Sunday, February 25, 2007,11:53 PM
BERAWAL DARI PETRUK – GARENG DAN LAYAR (PUN) TERKEMBANG
Hernadi Tanzil adalah nama yang belakangan ini akrab di kalangan pencinta buku, khususnya sastra (fiksi). Bukan, ia bukan penulis fiksi. Ia bahkan belum pernah satu kalipun menulis cerpen (cerita pendek). Tetapi ia seorang pelahap buku yang rakus. Nyaris segala rupa buku dikunyah, ditelan, kemudian “dimuntahkannya” kembali dalam bentuk resensi. Ya, pria bertubuh jangkung yang kerap disapa dengan Tanzil saja ini, adalah penulis resensi.

Tulisannya telah banyak mengisi kolom-kolom resensi buku di koran-koran dan majalah. Kepada PARLE, ayah dari Sherine Analicia (6) ini berkenan membagi kisahnya.

Sejak di Sekolah Dasar, ia telah senang membaca. Sepanjang ingatannya, buku pertama yang dibacanya adalah komik Petruk & Gareng. Selanjutnya, ia juga membaca majalah Bobo, komik Mahabarata karya R.A.Kosasih, komik-komik karya Ganes Th, Lima Sekawan, Agatha Christie, dan masih banyak lagi lainnya. Barulah ketika di SMP-SMA, ia berkenalan dengan karya-karya sastra klasik terbitan Balai Pustaka.

“Tapi, saya baru benar-benar serius membaca buku sastra yang sesungguhnya saat saya mulai bergabung dengan beberapa milis perbukuan”, ujarnya, “Tepatnya pada tahun 2000, ketika saya untuk pertama kalinya ikut milis Pasarbuku”, tambah Tanzil sembari mengingat-ingat.

Sejak itulah Tanzil lantas aktif menulis resensi. Mulanya, hanya berupa komentar-komentar singkat tentang buku yang dibacanya. Ternyata, tulisannya menarik perhatian redaksi majalah Djakarta!Magazine. Ia lalu mendapat tawaran untuk mengisi rubrik resensi di malajah tersebut. Buku pertama yang diresensinya yaitu Siddharta (Herman Hesse).

Sejatinya, Tanzil telah senang menulis sejak SMP. Tak mengherankan jika ia mengaku bahwa pelajaran favoritnya adalah Bahasa Indonesia. Ada pengalaman paling berkesan bagi penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer ini semasa SMP. Waktu itu, guru bahasa Indonesianya memberi tugas menulis rangkuman buku Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisyahbana). Dan ia mendapat nilai bagus disertai komentar “sangat memuaskan!” dari sang guru.

Kini, pemilik tubuh berbobot 78 kg dan tinggi 173 cm ini, telah menjadikan pekerjaan menulis resensi sebagai sebuah “kewajiban”. Setidaknya, ia mengharuskan dirinya membuat satu resensi setiap minggunya untuk diposting di blognya : (www.bukuygkubaca.blogspot.com) serta milis-milis yang diikutinya, antara lain : Pasarbuku dan Apresiasi Sastra. Cukup banyak juga resensi yang sudah dibuatnya. Mendekati angka 100!

Selain imbalan materi, berkat ulasan-ulasannya, Tanzil juga sering mendapat kiriman buku-buku gratis dari berbagi penerbit yang ingin bukunya diresensi. Sudah pasti hal itu membuatnya senang. Namun, saking banyaknya buku yang diterima, kadang-kadang ia jadi pusing juga melihat tumpukan buku-buku tersebut. Sebab, kesibukannya sebagai Kepala Bagian Akuntansi di sebuah pabrik kertas di Bandung, sering menyita waktu membacanya. “Jujur saja, kalau sudah begini saya jadi stres dan merasa nggak enak sama penerbit-penerbit itu. Ha..ha..ha..”, katanya sambil melepas tawa.

