Thursday, April 10, 2008,10:32 PM
MARIANA AMIRUDDIN

"Tidak perlu ada partai perempuan"

Senja itu udara Jakarta terasa gerah; tak terkecuali di sebuah rumah besar di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tempat Jurnal Perempuan berkantor. Saya tiba di sana menjelang jam tujuh malam untuk bertemu dengan Mariana Amiruddin, sang direktur eksekutif. Saya mesti menunggu sebab ia sedang menerima tamu lain.

“Sebentar ya,” katanya ramah menyambut saya. Mariana tampak santai dalam busana kasual kaus putih lengan pendek dan jins biru gelap. Rambutnya dilepas jatuh terurai di bahu. Kacamata hitam besar bertengger di kepalanya. Dengan sabar ia melayani kedua orang tamunya itu.

Satu jam kemudian tiba giliran saya. Wawancara terakhir hari itu bagi wanita kelahiran 14 Maret 1976 ini. Ia tampak agak lelah. Udara panas Jakarta membuat wajah polosnya sedikit mengilat. Ia menyalakan sebatang rokok sebelum memulai percakapan.

“Awal keterlibatan saya dengan persoalan perempuan sangat natural,” Mariana membuka obrolan, “sebab persoalan perempuan itu ada di lingkungan kita. Kita sendiri perempuan. Adik, kakak, ibu kita itu perempuan,” lanjutnya. Mariana mulai melihat dan merasakan secara sadar ketidakadilan terhadap perempuan terjadi di sekitarnya. Teman-teman sekelasnya di SMA acapkali mengalami pelecehan seksual di masyarakat, terutama para lelaki. Di sekolah, di jalan, dan di kendaraan umum. Jika banyak remaja cewe menulis diary dengan kisah cinta mereka, alumni SMA 77 ini justru mengisi buku hariannya dengan uneg-uneg seputar pelecehan perempuan yang dilihatnya. Syukurnya, ia sendiri tak pernah mengalami hal tersebut.

Hingga ia kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jayabaya (1994), kejadian-kejadian tidak mengenakkan itu masih sering ia temukan dan semakin menambah tekadnya untuk menekuni studi perempuan. Tapi baru setelah lulus anak bungsu dari enam bersaudara ini berkesempatan mendalaminya melalui kuliah pascasarjana program studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia. Di sana Mariana bertemu dan menimba ilmu dari para aktivis perempuan yang menjadi dosennya, seperti Saparinah Sadli, Karina Leksono, dan Gadis Arivia. Nama terakhir inilah yang kelak mengajaknya bergabung di Jurnal Perempuan (2003), mulai dari sekadar mengkliping berita, menjadi reporter, redaktur, manajer program, hingga direktur pelaksana, jabatan yang disandangnya sejak Januari 2008 silam.

Lima tahun bergiat di media yang kini dipimpinnya, Mariana paham betul isu dan permasalahan-permasalahan perempuan. “Persoalan perempuan kita yang paling mendasar itu kultur. Segala kebijakan yang diskriminatif basic-nya itu kultur. Baru kemudian lebih diperparah lagi dengan kondisi ekonomi serta upaya penegakan hukum yang masih terkesan main-main,” paparnya bersemangat. Asap rokok berembus lembut dari bibirnya, mengepung wajahnya yang dibiarkan polos tanpa riasan. Melihat penampilan wanita peranakan Bengkulu dan Sunda ini tentu tidak pernah terbayang bahwa pada masa remajanya ia pernah mengenakan jilbab panjang layaknya aktivis-aktivis Islam garis keras.

Di tengah kesibukannya mengurusi Jurnal Perempuan, pengagum berat Nawal El Saadawi ini masih sempat menulis fiksi. Sebuah novel telah ditulisnya bersama Hudan Hidayat berjudul Tuan dan Nyonya Kosong (2006). Jika harus memilih, Mariana lebih suka menggunakan jalur penulisan ketimbang partai politik. “Menulis itu juga sebuah tindakan revolusioner,” kata perempuan yang memandang perlu ada penafsiran ulang terhadap ayat-ayat kitab suci khususnya yang tidak berpihak kepada perempuan.

Lalu, perlukah ada partai perempuan? “Tidak perlu,” jawabnya tegas, “sebab kok kesannya jadi eksklusif ya? Padahal kan banyak juga lelaki yang membantu gerakan perempuan. Kalaupun ada partai perempuan apa menjamin bisa mengakomodasi masalah-masalah perempuan? Partai apapun selama cara berjuangnya masih sama dengan dagang sapi, ya akan sama saja”.

Pada 2006 Mariana melepas masa lajangnya dengan menikahi Verdi Adhanta. Tahun depan mereka berencana untuk punya anak. “Dua saja,” ujarnya mengenai jumlah anak yang diinginkan kelak. Hal lain yang juga menjadi idamannya adalah bisa bersekolah lagi dan menjadi penulis. ***ENDAH SULWESI
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments