Wednesday, April 08, 2009,11:37 AM
Membincang "Kitab Omong Kosong" di Cafe Miitem

Acara : Diskusi Bulanan Eve Book Club
Tgl: 7 April 2009
Tempat: Cafe Miitem, City Walk, Jakarta.


Untuk kedua kalinya aku menghadiri acara diskusi bulanan Eve Book Club bersama majalah EVE dan ibu-ibu cantik yang tergabung dalam Ibu-Ibu Membahas Buku. Bulan April ini yang dibincang adalah novel pemenang KLA 2005 karya Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong. Novelnya disediakan oleh Penerbit Bentang Pustaka. Hadir sebagai pembicara adalah Seno Gumira Ajidarma dipandu oleh Mas Dean selaku moderator. Acara tersebut juga diikuti oleh para undangan lain: Lita, Windry, dan Mirna dari Goodreads Indonesia, Imam Risdiyanto dan Putri dari Bentang Pustaka serta beberapa undangan lain yang cantik-cantik dan wangi. Sayang, aku tidak sempat berkenalan dengan mereka.

Diskusi berlangsung cukup hangat selama lebih kuran 90 menit, dimulai jam 5 p.m. Pertanyaan-pertanyaan mengalir dari para peserta yang dijawab dengan santai oleh SGA yang saat ini sedang menyelesaikan proyek "Naga Bumi", cerita bersambungnya yang dimuat di harian Suara Merdeka, Semarang. Katanya, cerbung tersebut setiap 100 bab akan diterbitkan dalam bentuk buku/novel.

Oiya, tentu saja acara berlangsung lancar antara lain berkat MC keren Miss G. Walaupun peserta masih belum puas, namun obrolan kudu dihentikan karena jatah waktu sudah habis. Tapi aku tidak langsung beranjak pulang karena kemudian melanjutkan obrolan dengan Imam dan Putri serta Kef yang tiba terlambat dan juga Yokie, penulis Happy Potter. Kami ngerumpi sampai jam setengah 10. Sempat bertemu kembali dengan Miss G yang sudah pamit sejak acara diskusi bubar. Rupanya si Mbok ini bukannya pulang tapi jalan-jalan dulu. Belanja ya, Mbok?

Oya (lagi), dari diskusi itu aku dapat voucher 100 ribu perak untuk makan di Miitem. Langsung malam itu juga dimanfaatkan untuk mencoba miitem. Rupanya rahasia warna hitam itu berasal dari tinta cumi-cumi. Selain hitam, kafe putih ini juga menyediakan mie warna pink, hijau, kuning. Warna pink diperoleh dari bit; hijau dari bayam, dan kuning dari wortel. Kapan-kapan coba lagi ah. Mie-nya sih ga terlalu enak, tetapi pizza jamurnya mak nyuusssss....!

Baiklah, cukup sekian. Mudah-mudahan bulan depan aku bisa ikutan lagi dengan buku dan pembicara yang lain. Serat Centhini? :P


 
posted by biru
Permalink ¤ 2 comments
Monday, April 06, 2009,3:00 PM
Pak Entang "Golek" Sutisna


Sejatinya, nama Entang Sutisna baru kali ini kudengar. Maksudku, Entang Sutisna si empu wayang golek. Tentu kalau nama Entang Sutisna, baik secara sendiri-sendiri sebagai Entang dan Sutisna maupun secara bersatu (Entang Sutisna) bukanlah nama yang asing di Jawa Barat. Itu sebuah (atau dua buah) nama yang lazim banget dipakai oleh pria-pria Sunda. Tetapi bahwa Entang Sutisna sang perajin golek dari Bogor, baru tiga hari kukenal.


Rupanya akulah yang terlambat mengenal sang maestro ini. Sebab, saat aku mengetik namanya di mesin pencari Google, entri untuknya lumayan banyak. Kiranya Pak Entang yang lahir pada 1947 ini sudah sangat beken, khususnya di Bogor. Deeuh..kemana aja gue ya?


Kesempatan mengenal lelaki berpenampilan sederhana ini kuperoleh ketika mengikuti pelatihan kepariwisataan di Hotel Prioritas, Puncak, selama tiga hari (1-3 April 2009). Di tengah-tengah pelatihan yang membosankan, kehadiran sosok Pak Entang yang kocak dan ramah sebagai salah satu peserta ini cukup menghibur. Ia memanfaatkan peluang berpromosi pada hari kedua. Dengan dalih mengajukan pertanyaan pada sesi UKM, bapak 4 orang putra ini, memperkenalkan dirinya dalam dialek Sunda Bogor yang kental.


Nama saya Entang Sutisna. Lahir 1947 di Bogor. Sekolah hanya sampai Sekolah Rakyat. Mulai membuat golek tahun 1963," demikian ia memulai perkenalannya yang sanggup menyita perhatian semua hadirin. Selanjutnya, ia bertutur tentang kariernya sebagai perajin golek yang sukses sehingga bukan saja mampu menghidupi keluarganya tetapi juga membuka lapangan kerja bagi orang-orang di sekitarnya.


Golek karya Pak Entang agaknya sudah terkenal di berbagai kalangan. Bahkan, pada 1972 bengkel goleknya pernah dikunjungi oleh Presiden Soeharto dan Ibu Tien (alm). Pulangnya, sang Presiden memborong golek sebanyak 120 biji yang berarti juga 120 karakter. Jumlah karakter wayang yang dengan fasih dikuasai oleh Pak Entang.


Bukan hanya Soeharto pejabat tinggi yang pernah singgah di sanggarnya, tetapi juga mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin dan Jendral Omar Dhani. Katanya, Pak Entang memajang foto-foto mereka semua di dinding rumahnya. Tentu dong, kan merupakan kebanggaan foto sama orang-orang beken itu.


Seperti dikatakannya, ia menguasai 120 karakter wayang golek. Favoritnya adalah Rahwana. Kok? Bukankah Rahwana tokoh super duper jahat? "Karena penampilan Rahwana itu gagah," kata Pak Entang beralasan. Namun, yang menjadi favorit pembeli ternyata tokoh Rama dan Sinta ukuran 40 cm dan 60 cm yang dijualnya dengan harga Rp 250.000,- hingga Rp 400.000,-. Saat ini Pak Entang tengah kebanjiran order dari Hotel Indonesi sebanyak 500 unit golek untuk suvenir. Wow...Tajir dong!


Golek-golek indah itu dibuatnya dari kayu lame (aduh, aku sih nggak ngerti seperti apa kayu lame itu). Sekali beli bisa sampai 1 truk. Pengerjaannya dilakukan bersama-sama dengan sitri dan putra sulungnya. "Saya bagian bikin goleknya. Istri saya membuat kostumnya dan anak saya tukang catnya."


Sungguh banyak hikmah yang bisa kupetik dari pengalaman hidup, ketekunan, dan kearifan lelaki berpostur kecil ini. Aku malah sempat takjub juga sewaktu ia menawarkan kerja sama membuat buku tentang wayang golek. "Saya yang bikin gambar (golek) nya, Eneng yang nulis karakter dan ceritanya." Waaah....Aku sampai tidak sanggup berkata-kata. Bapak ini benar-benar keren.


Baiklah, Pak Entang. Terima kasih buat bincang-bincangnya. Mudah-mudahan suatu saat aku bisa singgah di bengkel golekmu.****
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments