Saturday, August 05, 2006,1:11 AM
Dua Jam Bersama Ahmad Tohari dan Budi Darma
Percaya nggak, akhirnya aku bisa berjumpa dengan satu lagi idolaku : Ahmad Tohari?

Semua bermula dari sms Pak Kris yang menginformasikan, bahwa Pak Ahmad Tohari sedang ada di Jakarta. Waktu itu hari Senin, 31 Agustus 2006. Aduuh...gimana ya caranya? Aku harus ketemu nih. Tapi pikiranku buntu hari itu, nggak menemukan cara bagaimana bisa berjumpa beliau.

Esok siangnya, aku sms Kef mengabarkan keberadaan Pak Tohari di Jakarta. Kef menyambut dengan antusias, bertanya : acara apa? Nginepnya di mana? Sampai kapan? aku menangkap gelagat bahwa Kef akan menemui Pak Tohari.

Rupanya siang itu juga Kef bergerak cepat dengan mengontak langsung Pak Tohari. Beliau ternyata sedang ikut acara Program Mastera Penulisan Novel. Beliau salah satu pembimbing. Para pesertanya adalah penulis-penulis muda dari Asia Tenggara (Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, Indonesia). Dari info yang didapat Kef, diketahuilah tempat menginapnya Pak Tohari, yakni di Wisma Arga Mulya, Tugu, Bogor. Aku kaget. Lah..Arga Mulya itu letaknya hanya sepelemparan batu dari Gunung Mas, kantorku.
Tiap hari aku lewati. Walaaah....kesempatan langka ini tak boleh dilewatkan sia-sia. Belum tentu terjadi dua kali.

Kabar tersebut lebih diperkuat lagi oleh sms Pak Budi Darma. Beliau membalas smsku dan membenarkan, bahwa ia tengah bersama Pak Tohari. Maka, aku dan Kef segera merancang acara sowan ke Arga Mulya.Disepakati Rabu, 2 Agt 2006 selepas jam kerja.

Maka, setiba di rumah aku segera menyiapkan novel-novel beliau berdua : Ronggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Buki Cibalak, Bekisar Merah, Lingkar Tanah Lingkar Air (A.Tohari), dan Orang-orang Bloomington, Ny.Talis, Kritikus Adinan (Budi Darma). Untuk apalagi kalau bukan untuk ditandatangani oleh keduanya.

Tibalah hari Rabu yang mendebarkan itu. Sepanjang pagi hingga siang hari, pikiranku hanya tertuju pada pertemuan sore nanti.

Jam 16.30, Kef memastikan tak ada perubahan. Rencana tetap seperti semula. Jam 17, Pak Budi sms menyatakan penyesalannya karena mungkin tak bisa bertemu kami tersebab padatnya acara. Dari jam 08.00 sampai 21.00 . Jelas saja aku sedih banget. Pupuslah angan-angan indahku untuk dapat bersua dengan para dewa sastra itu. Padahal aku sudah sempat 'pamer' sama Tanzil dan Rimbun.Pak Budi juga menyampaikan maaf Pak Tohari dengan alasan yang sama. Kecewa banget rasanya. Tapi mungkin belum rejekiku. Aku segera memberitahu Kef soal tsb.

Namun, ternyata Kef mengatasi semuanya dengan baik. Entah pakai ilmu apa akhirnya ia bisa meyakinkan kedua beliau dan kami tetap bisa datang malam itu jam 21. Ya ampun, tentu saja aku girang sekali.

Lalu, sekira jam 19, aku dan Kef meluncur dari Bogor menuju singgasana peristirahatan para dewa itu. Karena janjinya jam 21, maka kami isi perut dulu di warung sate Pak Kadir yang terkenal se-Puncak itu.

Dan akhirnya tepat jam 21, kami tiba di depan kamar yang dihuni beliau-beliau : Samiaji No.4.

Yang pertama muncul adalah sosok kecil Pak Ahmad Tohari. Senyum ramahnya menyambut kami berdua. Ia segera mengenaliku (pasti Pak Budi sudah cerita deh). Kami bersalaman. Ia tersenyum, aku nervous banget. Kef dipeluknya akrab. Aku iri, kok cuma Kef yang dipeluk :)

Kemudian, dari dalam keluarlah dewa yang satunya lagi : Budi Darma yang tak kalah hangat. Mereka segera mempersilakan kami masuk dan duduk di ruang tamu. Obrolanpun mengalirlah.......

Sekira lewat setengah jam, aku keluarkan buku-buku yang kubawa tadi. Mereka berdua tertawa melihatnya tapi dengan senang hati memenuhi permintaanku untuk menandatanganinya.

Oiya, ikut pula bergabung Sulaeman P, penulis asal NAD. Ia salah seorang peserta.

Dari obrolan itu, banyak sekali kearifan yang aku petik dari kedua sastrawan ini. Salah satunya dari Pak Tohari yang 'mengharamkan' menawar segala barang yang dibeli dari petani, sebab petani telah sangat murah menjual hasil panennya. Kejam sekali jika kita masih tega menawar harga yang sudah rendah itu.

Beliau sungguh-sungguh prihatin sekaligus kecewa dengan tanah airnya : Indonesia. Itulah mengapa karya-karyanya selalu saja suram dan kelam. Itu adalah cerminan kekecewaannya tapi juga kecintaannya, dari dulu hingga kini. Karya-karyanya akrab dengan penderitaan kaum kecil yang lemah, terjepit, terhimpit. Macam Srintil (RDP) atau Lasi (Bekisar Merah).

Nah, perkara Srintil, ternyata itu ada riwayatnya tersendiri yang seru dan haru. Mirip-mirip dongeng Jaka Tarub, katanya sambil tertawa. Dan masih banyak lagi cerita serta kelakarnya.

Pokoknya, malam itu benar-benar tak akan terlupakan olehku. Terima kasih kepada Kef yang telah mewujudkan impianku. Terima kasih, Pak Tohari dan Pak Budi Darma yang telah sudi bertemu aku, si Bukan Siapa-siapa ini.

Pulangnya, di mobil Kef, aku tak kuasa menahan jatuhnya air mata. Barangkali air mata bahagia. Barangkali juga air mata haru. Atau kedua-duanya.

Endah Sulwesi 2/8/06
 
posted by biru
Permalink ¤