Friday, March 30, 2007,10:33 AM
“PEREMPUAN DAN AGAMA DALAM SASTRA”
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia, majalah Syir’ah bekerja sama dengan Kedutaan Besar Canada menyelenggarakan seminar seminar sastra bertempat di Hotel Le Meridien Jakarta. Acara ini berlangsung pada Kamis, 22 Maret 2007 dengan tema “Perempuan dan Agama dalam Sastra: Pengalaman Indonesia dan Kanada”.

Seminar dibuka oleh Ny.Shinta Nuriyah Wahid yang dilanjutkan dengan acara inti membahas peran dan posisi perempuan dalam agama dan sastra. Tampil sebagai pembicara pertama adalah Camilla Gibb, novelis Canada yang telah melahirkan empat buah novel. Satu di antaranya – The Sweetness In The Belly – merupakan novel yang bercerita ihwal wanita-wanita muslim di Ethiopia. Pada kesempatan tersebut Camilla mengisahkan pengalamannya studi tentang Islam di Kairo.

Menurutnya, pascatragedi 11/9 mulai banyak orang yang tertarik membaca dan menulis tentang Islam, termasuk di Kanada dengan 2% penduduk muslimnya (sekitar 700.000 orang). Camilla yang kelahiran Inggris melihat bahwa sastra adalah salah satu cara mengetahui dunia lain di luar kita. Sastra mampu mengubah persepsi kita terhadap orang/bangsa lain; termasuk terhadap Islam.

Berikutnya, adalah giliran Abidah El Khalieqy yang menyoroti peran agama, tradisi, dan budaya dalam pembentukan masyarakat patriarkhi di mana dominasi laki-laki memposisikan perempuan sebagai kaum yang tersubordinasi, termarjinalisasi. Dalam konteks Islam, demikan pendapat Abidah, fiqihlah yang paling berpengaruh. Karena fiqih sesungguhnya merupakan respons atas realitas persoalan sosial, yang konsekuensinya ketika persoalan sosial mengalami perubahan, maka fiqih juga harus berubah. Namun, dalam kenyataannya, perubahan sosial tidak diikuti oleh perubahan, cara pandang, dan kelahiran fiqih baru. Dalam hal ini, menurut Abidah, harus dilakukan pembongkaran dan pembangunan kembali. Di sinilah, esksitensi karya sastra dan perempuan harus dilibatkan untuk memberi nuansa yang lebih manusiawi pada wajah agama.

Sementara itu Ayu Utami sebagai pembicara ketiga, mengemukakan bahwa sering kali penindasan yang dialami perempuan berkelindan dengan cinta. Kekerasan terhadap perempuan umumnya dilakukan oleh orang-orang terdekatnya : kekasih, ayah, ibu, suami, kakak, paman, dll. Sedangkan dalam ranah kesustraan, penulis novel Saman ini melihat ada banyak persoalan yang menyebabkan penulis perempuan lebih sulit menggarap tema universal ketimbang penulis pria. Ini lantaran persoalan perempuan nyaris selalu spesifik, yakni terletak pada pengalaman tubuhnya, bukan ide-ide. Sebab, tubuh perempuan adalah medan penguasaan masyarakatnya.

Sebagai pembahas terakhir tampil Maman S.Mahayana, seorang kritikus sastra. Ia menyampaikan rasa optimisnya terhadap kehidupan kesusastraan Indonesia di masa mendatang yang akan jauh lebih semarak dengan tema dan pengucapan yang lebih beragam. Masalahnya tinggal, apakah para sastrawan kita, khususnya perempuan, dapat mengangkat tema-tema yang bersumber dan bermuara pada problem gender. Inilah saatnya, kata Maman, para perempuan penulis, memperlihatkan diri dan kemampuan mereka mengeksploitasi dan mengeksplorasi berbagai problem sosio-kultural kita.

Diskusi yang dimoderatori oleh Gadis Arivia (Pemimpin Redaksi “Jurnal Perempuan”) ini berakhir pada pukul 17.00 dengan harapan semoga melalui karya sastra akan terjadi perubahan cara sikap dan persepsi agama, budaya, dan tardisi di masyarakat terhadap persoalan perempuan. Lebih jauh lagi mudah-mudahan, sebagaimana sambutan Ibu Shinta Nuriyah, lewat sastra perlahan-lahan budaya patriarkhi dapat terhapuskan.
Endah Sulwesi 26/3
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Friday, March 23, 2007,8:51 PM
MASHURI, JAWARA BARU DARI PESANTREN
Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006 usai sudah. Para pemenangnya telah pula diumumkan pada dua pekan silam. Dewan juri telah memutuskan dan menetapkan naskah berjudul Hubbu karya Mashuri sebagai kampiun nomor satu, menyisihkan 248 naskah lainnya yang masuk ke panitia lomba.

Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur pada 27 April 31 tahun silam. Mungkin namanya terhitung masih baru dalam arena penulisan prosa. Menurut pengakuannya kepada PARLE seusai acara Lampion Sastra di TIM, Jakarta beberapa waktu lalu, Hubbu merupakan novel pertamanya. Namun, sebenarnya dunia sastra bukanlah sesuatu yang asing bagi pria yang baru saja mengakhiri masa lajangnya Januari silam ini. Beberapa karyanya berupa puisi, cerpen, dan esei, pernah dimuat di beberapa koran terkemuka, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Jawa Pos, dll.

“Hubbu adalah novel tentang cinta. Tetapi di dalamnya juga memuat persoalan pencarian jati diri seorang pria bernama Jarot”, ujar Mashuri menjawab pertanyaan mengenai novelnya. Hubbu sendiri dalam bahasa Arab bermakna cinta. Masih kata Mashuri, bahwa selain itu, novel yang diselesaikan dalam kurun waktu 1 tahun ini juga memuat ihwal pemberontakan terhadap institusi tradisi, budaya, dan agama (Islam). Mengambil latar Surabaya dan sekitarnya, Hubbu mengetengahkan pula persoalan seputar dunia pesantren, wilayah akademis yang akrab dengan penulisnya. Mashuri adalah jebolan pesantren PP Salafiyah dan PP Ta’sisut Taqwa Galang, Jawa Timur. Kini, ia masih sibuk berkutat menyelesaikan studi filsafat di program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

“Saya tidak menyangka bakal menang, tapi kemenangan ini bikin saya tambah pede (percaya diri – Red)”, kata Mashuri sembari tersenyum sumringah. Hadiah uang sebesar dua puluh juta rupiah tentu menambah kegembiraannya, meski ia belum tahu mau diapakan uang sebanyak itu.

Anak sulung dari 2 bersaudara ini bercerita pula, bahwa niatnya semula mengikuti sayembara adalah sekadar untuk menguji kemampuannya menuangkan segala teori sastra – khususnya mengenai penulisan novel – yang pernah dienyamnya di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Ketika ditanya apa novel favoritnya, ia menyahut cepat : Olenka karya Budi Darma.

Rupanya, sudah ada beberapa penerbit yang ‘meminang’ Hubbu, namun Mashuri belum memutuskan siapa yang kelak diterimanya. “Masih ditimbang-timbang dulu”, katanya menutup pembicaraan sambil mengembuskan asap rokoknya dengan nikmat.

Endah Sulwesi 21/3
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Thursday, March 15, 2007,10:20 PM
ISLAMIC BOOK FAIR 2007 : SEKADAR AJANG “BAZAR BUKU MURAH”
Kelengangan terasa menyergap begitu tiba di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, tempat berlangsungnya Islamic Book Fair 2007 (3 – 11 Maret 2007) pada Senin, 5 Maret silam. Tak kelihatan banyak pengunjung seperti laiknya padahal pameran baru berjalan 3 hari sejak dibuka pada 3 Maret 2007 yang lalu oleh Ny.Yusuf Kalla. Boleh jadi sepinya pengunjung lantaran itu hari Senin, hari yang “dibenci” seluruh orang di dunia. Hanya tampak para gadis berkerudung dalam kelompok-kelompok.

Saat aku mendatangi meja informasi di muka pintu masuk – bermaksud memperoleh keterangan seputar pameran – tiga orang pemuda yang bertugas hari itu alih-alih melayani pertanyaan malah menyarankan agar membeli buku panduan seharga lima ribu rupiah. Bukankah seharusnya buku panduan semacam itu dapat diperoleh secara cuma-cuma?

Setiba di dalam gedung, deretan buku yang dipajang di setiap gerai bagaikan menyambut setiap hadirin, menanti dijamah dan dibeli. Sudah barang tentu, karena bertajuk “Islamic”, maka buku-buku Islamlah yang mendominasi (fiksi dan nonfiksi). Gerai terbesar adalah milik Penerbit Mizan, yang memang identik sebagai penerbit buku-buku islami, meski mengeluarkan juga buku-buku jenis lain.

Gerai yang terisi seluruhnya ada 167, diisi oleh para penerbit, toko buku, penjual aksesoris, mainan anak, dan busana muslim. Beberapa penerbit besar ( Kompas, Grassindo, Grafiti, dan Djembatan) tampaknya absen pada event kali ini. Gramedia pun yang biasanya hadir dengan stan yang luas, pada kesempatan ini tampil seperti malu-malu dan terkesan ala kadarnya. Di hampir semua gerai ada potongan harga berkisar 10% hingga 70%. Sebagian peserta ada yang juga menjual buku-buku dengan harga obral super murah : Rp 3000,- s.d. Rp 5000,- saja.

Begitulah. Pameran buku di negeri ini baru berupa ajang “bazaar buku murah”. Belum ada tema besar dengan gaung yang dapat memberi kemajuan berarti bagi dunia perbukuan. Jika pameran hanya sebagai tempat jual buku dengan harga diskon saja, rasanya tidak perlulah datang ke pameran. Cukup datang ke Palasari (Bandung) atau ke Shopping (Yogyakarta) saja. Di sana setiap hari ada potongan harga sampai dengan 20%. Nah, bagaimana IKAPI?

Endah Sulwesi 15/3
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments