Monday, June 18, 2007,9:34 AM
HERMAWAN AKSAN
“…lalu aku pun terpengaruh Budi Darma….”


Hermawan Aksan, mungkin bukan nama yang berkibar-kibar di belantara penulisan fiksi kendati telah lahir sedikitnya sepuluh buah buku dari tangannya. Lelaki pendiam yang telah senang menulis sejak di bangku SMP ini beberapa kali bahkan pernah memenangi sayembara menulis carpon alias carita pondok, bahasa Sunda untuk cerpen (cerita pendek). Salah satunya menjadi jawara dalam ajang lomba carpon mini yang diselenggarakan oleh Yayasan Jendela Seni (2002) dengan karyanya yang berjudul Ti Pulpen Tepi ka Jaratan Cinta. Artinya kira-kira dari pulpen sampai ke jeratan cinta.

“Waktu SMP itu aku baru nulis-nulis untuk buku harian (diary) dan majalah dinding saja”, papar Hermawan Aksan mengenang awal mula karier kepenulisannya. “Dan mulai serius menekuninya kira-kira tahun 1989 atau 1990”, jelasnya lebih lanjut.

Meskipun ia mengaku agak terlambat memulai, namun sejak itu cintanya telah tertambat tanpa ampun pada bidang ini. Seperti kebanyakan kisah para penulis, Her–begitulah ia disapa para karibnya–mengawali karier menulisnya dari kesenangan membaca, terutama cerita pendek. Maka tak heran jika karya pertama yang dihasilkannya adalah sebuah cerpen remaja yang dimuat di majalah Anita Cemerlang. Bagi generasi angkatan 80-an, nama majalah kumpulan cerpen ini telah menjadi ikon tersendiri yang turut menandai keberadaan angkatan “tua” tersebut.

Selanjutnya, karya-karya pria berusia 43 tahun ini terus mengalir, menghiasi halaman-halaman sastra pelbagai koran dan majalah, dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Tak hanya fiksi tapi juga esai, ulasan buku, kritik sastra, dan kolom.

“Bagiku, sama asyiknya menulis fiksi ataupun nonfiksi. Tapi, aku selalu gagal dalam menciptakan puisi. Entah kenapa, sepertinya tak pernah bisa menemukan kata-kata puitis untuk dijadikan puisi”, ujar ayah dua orang putri ini.

Her yang sempat mencicipi bangku kuliah di jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini rupanya tak puas jika cuma menulis cerpen. Maka, ia pun mulai menulis novel (buku). Buku debutannya adalah sebuah novel anak-anak berjudul Bertamasya Ke Angkasa Luar (1993).

Adapun tentang kegemarannya akan sastra Sunda, bukan saja disebabkan sejak kuliah sampai sekarang ia tinggal di Bandung yang banyak memakai bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari, namun pula karena ia memang (merasa sebagai) orang Sunda. Ia lahir di Desa Jipang, Kabupaten Brebes, yang terletak di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Masyarakat di sana berbahasa Sunda, meski dalam dialek yang sedikit lebih “ngoko” (kasar) dari Sunda Priangan. Masa kecilnya banyak dilalui dengan menonton wayang golek, sandiwara Sunda, serta kesenian Sunda lainnya.

Hal ini pula agaknya yang lantas membuatnya tertarik mengangkat figur perempuan cantik dari Tanah Sunda, Dyah Pitaloka, ke dalam novel berjudul sama. Novel yang berkisah juga ihwal Perang Bubat–perang ‘legendaris’ antara orang Sunda dan orang Jawa–ini terbit dua tahun lalu. Kabarnya Her tengah merencanakan membuat sekuelnya dengan tokoh sentral Raden Wastukencana, adik lelaki Dyah Pitaloka, yang kelak menjadi Raja Sunda mengembalikan kejayaan sang ayah yang gugur di padang Bubat.

Dalam setiap proses kreatifnya, Her kerap dipengaruhi oleh banyak hal. Mulai dari peristiwa sehari-hari, teman-teman di kantornya, keluarganya, sampai dengan buku-buku yang dibacanya. Termasuk juga gaya bertutur para pengarangnya, walaupun ia baru menyadarinya belakangan.

“Aku tidak tahu mengapa demikian. Semuanya seperti terjadi di luar kesadaran”, Her memberi alasan, “Ketika aku membaca (karya-karya) Arswendo, aku terpengaruh Arswendo. Tatkala selesai membaca Manusia Kamar, aku terpengaruh Seno (Gumira Ajidarma). Kemudian saat menikmati Orang-Orang Bloomington, akupun terpengaruh Budi Darma”, sambungnya sembari tersenyum simpul. Soal pengaruh-memengaruhi mungkin hal yang lazim di kalangan para penulis. Bukan mustahil kiranya jika Hermawan pun memiliki pengaruh juga untuk penulis-penulis lain. Itu biasa dan sah-sah saja, bukan, asal tidak lalu menjadi plagiat.

Di samping sibuk sebagai redakur di harian Tribun Jabar, Her masih sempat pula sesekali menyunting dan menerjemahkan novel-novel asing. Menurut lelaki berbintang Sagitarius ini, banyaknya novel asing menyerbu pasar buku kita seharusnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif sepanjang disertai pemilihan karya yang bagus dan penerjemahan yang baik. Her meramalkan untuk tahun ini tampaknya novel-novel “timur” masih akan mendominasi.

Sekian lama malang-melintang di jagat sastra, Her barangkali sudah lupa buku pertama yang dibacanya. Tetapi ia masih dapat mengingat dengan baik buku-buku yang mengesankannya. Salah sebuahnya adalah Nagasasra dan Sabuk Inten karya S.H.Mintardja. Ia juga diam-diam menyimpan keinginan untuk kelak bisa bersua dengan Djenar Maesa Ayu dan Tanti R.Skober. Nama yang disebut belakangan ini adalah penulis yang cerpen dan esai-esainya sempat bikin gempar pada tahun 1990-an. Her penasaran di mana gerangan sang pengarang idola berada kini? Kalau dengan Djenar, apa ya kira-kira yang membuatnya ingin berjumpa?

Suami dari Eka Suheryani ini selain membaca ternyata punya hobi lain lagi: sepak bola. Bukan hanya sebagai penonton tetapi juga pemain. Di tim kantornya, ia dipercaya sebagai kiper andalan. Keinginannya dalam hidup ini kiranya tak muluk-muluk: “Membahagiakan istri dan anak-anakkku.”

Lantas bagaimana dengan profesinya selaku penulis? Sampai kapan ia akan menekuni bidang ini? “Sampai aku tak bisa lagi berpikir”, katanya mantap. Baiklah, kita doakan saja semoga akan terus lahir karya-karya yang baik darinya.




Biodata singkat:

Nama lengkap: Hermawan Aksan
Tempat/tgl.lahir: Brebes, 13 Desember 1964
Pekerjaan: Jurnalis
Nama Istri: Eka Suheryani
Nama anak-anak: Nida (11 tahun), Alya (7 tahun)
Karya yang telah diterbitkan:
Bertamasya Ke Angkasa Luar (buku anak-anak)
Dendam Itu Tak Seperti Pompa Bambu (buku anak-anak)
Karung Mutiara Al-Ghazali (komik berkolabaorasi dengan kartunis Jitet)
Ti Pulpen Tepi ka Pajaratan Cinta (antologi cerpen Sunda)
Kanagan (antologi cerpen Sunda)
Sang Jelata (kumpulan cerpen)
Cinta…Itu Apa? (kumpulan cerpen remaja)
Dyah Pitaloka, Senja Di Langit Majapahit (novel)
Kiamat Sudah Dekat (novel)
Mereka Membunuhku Pelan-Pelan (nonfiksi)

****

Endah Sulwesi 12/6
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
,9:18 AM
Profil ANDREA HIRATA
“Aku Ingin Menulis Buku Ilmiah”

Semua berawal dari Laskar Pelangi , novel berdasar memoar masa kecil yang ditulis lelaki berambut ikal penyandang nama panjang Andrea Hirata Seman Said Harun. Sejak itu, lelaki ini jadi ketagihan menulis (fiksi). Ia melewatkan malam-malam insomnianya dengan menulis. Saat menulis itu, ia seperti orang “kesurupan”.
Kata demi kata mengalir deras dari ujung-ujung jarinya, menjelma kalimat-kalimat dan bermuara pada sebuah kisah panjang dengan tokoh utama Ikal. Tiga judul buku–dari empat yang direncanakan–telah lahir dari tangannya. Dua di antaranya, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi , sudah dilepas ke pasar dan menuai sukses lumayan. Berbagai pujian dan kritikan dari sidang pembaca diterimanya dengan senang hati. “Sebetulnya, Laskar Pelangi adalah buku keduaku. Buku pertama yang kutulis adalah buku ilmiah berjudul The Science of Business . Buku itu kutulis tahun 2003”, jelas Andrea mengenai perjalanan riwayat kepenulisannya.
“Buku itu semacam pembayar kewajiban moralku kepada Uni Eropa, lembaga yang memberiku beasiswa kuliah di Sorbonne (Prancis) dan Sheffield (Inggris),” tambahnya lagi.
Ya, Andrea memang sangat menggemari sains. Lantaran itu, ia sangat berharap satu hari nanti bisa kembali menulis sebuah buku sains, bukan cuma sastra.
“Segala hal yang berhubungan dengan sains dan buku selalu menarik perhatianku,” katanya.
“Apa jadinya jika Newton tidak menulis Principia ? Atau Adam Smith tidak pernah menelurkan The Nature and Causes of The Wealth of Nations ?,” sambungnya lagi.
Tetapi, kemudian bukanlah salahnya jika ia malah dikenal lebih dulu sebagai penulis fiksi lewat debutnya Laskar Pelangi . Mulanya, Andrea tidak pernah meniatkan naskahnya untuk dikomersilkan lewat industri buku. Ia menulis memoar itu untuk dipersembahkan sebagai kado ulang tahun bagi gurunya tercinta, Ibu Muslimah. (Dalam Laskar Pelangi , ibu guru ini adalah seorang tokoh yang sangat inspiratif, seorang guru miskin di sebuah sekolah dasar miskin di Belitong yang mendidik murid-muridnya dengan penuh kecintaan. Kabarnya, Ibu Muslimah tengah diusulkan untuk mendapatkan Ma'arif Award). Entah bagaimana ceritanya, naskah itu lalu “dicuri” oleh seorang sahabatnya dan diserahkan kepada penerbit. Penerbit yang beruntung ini, Bentang, langsung jatuh cinta dan lantas menerbitkannya.
Menyusul buku pertamanya, Andrea lantas menulis sekuelnya, Sang Pemimpi. Masih berkisah seputar sekolahan, buku keduanya ini pun terbilang sukses. Lagi-lagi ia mendapatkan setumpuk pujian sekaligus kritikan yang disikapinya dengan bijaksana.
“Aku tidak besar kepala karena pujian, dan ingin belajar dari pujian,” ujarnya. “Dan aku sangat terbuka terhadap berbagai kritik. Sayangnya, dari banyak kritik yang kuterima, belum ada yang benar-benar menyentuh sebstansi. Kecuali dari Prof. Sapardi Djoko Damono dalam sebuah diskusi di Bandung.”
Menurut lajang kelahiran 24 Oktober (tahun kelahirannya dirahasiakan) ini, kritik-kritik tersebut lebih banyak berbicara di permukaan. Meski demikian, ia sangat berterima kasih untuk segala masukan itu dan selalu menyambut gembira pihak yang mengundangnya untuk diskusi. Terakhir, ia diundang oleh Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, dan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok (Bogor). Total selama karier kepenulisannya, ia telah menerima undangan diskusi sebanyak 43 kali.
Apa mau dikata, Andrea Hirata akhirnya dengan sadar menjerumuskan diri ke dalam penulisan buku fiksi. Sejatinya, Laskar Pelangi merupakan buku pertama dari sebuah karya tetralogi. Setelah Sang Pemimpi , berikutnya berturut-turut akan terbit dua judul lagi, yakni: Edensor dan Maryamah Karpov yang dinanti-nanti para pembaca setianya.
Ekor kesuksesan Laskar Pelangi ditandai pula oleh diterbitkannya buku tersebut dalam edisi bahasa Melayu di Malaysia. Konon menjadi best seller di negeri jiran itu. Berkah lainnya adalah sudah ada pula tawaran untuk mengangkat kisah Ikal dkk ini ke layar lebar. Gosipnya, sutradara bertangan dingin, Riri Reza, yang akan menggarapnya. Kita tunggu saja, ya.
Kiranya Laskar Pelangi menjadi pintu pembuka bagi pria lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini untuk masuk lebih jauh lagi ke “jalan sunyi” sastra. Laskar Pelangi pula yang telah membuatnya menjadi semacam selebritis di jagad sastra, meskipun ditampik mati-matian oleh yang bersangkutan.
“Tidak ada pengaruh apapun (ketenaran itu- red ), kecuali makin sibuk dan kesulitan mengatur jadual kerja kantor dengan kegiata buku”, tandasnya buru-buru.
Namun Andrea harus mengakui, bahwa lantaran Laskar Pelangi cita-citanya membuka perpustakaan di kampung halamannya terwujud sudah. Perpustakaan itu menjadi tempat orang belajar ilmu (pengetahuan) dan agama Islam. Perpustakaan ini membuka diri bagi para relawan yang ingin bergabung.
Terlahir sebagai anak keempat dari pasangan N.A. Masturah (ibu) dan Seman Said Harun (ayah), Andrea Hirata menghabiskan masa kecilnya di Belitong. Setamat SMA, ia merantau ke Jawa, melanjutkan studi di FE-UI. Seusai meraih gelar sarjana ekonomi seperti telah ditulis di atas, ia berhasil mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa untuk mengambil gelar master di Universite de Paris Sorbonne, Perancis serta Sheffield Hallam University, di Inggris. Ketika ditanya soal rencana menikah, sambil tertawa ia menyahut santai, “Menikah? Ha... ha... ha... sampai saat ini terpikirkan pun belum.”
Begitulah. Rupanya pernikahan masih jadi sesuatu yang belum jelas baginya. Namun, yang jelas, para penggemarnya, akan segera dapat menikmati Edensor , buku ketiga dari rangkaian tetralogi Laskar Pelangi . Masihkah bercerita tentang sekolahan?
“Ya. Edensor memilik garis merah yang tebal soal pendidikan. Tapi ada juga petualangannya. Tokoh-tokohnya masih tokoh sama dengan buku sebelumnya. Hanya saja sekarang mereka makin dewasa . Edensor adalah buku yang berusaha bercerita dengan jujur ihwal orang Indonesia ketika terdampar di negeri Barat,” Andrea memberi sedikit 'bocoran' karya terbarunya. Kedengarannya menarik ya? Kita sama-sama lihat saja nanti.

Biodata singkat: Nama : Andrea Hirata Seman Said Harun
Tanggal lahir : 24 Oktober
Pendidikan : S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia S2 Universite de Paris Sorbonne (Perancis) dan Sheffield Hallam University (Inggris).
Pekerjaan : Staf PT Telkom, Bandung.


Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤ 3 comments