Thursday, May 11, 2006,11:13 PM
FESTIVAL TOPENG
Tak ada yang terasa benar-benar baru dari pementasan Teater Koma malam kemarin (10 Mei 2006) di GBB TIM Jakarta. Lakonnya memang baru, tetapi secara keseluruhan ya "begitu-begitu" saja : sindiran lewat humor-humor segar, dagelan yang kadang-kadang mirip Srimulat, tarian, dan nyanyian dengan iringan musik rancak arahan Idrus Madani. Kali ini bercitarasa tanjidor, musik khas Betawi, dengan gendang dan rebana yang mendonimasi bunyi-bunyian ditingkah seruling dan biola serta alat tiup seperti terompet.

Festival Topeng lakonnya, hasil besutan sutradara Budi Ros sekaligus juga menulis naskahnya ( memenangi Sayembara Penulisan Naskah Drama DKJ 2003). Pementasan sepanjang 2 jam itu merupakan produksi Teater Koma yang ke-110. Rupanya, Nano Riantiarno tengah menjalankan upaya regenerasi di Teater Koma dengan memercayakan penyutradaraan yang selama ini lebih sering dilakukan olehnya kepada "generasi muda" Koma.

Tak bisa dipungkiri, inilah satu-satunya kelompok teater di tanah air yang setiap tahun rutin mengadakan pementasan dan selalu dibanjiri penonton.

Sebenarnya, saya kadang merasa bosan tetapi sekaligus juga rindu menyaksikan aksi mereka yang menghibur : Salim "Julini" Bungsu, Rita Matumona (pementasan kali ini absen), Sari Madjid dengan vokal manjanya yang khas, Idris Pulungan (juga absen), Syaeful Anwar, dan tentu pasangan empu Ratna dan Nano Riantiarno.

Ceritanya tentang Festival Topeng yang berbuntut huru-hara. Festival Topeng merupakan tradisi tahunan masyarakat desa Mosokambang di bawah pimpinan Lurah Jarkoni (diperankan dengan baik oleh Supartono JW. Aktingnya memikat terutama saat adegan merayu Laras). Kali ini, festival rakyat tersebut berbuah keributan, sebab saah satu peserta, Mbah Joyo (N.Riantiarno, muncul dua kali saja : di awal dan akhir) menolak pakai topeng. Ia sudah lelah pakai topeng dan lebih suka memakai wajah aslinya sendiri.

Sikap Mbah Joyo, kontan menyulut amarah panitia penyelenggara festival yang diketuai oleh Mas Genggong (Prijo S.Winardi), mantan lurah. Ujung-ujungnya, Mbah Joyo lenyap tanpa seorang warga desa pun tahu ke mana perginya. Seluruh desa heboh. Mereka kehilangan tokoh panutan. Para pemimpin lepas tangan. Pak Lurah Jarkoni malah asyik masyuk selingkuh dengan Laras yang genit, istri Mas Genggong. Inilah adegan paling mengundang gerrrr penonton.

Raibnya Mbah Joyo melibatkan pula Kasmun, pentolan pemuda desa. Warga desa mencurigai Kasmun (Salim Bungsu) sekongkol dengan Sami'un (Syaeful Anwar) menculik Mbah Joyo. Ketika akhirnya Mbah Joyo pulang, desa pun hidup kembali. Festival topeng diselenggarakan lagi. Pesertanya semakin banyak. Semua orang ingin tampil dengan aneka macam topeng. Semua orang senang pakai topeng.

Bukan Teater Koma namanya bila tampil tanpa muatan kritik dan sindiran kepada para penguasa negeri. Apa lagi di zaman bebas begini. Dahulu saja, dengan dimata-matai intel, mereka tetap berani berkoar melemparkan protes. Meski pun risikonya dilarang mentas.

Demikianlah. Syukur masih ada Teatar Koma yang setia hadir menghampiri, menghibur publik penontonnya; mengajak tertawa, menertawakan keserakahan, ketamakan, dan kemunafikan manusia, kita. Kita yang senang memalsu diri dengan topeng dan kosmetik. Entah sampai kapan.....

endah sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