Sebagaimana para penulis umumnya, Tanzil pun diam-diam menyimpan harapan dan keinginan satu hari nanti ia bisa punya buku hasil karyanya sendiri. Entah itu berupa buku fiksi atau pun non fiksi. Cita-cita yang mulia. Sama mulia dengan niatnya untuk terus menekuni urusan meresensi ini.

“Saya ingin membantu para calon pembeli/pembaca buku agar lebih selektif dalam memilih buku yang akan dibelinya karena harga buku sekarang kian mahal saja. Mudah-mudahan ulasan buku yang saya buat bisa membantu mereka dalam menentukan pilihan”. Agaknya, itu lantaran Tanzil juga berangkat dari pengalaman yang kurang lebih sama.

Ia suka sekali membaca tulisan-tulisan kritis Katrin Bandel dan Anwar Holid. Ia mengaku belajar banyak dari karya-karya kedua pengamat sastra itu. “Saya ingin dapat menulis sebaik mereka”, kata pengagum Karl May ini menutup kisahnya.

Profil singkat :

Nama lengkap : Hernadi Tanzil
Tgl lahir : 5 November 1970
Istri : Evy Triana
Anak : Sherine Analicia Tanzil
Pendidikan : S1 Akuntansi


Endah Sulwesi 19/2
 
posted by biru
Permalink ¤ 2 comments
Saturday, February 17, 2007,11:05 PM
Peluncuran "Burung Kolibri Merah Dadu"
Dengan ditandai sapuan cat pada selembar kanvas kosong, Rabu malam, 14 Februari 2007 yang silam, Kurnia Effendi meluncurkan buku kumpulan cerpennya terbaru : Burung Kolibri Merah Dadu terbitan C/Publishing. Antologi yang memuat 14 cerpen cinta ini adalah buku Kurnia Effendi yang kelima. Acara tersebut berlangsung di toko buku MP Book Point di bilangan Jeruk Purut, Jakarta Selatan.

Hajatan digelar sejak pukul 19.00 WIB. Berlangsung lumayan meriah di pelataran belakang toko buku yang juga merangkap kafe itu. Hadirin memenuhi seluruh kursi yang tersedia, bahkan banyak pula yang dengan rela berdiri sampai acara bubar. Mereka sebagaian besar adalah para sahabat Kurnia Effendi yang berasal dari berbagai kalangan (sastrawan, pers, pengusaha, dan rekan-rekan kerjanya di sebuah perusahaan otomotif).

Tampak di antara tetamu itu Budi Darma, Triyanto Triwikromo, AS.Laksana, dan Nugroho Suksmanto. Nama yang terakhir ini beberapa waktu lalu pun baru melepas karyanya yang berjudul Petualangan Celana Dalam.

Turut mengisi acara adalah Wulan Guritno (artis sinetron), Feby Indirani (novelis), Ryana Mustamin (cerpenis), dan Anya Rompas (aktivis milis puisi Bunga Matahari). Keempat wanita tadi masing-masing tampil membacakan cuplikan cerita pendek dari buku yang diluncurkan malam itu.Selaku pembicara adalah Arya Gunawan.

Ada pula duet Ari-Reda yang memukau hadirin-hadirat. Mereka melantunkan tiga buah puisi Sapardi Djoko Damono dan satu lagu yang khusus digubah dari sajak karya Kurnia Effendi. Judulnya sama persis dengan judul bukunya : Burung Kolibri Merah Dadu.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama sejumlah lukisan karya Indra Gunadarma ikut dipamerkan di dinding-dinding toko buku dan kafe.


Endah Sulwesi 16/2
 
posted by biru
Permalink ¤ 3 comments
Wednesday, February 14, 2007,10:57 AM
Wawancara dengan Kurnia Effendi
Menjelang peluncuran buku Burung Kolibri Merah Dadu (BKMD), tanggal 14 Februari 2007, jam 19.00 di MP Book Point, Jl. Puri Mutiara Raya 72, Jakarta Selatan; Endah Sulwesi mewawancara pengarangnya, Kurnia Effendi. Di antara hari-hari hujan, perbincangan tertulis antara Endah dan Kef tetap berlangsung, sebagaimana tertuang di bawah ini untuk pembaca PARLE:

Sejak awal kepenulisan anda, tema cinta telah lekat dengan cerpen-cerpen anda. Pertanyaannya klasik, mengapa cinta?

Karena di negeri ini, atau di bumi ini, cinta belum selesai. Ah, jawabannya terasa sebagai jargon ya? Sebenarnya karena saya merasa bahwa hidup ini tak akan tumbuh tanpa cinta. Bahkan sejak Tuhan menciptakan manusia pertama. Rasanya mustahil sebuah penciptaan tidak didasari cinta. Namun demikian, cinta tidak sepenuhnya lurus dan mendapatkan tempat yang tepat. Kondisi seperti itu selalu menggoda saya untuk menuliskannya.

Ada tujuan khususkah diterbitkannya buku Burung Kolibri Merah Dadu ini? Siapa sebenarnya segmen pembaca yang disasar?

Tujuan khusus sebenarnya ingin memberi trigger atau pemicu untuk “mengumpulkan” teman-teman lama melalui sebuah nostalgia dengan cerpen-cerpen tahun 80-an. Tapi kemudian berkembang sekaligus menjadi catatan jejak karier kepengarangan saya hampir sepanjang 3 dekade. Ah, jadi terdengar sudah tua ya? Karena tema cinta yang dihimpun di sana, alangkah seru diluncurkan pada tanggal 14 Februari yang secara universal dianggap hari kasih sayang. Soal sasaran, akhirnya semua usia yang gemar dengan cerita cinta, sebab dalam buku itu tidak hanya memasang cerita tahun 80-an, termasuk cerita tahun 2000-an juga.

Jika hendak dibandingkan dengan karya-karya bertema cinta remaja yang ada sekarang, cerpen-cerpen anda terasa “berbeda“. Bagaimana memandang “perbedaan” ini?

Sebenarnya secara esensi antara cerpen remaja tahun 80-an tidak berbeda dengan teenlit hari ini, mengolah gejolak cinta yang masih terombang-ambing antara idealisme dan kepentingan pihak ketiga: orang tua, guru, penjaga moral, dsb. Yang membedakan ada dua hal. Pertama, cara ungkapnya. Di masa lalu masih menggunakan bahasa yang cenderung puitis, tertib sebagai bahasa tulis. Sedangkan sekarang nyaris tidak berbeda antara bahasa lisan dan tulisan, seperti halnya saat kita mencurahkan isi hati ke dalam buku harian. Mengenai tema yang masih berkisar pada romantika cinta remaja, latarnya berkembang sesuai dengan zaman. Kedua, dengan kelahiran teknologi informasi, sisi keindahan hubungan antarmanusia pun berubah. Mungkin tak ada lagi debaran hati saat menunggu datangnya surat dari kekasih, dan terasa mustahil jika janjian di suatu lokasi ternyata salah waktu dan keliru titik pertemuan… bukankah kini ada HP yang akan menuntun mereka pada akurasi janji? Tapi masing-masing, pada zamannya, akan terasa sebagai “gue banget“. Mudah-mudahan, buku BKMD ini menjadi referensi bagi remaja masa kini, bahwa dulu pernah ada cerita remaja dengan gaya ungkap yang berbeda.

Dalam menulis cerpen, mana yang lebih anda pentingkan: tema atau gaya pengucapan?

Keduanya penting bagi saya. Dalam menulis cerita, saya lebih dulu menemukan judul. Dengan demikian saya akan mencari tema yang pas untuk judul itu. Lantas, karena tema sentralnya selalu bertumpu pada cinta, saya mendeskripsikannya dengan cara yang mudah-mudahan romantis. Dalam proses menulis, saya kerap mencari nuansa “melodius“ untuk sebuah paragraf.

Pernahkah mengalami kebuntuan ide?

Tentu pernah. Dari jam terbang kepengarangan, saya mulai tahu bagaimana cara mengatasinya. Mau tahu? Itu perlu sebuah kelas, hehe. Atau baca proses kreatif saya di blog http://www.sepanjangbraga.blogspot.com/

Menurut anda, apakah di negeri kita seseorang akan dapat hidup layak hanya sebagai penulis?

Jawabnya bisa ya dan tidak. Jika melihat Marga T yang telah menembus penjualan 1 juta buku atau Hilman Hariwijaya pencipta Lupus (nama tokoh utama dalam serial cerita remaja di Majalah "Hai" dan pernah sangat populer pada era 80-an. - red), rasanya tak ada masalah dengan hidup melalui tulisan. Tapi tentu ada kontribusi yang kuat juga dari penerbit, upaya promosi, dan fans club, dalam membangun citra yang ujung-ujungnya pada penjualan buku. Royalti secara umum kan hanya 10% dari harga jual. Tapi kita tahu, sebagian besar pengarang di negeri ini masih bersandar pada pekerjaan formal atau kegiatan lain.

Sebenarnya, siapa sih penulis favorit anda?

Penulis favorit? Bisa banyak sekali, karena saya lebih terpikat kepada karya ketimbang pengarang yang kadang-kadang mengalami pasang surut dalam berkarya. Misalnya saya menggemari Olenka karya Budi Darma, sejumlah novel Alistair MacLean, cerpen-cerpen Katyusha di masa lalu. Sedangkan untuk puisi, sejak awal saya merasa nikmat membaca karya Acep Zamzam Noor dan Goenawan Mohamad.

Terakhir, sampai kapan anda akan terus menekuni dunia sastra ini?

Menekuni dunia sastra tentu ada dua macam, membaca dan menulis. Keduanya akan terus menjadi bagian hidup saya. Saya akan terus menulis sepanjang saya masih mampu menulis. Bahkan ada semacam cita-cita, setelah “pensiun” dari pekerjaan formal akan total menjadi penulis. Bukankah saya masih “berutang” banyak kepada para calon pembaca untuk membayarnya dengan tulisan, setelah saya membaca kehidupan ini?

Endah Sulwesi 11/2
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Sunday, February 11, 2007,9:54 PM
REDA GAUDIAMO : “….agar orang belajar menyukai dan mencintai puisi…”
Salah seorang personel Ari-Reda adalah Reda Gaudiamo. Perempuan kelahiran Surabaya 44 tahun silam ini sejak kecil telah gemar menyanyi. Bersama ibunda tercinta, ia kerap bernyanyi bersama sembari mengerjakan pekerjaan rumah tangga ( memasak, menjahit, atau menyetrika baju). Semasa kuliah di Fakultas Sastra UI jurusan Sastra Prancis, ia menyanyi sebagai upaya lepas sejenak dari urusan pelajaran yang, menurutnya, membosankan. Dan sekarang, menyanyi baginya merupakan terapi mengurangi stres dan rasa lelah seusai bekerja. “Kalau kelamaan nggak nyanyi, saya jadi gelisah”, ujar ibu dari Soca Sobhita (14) ini. Di tengah kesibukannya bekerja sebagai konsultan media cetak, Reda masih sempat kuliah lagi di Program Pascasarjana FISIP UI jurusan Manajemen Komunikasi.

Di bawah ini adalah wawancara kami dengannya melalui surat elektronik seputar album Becoming Dew dan kegiatannya berkesenian :

Bisa Anda ceritakan secara singkat gagasan awal menerbitkan album Becoming Dew ini?

Gagasan awalnya tidak bikin album. Saya dan Ari sempat tidak menyanyi bersama selama 3 tahun terakhir. Saya sibuk dengan kerjaan dan Dua Ibu. Waktu ketemu Ari di BBJ, nonton Iwan Abdulrachman, Dharmawan Handonowarih dari majalah Idea, iseng minta kami menyanyi bareng lagi di tempat yang sama, buat acara tutup tahun. Kami setuju. Lalu iseng-iseng menyusun lagu yang akan dinyanyikan. Eh, ternyata kami punya beberapa lagu puisi yang sudah lama tak dinyanyikan (mungkin tepatnya tak ada yang mau menyanyikannya... nggak tahu kenapa). Dari sini terpikir lagi, daripada nyanyi lagu-lagu bule (Barat – red), kenapa nggak nyanyi lagu puisi yang dibuat khusus buat kami?
Kami lalu latihan.

Ternyata dari sini, Eddie Prasetyo Budi dan AGS Arya Dipayana ngotot kami berdua bikin album berdua. Ari sempat ragu, takut mengganggu laju promosi GADIS KECIL. Tetapi dua orang itu ngototnya bukan main, malah merancang show launch (rekaman saja belum!). Kami meeting bersama di rumah. Kedua orang itu bilang gemes banget lihat kami berdua ini. Nyanyi dari tahun 1982 kok ya nggak maju-maju! Akhirnya semua sepakat agar kami rekaman. Rekaman berlangsung dalam waktu 12 hari. Berjalan begitu saja, lancar. Dari masuk musik sampai mixing dan mastering. Semua dilakukan oleh Ari. Saya kebagian jurusan desain, cetak brosur, cari kotak cd dan cari dana (ini yang paling berat! hahaha). Untung terjadinya pas bulan Desember, saat bonus akhir tahun muncul. Tentang judulnya, itu hasil temuan AGS Arya Dipayana. Kami mencoba menggabungkan antara Ari.Reda dengan judulnya. Sebetulnya kami suka lagu Ketika Berhenti Di Sini Tetapi kalau dijadikan judul, lha sedih banget! Masak Ari.Reda berhenti di sini. Maka setelah diulik-ulik, beliau menemukan frase terakhir dari Don’t Tell Me.

Kedua belas lagu dalam Becoming Dew digubah dari puisi-puisi Sapardi. Mengapa Sapardi?

Kebetulan, kami memang pernah membuat album Hujan Bulan Juni (diprakarsai oleh Ford Foundation) dan Hujan Dalam Komposisi (dibiayai oleh YAYASAN PUISI), yang semuanya milik Sapardi. Rekaman kali ini sebetulnya adalah upaya restorasi dari kedua album itu yang masternya sudah rusak, lembab dan saling menempel satu sama lain karena disimpan di kolong tempat tidur. Tetapi selain merekam kembali lagu-lagu itu, kami juga ingin menambahkan lagu baru. AGS Arya Dipayana membuat 2 lagu baru dalam waktu 3 hari.

Dari pengalaman mengeluarkan album "Gadis Kecil" bersama DUA IBU, apakah proyek album musikalisasi puisi semacam ini cukup menggembirakan hasilnya mengingat pasarnya sangat terbatas?

Ternyata cukup menggembirakan. Tentu saja dalam ukuran kami (dengan biaya minim, dengan upaya promosi minim juga dan jumlah CD terbatas). Dari pengalaman membuat “Gadis Kecil”, 1000 keping bisa habis dalam waktu 8 bulan. Penyebaran sendiri - menurut saya - lumayan terbatas: hanya di toko buku tertentu, wapres (warung apresiasi, Bulungan), TIM.

Apa ada target khusus yang ingin Anda capai melalui musikalisasi puisi ini?

Target khusus: orang belajar menyukai, mencintai puisi dan menjadikannya sebagai bentuk tulisan/sastra yang akrab dengan dirinya. Mungkin dalam lingkup lebih luas, hal ini menjadi upaya mendekatkan siapa saja, terutama orang muda, pada karya-karya sastra bermutu. Mendekatkan pada bahasa Indonesia dan keindahannya yang sebetulnya sangat luarbiasa! Jujur saja, saya lihat banyak di antara teman-teman muda yang beranggapan bahwa bahasa Indonesia itu tidak asyik, tidak komunikatif, tidak romantis, tidak menarik seperti bahasa Inggris. Saya pun --jujur saja-- pernah beranggapan begitu.

Tetapi setelah berkenalan dengan puisi Sapardi, Gunawan Mohammad, Toto Sudarto, anggapan itu gugur. Saya juga sangat takut pada puisi. Karena saya takut salah mengartikan sebuah puisi Tapi ketika disodori puisi Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi (komposisi: AGS Arya Dipayana, puisi: Gunawan Mohammad), tiba-tiba saat menyanyikannya saya merasakan indahnya puisi ini. Dan sejak itu, saya suka puisi. Saya pikir, bila cara musikalisasi puisi bisa menolong saya mencintai puisi, menghargainya dengan amat sangat, harusnya cara ini juga bisa menolong teman-teman yang lain. Menolong anak saya, anak-anak Ari, teman-teman di SMA, di Kampus, di kantoran yang sibuk dengan angka-angka.

Setelah duet dengan Ari ini, berikutnya ada rencana apa lagi sehubungan dengan kegiatan berkesenian Anda, khususnya dalam hal bermusik? Dan apa yang membuat Anda terus bersetia menekuni dunia ini?

Berikutnya, mungkin kami berdua ingin membuat musikalisasi puisi dari penyair-penyair lain. Dingin tak Tercatat dari Gunawan Mohammad, atau Gadis Peminta-minta dari Toto Sudarto Bachtiar, sudah pernah kami nyanyikan dan rasanya bagus untuk disampaikan kembali. Setidaknya, biar orang ingat bahwa Mas Gunawan Mohammad punya sajak-sajak yang indah juga. Itu untuk proyek berdua. Sedangkan untuk proyek sendiri, saya ingin mengajar anak-anak menyanyi dengan sukacita, menikmati nyanyian, memahami syair, dan mengeluarkan suara dengan baik. Saya juga ingin sekali mengajak para ibu untuk menyanyi buat anak-anaknya. Lewat album? Mungkin. Mengapa bersetia? Hmmm, mungkin karena saya terlanjur suka menyanyi. Saya pernah mengalami masa yang sangat indah bersama Ibu saya. Kami suka menyanyi-nyanyi berdua di rumah, saat dia memasak, membereskan rumah, menjahit baju, menggosok. Lalu kalau ada lagu baru, kami berdua mendengarkan dengan teliti. Ibu saya mencatat syair lagunya, dan memakainya sebagai bahan melancarkan pelajaran membaca buat saya. Menyanyi menjadi sangat menyenangkan buat saya. Kemudian, ketika sekolah, menyanyi jadi cara untuk jalan-jalan di luar jam sekolah: lomba paduan suara, kelompok ngamen, nge-band (saya benci sekolah! hahaha!).

Harapan Anda untuk album Becoming Dew?

Harapannya? Yang gampang dijawab: laris manis. Yang ada di balik itu, semoga bisa jadi referensi di kalangan orang muda, khususnya buat mereka yang selama ini mendengar musik-musik ramai/sibuk/padat alat musik. Saya ingin Becoming Dew bisa membuat teman-teman muda itu mendengar sesuatu yang ringan dan sejuk. Dari komposisi suara, bisa membuat mereka belajar sesuatu yang baru, yang beda. Dari sisi musik, sesuatu yang sederhana itu bisa menarik dan enak didengar. Dan yang terakhir, dari sisi syair: saya ingin teman-teman muda belajar mendengar syair yang baik, indah dan imajinatif.


Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments