Wednesday, August 29, 2007,1:21 PM
DISKUSI BUKU "PENCURI ANGGREK"
dari kiri-kanan : Anya Rompas, Janet Steele, Frankie Handoyo, Mira Lesmana


“Kasus pencurian anggrek, sesungguhnya tidaklah bisa dilihat secara hitam putih seperti kasus-kasus pencurian yang lain. Bagi para pencinta anggrek, membawa pulang tanaman anggrek dari dalam hutan rimba liar sama artinya dengan menyelamatkan salah satu spesies anggrek tertentu dari kepunahan. Lagi pula, jika dibiarkan tetap di dalam gelapnya hutan, siapa yang akan menikmati keindahannya?” Demikian kira-kira “pembelaan” Titik Kartitiani mewakili para pencinta anggrek yang dilontarkannya pada kesempatan diskusi buku Pencuri Anggrek karya Susan Orlean di toko buku MP Book Point, Jakarta. Diskusi yang berlangsung pada 24 Agustus 2007 silam itu menghadirkan Dr. Janet Steele (professor di Universitas George Washington, Amerika Serikat), Mira Lesmana (produser film), serta Frankie Handoyo (kolektor anggrek).

Diskusi ini diadakan sehubungan dengan diterbitkannya buku The Orchid Thief (diterjemahkan menjadi Pencuri Anggrek) versi bahasa Indonesia oleh penerbit Banana. Buku yang di Amerika terbit sekitar sembilan tahun lalu (1998) itu telah diangkat ke layar lebar dengan judul Adaptation; dibintangi antara lain oleh Meryl Streep dan Nicholas Cage.

Buku nonfiksi ini mengangkat kisah kehidupan para pencinta anggrek dengan segala kegilaan mereka yang diwakili oleh John Laroche, seorang pencinta anggrek yang tertangkap basah mencuri anggrek liar dari sebuah hutan di kawasan Fakahatchee, Florida, Amerika Serikat. Susan Orlean, jurnalis yang kerap menulis untuk The New Yorker merasa tertarik untuk mengusung riwayat John Laroche beserta seluk-beluk para penggila anggrek (dan tanaman anggrek itu sendiri) ke dalam sebuah buku.

Menurut Dr. Janet Steele yang pernah menulis buku mengenai majalah Tempo, buku Pencuri Anggrek ini adalah sebuah karya jurnalisme sastrawi dan telah diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, Mira Lesmana yang menyorotinya dari sudut pandang filmnya, juga mengakui Pencuri Anggrek sebagai sebuah kisah yang unik, menarik, dan Spike Jonze (sutradara) sudah dengan bagus sekali mengadaptasinya ke dalam film.

Sementara itu, Frankie Handoyo selaku seorang penggila anggrek, membagi pengalamannya selama bertahun-tahun menggeluti tanaman “purba” dengan aneka bunga cantik yang membuat mabuk para pengagumnya tersebut. Dalam “kesaksiannya”, Frankie membenarkan hampir seluruh keterangan tentang anggrek dalam buku yang didiskusikan itu. Frankie juga mengakui, bahwa sesekali ia dan teman-temannya pernah pula “mencuri” anggrek liar dari dalam hutan Indonesia.

Perbincangan yang dimoderatori oleh Anya Rompas dari Komunitas BungaMatahari, malam itu bertambah hangat dengan kehadiran sastrawan senior, Danarto, yang ikut urun rembug perihal terjemahan. Danarto menyoal beberapa kata dalam buku Pencuri Anggrek yang menurutnya diterjemahkan terlalu “nJawa” (contohnya: “bajul” untuk menyebut “buaya” ). Acara ini terselenggara atas kerja sama penerbit Banana dengan Klub Sastra, teh Walini, dan toko buku MP Book Point***




endah sulwesi 29/8
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Friday, August 24, 2007,12:22 PM
DISKUSI NOVEL “GLONGGONG”
dari kiri ke kanan : Binhad Nurohamat, A.S. Laksana, Junaedi "Glonggong" Setiyono



Glonggong adalah salah satu pemenang sayembara penulisan novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) awal tahun 2007. Tepatnya pemenang harapan ke-2. Ditulis oleh Junaedi Setiyono, seorang dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Purworejo. Glonggong telah menaklukkan hati para juri yang di antaranya adalah Ahmad Tohari (sastrawan) dan Bambang Sugiharto (dosen Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung).

Kamis pekan lalu, 16 Agustus 2007, atas kerja sama Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Serambi, Glonggong dibincang ramai-ramai di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Perbincangan ini dikawal oleh moderator Binhad Nurohmat (penyair), menggantikan Adi Wicaksono yang berhalangan hadir. Sastrawan A.S. Laksana dan Bambang Sugiharto didaulat sebagai pembicara. Diskusi dihadiri pula oleh Junaedi Setiyono serta Elsa Surya yang petang itu membacakan petikan Glonggong.

Glonggong mengambil latar belakang sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro, dengan tokoh utama seorang laki-laki biasa yang lugu dan berani bernama Glonggong, diambil dari bahasa Jawa yang adalah pedang mainan kanak-kanak terbuat dari tangkai daun papaya. Menurut amatan Bambang Sugiharto, novel yang beralur konvensional ini merupakan kisah anti-hero, namun bernas dan matang visi kemanusiaannya dengan moralisme yang bukan hitam-putih. Junaedi Setiyono, masih kata Bambang, mampu melihat persoalan secara realistis, multi-dimensi, dan seimbang, jauh dari sikap menghakimi. Ia berusaha untuk setia pada pelukisan dan menghindari berbagai tendensi ekstremitas. Akan tetapi tetap menawarkan kiblat nilai yang jelas: kesetiaan pada nilai-nilai perjuangan, pembebasan, kejujuran, dan ketulusan.

Sementara itu, A.S. Laksana, dalam tinjauannya berkomentar, bahwa novel ini menampilkan kemahiran penulisnya dalam membangun plot. Penulisnya tahu cara mengikat pembaca, meskipun pada beberapa bagian Sulak, demikian A.S. Laksana biasa disapa, menemukan banyak frase yang diulang-ulang–bahkan dalam satu alinea–sebagai akibat dari “kemalasan menggali” (kosa kata). Hal tersebut, menurut Sulak, lumayan mengganggu kenikmatan membaca.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, kedua pengamat itu sepakat intuk satu hal, yakni bahwa Glonggong adalah sebuah novel yang sungguh menarik.

Acara diskusi selama hampir 2 jam itu diakhiri dengan pembagian doorprize bagi sejumlah pengunjung.


Endah Sulwesi 23/8
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Tuesday, August 14, 2007,10:56 PM
Drama NYAI ONTOSOROH
ini buku panduan



akhir pertunjukan



“Kita telah melawan, Nak, Nyo, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”

Kalimat di atas adalah penggalan dialog penutup drama Nyai Ontosoroh yang dipentaskan selama tiga malam berturut-turut (12, 13, dan 14 Agustus 2007) di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Lakon yang naskahnya diadaptasi dari karya masterpiece sastrawan (alm) Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, ini digelar oleh Institut Ungu bekerja sama dengan Jaringan Nasional Perempuan Mahardika serta Perguruan Rakyat Merdeka.

Ketiga lembaga yang peduli pada persoalan perempuan, sosial, dan kebudayaan ini bersama-sama menyatukan visi dan energi memanggungkan pertunjukan teater Nyai Ontosoroh. Kolabarasi tersebut melibatkan 150 orang personel secara keseluruhan, termasuk di dalamnya artis sinetron Happy Salma sebagai pemegang rol utama.

Pada malam kedua pementasan, seluruh kursi yang tersedia, terisi penuh. Bahkan di sudut-sudut ada penonton yang duduk di kursi ekstra. Seluruh tiket, sejak beberapa hari sebelum pertunjukan berlangsung, telah ludes terjual. Nyai Ontosoroh, bagi kalangan penikmat sastra memang bukanlah nama yang asing. Tokoh rekaan Pramoedya ini nyaris bagai “legenda”, berdampingan dengan Minke.

Malam itu, Nyai Ontosoroh menjelma dalam sosok Happy Salma: perempuan cerdas yang angkuh, berwibawa, bermartabat, penuh harga diri. Penampilan Happy Salma cukup memukau. Aktingnya terjaga dari awal hingga akhir. Penguasaan vokalnya prima. Ia menguasai dialog-dialognya nyaris tanpa cacat. Sebagai karakter utama, Happy mampu memberi ruh pada keseluruhan pertunjukan. Agaknya, dialah sripanggung malam itu.

Jika karakter sang Nyai berhasil ditafsirkan dengan baik, sebaliknya pada tokoh Minke. Ada yang terasa kurang pas dalam sosok yang diperankan oleh Temmy Meltanto. Minke yang hadir malam itu adalah Sinyo yang lembek, yang melulu cuma repot ngurusin cintanya pada cewek indo cantik putri sang Nyai, Annelies. Tidak ada itu Minke pemuda cerdas, kritis, dan pemberani. Mestinya,ia bisa menjadi karakter pendamping yang setara dengan Nyai Ontosoroh.

Faiza Mardzoeki yang menulis naskahnya; sedangkan bertindak sebagai sutradara adalah Wawan Sofwan, seniman teater “jebolan” Studi Klub Bandung. Menurut pengakuan Wawan, ia menggunakan konsep panggung berjalan (moving stage) dan penuturan kilas balik dengan Nyai Ontosoroh sebagai sentral cerita. Ada beberapa kali, ia menyelipkan juga teknik visualisasi berlapis.

Pesan moral drama ini adalah tentang keberanian untuk melawani ketidakadilan serta kesewenang-wenangan. Setting-nya adalah Surabaya di masa kolonial Belanda.

Nyai Ontosoroh alias Sanikem adalah seorang perempuan yang tidak menyerah begitu saja dalam ketidakberdayaannya. Riwayat hidup yang getir telah membentuk watak pemberontak dalam jiwanya yang tak habis diliputi kesumat: kepada ayah, ibu, serta Herman Mellema, lelaki Belanda yang memeliharanya sebagai gundik. Dengan cerdik, Sanikem bermetamorfosis dari seorang perempuan desa menjadi seorang Nyai terhormat. Ia menguasai baca-tulis dalam bahasa Belanda dan Melayu berkat didikan tuannya. Ia juga memperoleh pelajaran tentang bertani, beternak, dan menjalankan perusahaan. Untuk beberapa lama, Sanikem mensyukuri peruntungannya sebagai gundik.

Sampai suatu ketika datanglah malapetaka yang menghancur-leburkan kerajaan kecil miliknya tempat ia berkuasa selama ini. Bencana itu adalah Maurits Mellema (Hendra Yan), putra kandung Herman dari istri sahnya di Belanda. Maurits datang membawa dendam kepada ayah yang telah meninggalkannya. Sejak itu, kehidupan rumah tangga Sanikem dan tuannya menjelma neraka. Tatkala Herman mati di sebuah rumah bordil, Sanikem harus menghadapi persidangan di hadapan hakim dan pengacara Belanda. Di sana, Sanikem dengan penuh harga diri mempertahankan hak-haknya sebagai ibu dari Annelies, putri yang oleh Maurits ingin direnggut darinya. Sepeninggal Herman, Maurits, secara hukum Belanda, berhak atas perwalian Annelies.

Sanikem tak tinggal diam menyerah. Segala upaya ia tempuh demi mendapatkan kembali Annelies. Namun, pada akhirnya kekuasaanlah yang menang, kendati ia telah melawan sekuat tenaga. Sebab, Sanikem percaya, dengan melawan, ia tak sepenuhnya kalah. “Kita telah melawan, Nak, Nyo, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.

endah sulwesi 14/8
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Monday, August 13, 2007,8:31 AM
Lemari Buku Tercinta
Ini lemari paling baru, makanya masih melompong tuh. Mudah-mudahan segera terisi penuh seperti "kakak-kakak"-nya di bwah ini. Itu yang paling tebal Harry Potter 7, dan yang sendirian di bawal adalah komik Ekspedisi Kapal Borobudur. Sepertinya, melihat ukurannya yang mungil (ada 5 rak), hanya bisa diisi satu lapis saja. Lemari ini juga bakalan meminta perhatian lebih untuk menyapu debu-debunya karena modelnya yang terbuka.

Ini lemari pertama. Lemari buku paling besar dari 3 lemari yang ada. Aku belum pernah menghitung berapa banyak bukunya. Jumlah raknya ada 5 Susunannya terdiri dari 3 lapis. Pengaturan yang buruk sekali memang, buku-buku yang ada di baris tengah dan belakang tidak tampak dari depan. Rak yang ini berpintu dan berdinding kaca, sehingga bisa meminimalkan debu-debu yang hinggap.

Ini lemari kedua. Tidak berpintu. Terbuka blak. Sebenarnya ada enam susun dari atas ke bawah (di foto ini hanya terlihat 2 saja) Susunan masing-masing terdiri dari 2 lapis saja. Jeleknya rak model begini nih, debu bebas menempel setiap saat. Kudu rajin membersihkan. Tapi, mana ada waktu?
Endah Sulwesi











 
posted by biru
Permalink ¤ 1 comments