Sunday, August 27, 2006,7:56 PM
Dari Diskusi Novel "Sang Pemimpi"
Sebenarnya sudah ngantuk banget nih, tetapi mumpung segalanya masih segar dalam otak, kutulis saja laporan acara diskusi buku Sang Pemimpi.

Kumulai dari jumlah peserta. Seperti telah kuduga, jumlah peserta diskusi lumayan banyak. Dari dua pertemuan sebelumnya, inilah diskusi dengan jumlah peserta terbanyak. Kutaksir ada sekitar 35 orang yang hadir. Biasanya kan hanya 10 - 15 orang. Satu hal yang menggembirakan. Tentu ini karena berbagai faktor : Andrea Hirata, Hermawan Aksan, Akmal, Teh Senny, atau karena - ehem - teh Walini :D

Untung sekali cuaca mendukung : langit cerah dengan angin sepoi-sepoi. Pas banget dengan tempat acara yang digelar di luar ruangan, beratap langit, berlampu bintang (ini membual, sebab aku gak sempat memerhatikan ada bintang tidak malam itu ya). Pokoknya, tidak hujanlah.

Andrea datang terlambat akibat lalu-lintas yang muaaaceeet. Lain kali, Ndre, kalau acara di Jakarta, mesti cadangkan waktu 2 jam untuk antisipasi macet :). Sementara itu, para pembicara sudah komplet di lokasi, siap-siap membantai, eh mengiris-iris, memotong-motong (meminjam istilah moderator), Sang Pemimpi. Maklumlah, keduanya kan novelis yang pasti ngerti banget seluk-beluk penulisan. Ditambah lagi moderatornya yang dosen sastra. Lengkaplah pembantaian malam itu.

Ah..maaf, sebetulnya bukan pembantaian, tetapi saling berbagi pengalaman dari senior kepada juniornya. Semua karena rasa sayang dan cinta serta kepedulian kepada sastra yang baik. Bukan begitu, Akmal, Her, Teh Senny? :)

Lazimnya sebuah diskusi, kubu terbagi dua. Teh Senny menyebutnya dengan cantik sebagai : kelompok pembaca yang gelisah dan kelompok pembaca yang pasrah. Dan malam itu rasanya cukup imbang jumlah yang gelisah dan yang pasrah (Teh Senny, tolong diuraikan lagi ya apa itu kelompok gelisah dan pasrah)

Intinya sih, semua yang hadir memberi apresiasi kepada Sang Pemimpi dan penulisnya, Si Ikal, yang malam itu tampil gagah berani mempertanggungjawabkan karyanya di depan publik pembacanya. Harapan semuanya semoga pada karya-karya Ikal selanjutnya, kesalahan-kesalahan tersebut bisa diminimalkan dan diperbaiki. Walaupun sedikit keras kepala, Anak Belitong itu tampak cukup besar hati menerima segala kritik dan input dari peserta diskusi dan para pembicara. Seperti kata Teh Senny dan Mas Yusi Pareanom, jangan takut dikritik.

Antusias peserta diskusi cukup besar terbukti dari banyaknya komentar dan pertanyaan yang diajukan para peserta. Andrea Hirata patut bergembira dalam hal ini, walaupun tidak semua yang hadir telah membaca karyanya.

Lebih-kurang seperti itulah yang bisa aku laporkan dari pelataran samping MP Book Point. Terima kasih lo kepada teman-teman yang sudah hadir dan mendukung acara ini. Buat yang belum hadir, masih diharapkan partisipasinya pada diskusi-diskusi selanjutnya.

Salam,
Endah 26/8
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Saturday, August 05, 2006,10:11 PM
NGETEH BARENG PARA "DEWA"
Agaknya "bulan madu"-ku bersama Budi Darma dan Ahmad Tohari belum benar-benar usai. Setelah kunjungan kami (aku dan Kef) Rabu malam yang lalu (2/8/06) ke A
rtga Mulya, tempat para beliau menginap, siang tadi aku dikejutkan dengan kedatangan keduanya ke kantorku, Gunung Mas. Tidak berdua saja memang, tapi berikut rombongan peserta Program Penulisan Mastera. Suatu kehormatan tentunya bagiku.

Ceritanya begini :

Aku tahu, bahwa hari ini merupakan hari terakhir beliau di Puncak. Esok keduanya sudah akan kembali ke rumah masing-masing. Pak Budi Darma ke Surabaya, sedangkan Pak "Dukun Ronggeng" Ahmad Tohari balik ke Purwokerto. Maka, tadi kusempatkan menitipkan oleh-oleh teh seperti yang kujanjikan. Rencananya aku akan mengantar sendiri teh itu, namun karena kesibukan pekerjaan, maka aku minta tolong seorang temanku.

Siangnya, Pak Budi sms mengatakan bahwa belaiu beserta 'gerombolan' berniat piknik ke Gunung Mas. Waaah...tentulah aku suka cita.

Berbarengan dengan bedug zuhur di masjid dekat kantorku bertalu, mobil pertama kawan-kawan Mastera tiba di Gunung Mas. Disusul setengah jam kemudia dengan mobil berikutnya. Masing-masing memuat sekira 10 orang. Tapi kok kedua tamu agung itu tidak ada dalam mobil-mobil tersebut. Ternyata mereka masih di penginapan, menanti mobil ketiga yang akan mengangkut "kloter" terakhir.

Oleh karena masih akan lama mobil ketiga itu sampainya, kemudian kugiring saja mereka yang tiba lebih dulu ini ke Kafe Tirta Mas, kedai kecil tempat minum teh. Di situ, teman-teman itu membuka bekal makan siangnya : lunch box. Di antara mereka terdapat Andrei Aksana dan Sulaiman Tripa.

Sambil menanti kehadiran kedua sesepuh itu, kami ngobrol ngalor-ngidul. Aku mulai sok akrab dengan Andrei. Nggak tahunya dia itu anaknya Nina Pane, seorang novelis di era 80-an. Novelnya yang sempat kubaca adalah Tak Sia-sia, Delia! Nina Pane ini anak Armijn Pane (atau Sanusi Pane ya? Pokoknya salah satu dari kedua Pane itu deh).

Tiba-tiba TG-ku berdering. Pak Budi Darma nelpon. Woow...kiranya beliau telah ada di Gunung Mas dan tengah menuju kami. Waduuuh....bukan main gembiranya hatiku. Kesampaian juga ngeteh bareng Budi Darma dan Ahmad Tohari, para sastrawan idolaku. Pada kesempatan itu, mereka aku perkenalkan kepada bosku yang orang Sumpyuh, tetangga Pak Tohari.

Sayang banget, tersebab keterbatasan waktu, mereka harus segera undur diri, melanjutkan tamasya hari itu ke arah Cipanas dengan target Taman Bunga Nusantara. Dengan berat hati aku terpaksa melepas mereka, menyudahi kesenangan yang indah itu. Entah kapan aku bisa memperoleh kesempatan seperti itu lagi.

Terima kasih, Pak Budi. Terima kasih, Pak Tohari. Kalian membuatku percaya pada kekuatan mimpi-mimpi. Semoga kelak masih tersisa waktu bagi kita untuk berjumpa kembali.

Endah Sulwesi 5/8
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
,1:11 AM
Dua Jam Bersama Ahmad Tohari dan Budi Darma
Percaya nggak, akhirnya aku bisa berjumpa dengan satu lagi idolaku : Ahmad Tohari?

Semua bermula dari sms Pak Kris yang menginformasikan, bahwa Pak Ahmad Tohari sedang ada di Jakarta. Waktu itu hari Senin, 31 Agustus 2006. Aduuh...gimana ya caranya? Aku harus ketemu nih. Tapi pikiranku buntu hari itu, nggak menemukan cara bagaimana bisa berjumpa beliau.

Esok siangnya, aku sms Kef mengabarkan keberadaan Pak Tohari di Jakarta. Kef menyambut dengan antusias, bertanya : acara apa? Nginepnya di mana? Sampai kapan? aku menangkap gelagat bahwa Kef akan menemui Pak Tohari.

Rupanya siang itu juga Kef bergerak cepat dengan mengontak langsung Pak Tohari. Beliau ternyata sedang ikut acara Program Mastera Penulisan Novel. Beliau salah satu pembimbing. Para pesertanya adalah penulis-penulis muda dari Asia Tenggara (Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, Indonesia). Dari info yang didapat Kef, diketahuilah tempat menginapnya Pak Tohari, yakni di Wisma Arga Mulya, Tugu, Bogor. Aku kaget. Lah..Arga Mulya itu letaknya hanya sepelemparan batu dari Gunung Mas, kantorku.
Tiap hari aku lewati. Walaaah....kesempatan langka ini tak boleh dilewatkan sia-sia. Belum tentu terjadi dua kali.

Kabar tersebut lebih diperkuat lagi oleh sms Pak Budi Darma. Beliau membalas smsku dan membenarkan, bahwa ia tengah bersama Pak Tohari. Maka, aku dan Kef segera merancang acara sowan ke Arga Mulya.Disepakati Rabu, 2 Agt 2006 selepas jam kerja.

Maka, setiba di rumah aku segera menyiapkan novel-novel beliau berdua : Ronggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Buki Cibalak, Bekisar Merah, Lingkar Tanah Lingkar Air (A.Tohari), dan Orang-orang Bloomington, Ny.Talis, Kritikus Adinan (Budi Darma). Untuk apalagi kalau bukan untuk ditandatangani oleh keduanya.

Tibalah hari Rabu yang mendebarkan itu. Sepanjang pagi hingga siang hari, pikiranku hanya tertuju pada pertemuan sore nanti.

Jam 16.30, Kef memastikan tak ada perubahan. Rencana tetap seperti semula. Jam 17, Pak Budi sms menyatakan penyesalannya karena mungkin tak bisa bertemu kami tersebab padatnya acara. Dari jam 08.00 sampai 21.00 . Jelas saja aku sedih banget. Pupuslah angan-angan indahku untuk dapat bersua dengan para dewa sastra itu. Padahal aku sudah sempat 'pamer' sama Tanzil dan Rimbun.Pak Budi juga menyampaikan maaf Pak Tohari dengan alasan yang sama. Kecewa banget rasanya. Tapi mungkin belum rejekiku. Aku segera memberitahu Kef soal tsb.

Namun, ternyata Kef mengatasi semuanya dengan baik. Entah pakai ilmu apa akhirnya ia bisa meyakinkan kedua beliau dan kami tetap bisa datang malam itu jam 21. Ya ampun, tentu saja aku girang sekali.

Lalu, sekira jam 19, aku dan Kef meluncur dari Bogor menuju singgasana peristirahatan para dewa itu. Karena janjinya jam 21, maka kami isi perut dulu di warung sate Pak Kadir yang terkenal se-Puncak itu.

Dan akhirnya tepat jam 21, kami tiba di depan kamar yang dihuni beliau-beliau : Samiaji No.4.

Yang pertama muncul adalah sosok kecil Pak Ahmad Tohari. Senyum ramahnya menyambut kami berdua. Ia segera mengenaliku (pasti Pak Budi sudah cerita deh). Kami bersalaman. Ia tersenyum, aku nervous banget. Kef dipeluknya akrab. Aku iri, kok cuma Kef yang dipeluk :)

Kemudian, dari dalam keluarlah dewa yang satunya lagi : Budi Darma yang tak kalah hangat. Mereka segera mempersilakan kami masuk dan duduk di ruang tamu. Obrolanpun mengalirlah.......

Sekira lewat setengah jam, aku keluarkan buku-buku yang kubawa tadi. Mereka berdua tertawa melihatnya tapi dengan senang hati memenuhi permintaanku untuk menandatanganinya.

Oiya, ikut pula bergabung Sulaeman P, penulis asal NAD. Ia salah seorang peserta.

Dari obrolan itu, banyak sekali kearifan yang aku petik dari kedua sastrawan ini. Salah satunya dari Pak Tohari yang 'mengharamkan' menawar segala barang yang dibeli dari petani, sebab petani telah sangat murah menjual hasil panennya. Kejam sekali jika kita masih tega menawar harga yang sudah rendah itu.

Beliau sungguh-sungguh prihatin sekaligus kecewa dengan tanah airnya : Indonesia. Itulah mengapa karya-karyanya selalu saja suram dan kelam. Itu adalah cerminan kekecewaannya tapi juga kecintaannya, dari dulu hingga kini. Karya-karyanya akrab dengan penderitaan kaum kecil yang lemah, terjepit, terhimpit. Macam Srintil (RDP) atau Lasi (Bekisar Merah).

Nah, perkara Srintil, ternyata itu ada riwayatnya tersendiri yang seru dan haru. Mirip-mirip dongeng Jaka Tarub, katanya sambil tertawa. Dan masih banyak lagi cerita serta kelakarnya.

Pokoknya, malam itu benar-benar tak akan terlupakan olehku. Terima kasih kepada Kef yang telah mewujudkan impianku. Terima kasih, Pak Tohari dan Pak Budi Darma yang telah sudi bertemu aku, si Bukan Siapa-siapa ini.

Pulangnya, di mobil Kef, aku tak kuasa menahan jatuhnya air mata. Barangkali air mata bahagia. Barangkali juga air mata haru. Atau kedua-duanya.

Endah Sulwesi 2/8/06
 
posted by biru
Permalink ¤ 4 comments