunglon (Anton Chekov;1965), Bayangan Memudar (Breton de Nijs; 1975), Pertempuran Penghabisan (Ernest Hemingway;1976), dan Sanyasi (Rabindranath Tagore; 1979).

Pujangga yang di masa tuanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan beternak ikan gurame ini, meninggalkan Zainar (istri), Sri Adilla Perikasih (anak), serta dua orang cucu. Beliau dimakamkan di TPU Gumuruh, Lengkong, Bandung.

Hanya berselang empat hari kemudian (13 Oktober 2007), sekali lagi kita menerima berita duka lainnya. Kali ini tentang wafatnya seorang sastrawati yang juga terkenal sebagai aktivis perempuan, Marianne Katoppo (64). Perempuan kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, 9 Juni 1943 ini, memiliki nama lengkap Henriette Marianne Katoppo. Beliau meninggal dalam perjalanan ke RS Azra, Bogor, akibat serangan jantung.

Sebagai novelis, ia dikenal dengan karya fiksinya yang berjudul Raumanen (1977) selain sebagai seorang feminis teolog. Raumanen yang memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (1975) ini juga memperoleh penghargaan lain, seperti: Hadiah Yayasan Buku Utama (1978) dan SEA Write Award dari Ratu Sirikit (1982). Novelnya yang lain adalah Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta (1977), Terbangnya Punai (1978), dan Rumah Di Atas Jembatan (1981). Dan seperti halnya Toto Sudarto, Marianne juga menerjemahkan novel-novel asing, antara lain : Malam (Elie Wiesel) dan Lapar (Knut Hamsun).


Adapun selaku pemikir feminis, karyanya yang gemilang adalah sebuah buku nonfiksi bertajuk Compassionate and Free (1979). Buku yang ditulis dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa ini, justru baru pada tahun 2007 diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia. Konon, karyanya ini banyak dipakai sebagai text book mata kuliah teologi feminis.

Dalam kenangan sastrawan Budi Darma, Marianne Katoppo adalah seorang perempuan yang sangat teguh berprinsip, keras, dan vokal. Keteguhan prinsip ini tampak jelas terlihat dalam Compassionate and Free. Dalam karyanya tersebut, anak bungsu dari sepuluh bersaudara ini, memilih untuk tetap menjadi “liyan” (yang lain), tetap menjadi perempuan. Menurutnya, menjadi “yang lain” bukanlah ancaman keserasian bagi lelaki. Pengalaman menjadi liyan adalah pengalaman mengalienasi diri ketika perempuan tidak berbeda dengan lelaki. Dalam masyarakat patriarki, untuk bisa maju, perempuan harus terlebih dulu menjadi laki-laki dan berhenti menjadi “yang lain” itu. Marianne menegaskan, bahwa sebetulnya para lelaki tidak perlu merasa terancam oleh keberadaan perempuan atau “yang lain” itu. Jika perempuan menuntut persamaan hak, itu lantaran pada dasarnya perempuan adalah manusia juga, sama seperti lelaki.

Ya.. mereka, Toto Sudarto Bachtiar dan Marianne Katoppo, kini telah terbaring dalam tidur panjang yang damai. Selamat jalan, Pak Toto. Selamat jalan, Bu Marianne…***

Endah Sulwesi
(Naskah diolah dari berbagai sumber
)
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Saturday, October 13, 2007,12:44 AM
SELAMAT IDUL FITRI

UNTUK KATA YANG SERING SALAH,

UNTUK TINGKAH YANG TAK SEMPURNA,

SERTA LAKU YANG KERAP KELIRU

AKU MEMOHON MAAF LAHIR DAN BATIN



SELAMAT IDUL FITRI!

endah sulwesi , 1 syawal 1428 H




 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Sunday, October 07, 2007,10:32 PM
Peluncuran Buku : "168 JAM DALAM SANDERA"

Kita semua tentu masih ingat peristiwa penculikan yang menimpa dua orang jurnalis Metro TV, Meutya Hafid (reporter) dan Budiyanto (juru kamera), oleh Kelompok Mujahidin Irak (Jaish al Mujahideen) pada 15 Februari 2005. Selama 168 jam mereka disandera di sebuah gua di tengah gurun pasir Ramadi. Tak kurang dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono turut mengupayakan pembebasan bagi keduanya.

Meutya Hafid, wanita kelahiran 3 Mei 1978 itu, bergabung dengan Metro TV sejak akhir tahun 2000. Mulanya, sarjana Teknik Industri lulusan University of New South Wales, Australia ini, tak pernah membayangkan akan berkarier sebagai jurnalis. Ia memulainya dari nol sebagai reporter dan pembawa acara e-Lifestyle, gaya hidup era digital di stasiun TV tersebut.

Penugasan Meutya ke Irak adalah untuk meliput secara langsung pelaksanaan pemilu bebas pertama pasca kejatuhan Saddam Hussein. Situasi politik dan keamanan Irak pada masa tersebut sangatlah rawan. Tak ada yang bisa menjamin keselamatan para jurnalis yang bertugas di sana. Apa yang dialami oleh Meutya dan rekannya itu merupakan sebuah risiko pekerjaan.

Bagi Meutya, peristiwa penyanderaan dirinya itu tentu sebuah pengalaman berharga dalam sepanjang hidupnya. Sudah lama ia berniat untuk menuliskannya. Namun, karena kesibukan dan lain-lain, baru terwujud dua tahun setelahnya. Buku yang diberi judul 168 Jam Dalam Sandera itu, akhirnya diluncurkan pada Jumat, 28 September 2007 di Ruang Prambanan Hotel Sahid Jaya, Jakarta.

Pada kesempatan tersebut hadir Rosihan Anwar (wartawan senior), Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), Don Bosco Selamun (Komisi Penyiaran Indonesia), serta Dian Sastrowardoyo (artis) selaku pembicara. Semua pembicara menyampaikan pujian untuk buku non fiksi ini. Bahkan, secara khusus Rosihan Anwar berujar bahwa buku tersebut wajib dibaca oleh para jurnalis Indonesia.

Acara peluncuran yang dilanjutkan dengan diskusi buku itu tampak dihadiri pula oleh sejumlah tokoh masyarakat, di antaranya Dien Syamsudin (Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan Haidar Bagir (Mizan Group).

Dalam ucapan terima kasihnya, Meutya antara lain mengutarakan, bahwa peristiwa selama 168 jam yang dialaminya telah membuatnya belajar tentang kepasrahan total kepada Yang Maha Kuasa. Di saat-saat yang dirasanya begitu dekat dengan kematian, ia baru menyadari betapa nyawa amatlah berharga dibandingkan berita sepenting apapun dan tak ada sesiapa yang dapat menolongnya kecuali atas kehendak Tuhan.

Buku ini merekam secara filmis adegan demi adegan yang dialami Meutya dan Budi sejak diculik di sebuah pompa bensin di Ramadi hingga disekap di gua dan kemudian dibebaskan tanpa tuntutan apapun. Sebagai sebuah memoar, buku ini menjadi menarik karena dituturkan dengan gaya bercerita orang pertama (aku).

Selain Meutya, penulisan buku ini juga melibatkan tim penulis pendamping yang terdiri dari Mauluddin Anwar, A.Latief Siregar, dan Ninok Laksono serta Hermawan Aksan (cerpenis/novelis) selaku editor. Buku ini diterbitkan oleh Hikmah, salah satu penerbit yang tergabung dalam Grup Mizan.***

Endah Sulwesi 7/10
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments