Wednesday, January 23, 2008,1:48 PM
COK SAWITRI : “Pada dasarnya saya anak penurut.”
Para pemenang Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007 telah diumumkan pekan silam. Salah satu finalisnya adalah Cok Sawitri dengan karyanya Janda dari Jirah. Beberapa hari setelah ‘pesta’ itu usai, Cok masih tinggal di Jakarta untuk menyelesaikan satu dua urusan. Pada Senin (21/1) ia bersedia menerima saya dan seorang wartawati dari sebuah majalah wanita ternama ibukota di tempatnya menginap, rumah besar di bilangan Kayu Putih, Jakarta Timur. Petang itu Cok tampil santai dengan kaus oblong hitam dipadu celana pendek. Rambut panjangnya digelung. Wajahnya polos tanpa riasan make up apa pun.

Cok adalah kependekan dari Cokorda, nama yang harus disandangnya sebagai keturunan kasta Brahmana Ksatria. Lahir di Sidemen, Karangasem, Bali pada 1 September 1968 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak masih di TK ia telah senang membaca. Tradisi membaca di keluarga besarnya memungkinkan ia mendapatkan banyak bahan bacaan. Tak heran jika pada usia yang masih sangat belia, SMP kelas 2, puisinya sudah dimuat di Bali Post. “Kelas 3 SD puisiku sudah bagus. Sudah dipuji guru,” tutur Cok mengenang masa awal “percintaannya” dengan puisi. Ia ingat betul, puisi yang dibacakannya di depan kelas itu adalah tentang neneknya.

Tak berhenti pada puisi, Cok mulai mencoba menulis cerpen. Cerpen perdananya yang dimuat di koran lokal, Karya Bakti, berjudul “Kulkul”. Ketika itu ia sudah duduk di bangku SMA di mana ia menjabat pula sebagai ketua OSIS. Ia juga sempat menerbitkan sebuah majalah sekolah bertajuk Tika. Dan sampai sekarang majalah tersebut masih eksis.

“Perjumpaannya” dengan Calon Arang yang lebih suka disebutnya Rangda Ing Jirah, terjadi kira-kira sepuluh tahun lalu. Dimulai tatkala ia yang kuliah di jurusan Administrasi Negara diminta membantu seorang profesor sahabat ayahnya yang tengah melakukan penelitian bidang sosial ekonomi. “Tugas saya menghitung ada berapa sapi di satu desa. Seperti sensus,” cerita Cok sembari mengisap kreteknya dengan nikmat. Lantaran desa yang ditelitinya dekat dengan rumah kakeknya, maka Cok jadi sering singgah setiap usai mengerjakan tugasnya.

Di rumah itu Cok banyak mendapatkan cerita menarik dari seorang tantenya ikhwal sejarah dan silsilah keluarga yang kelak membawanya pada kisah Calon Arang. Untuk lebih memuaskan rasa ingin tahunya, Cok lantas menguliknya dari lontar-lontar milik keluarga. Sayangnya, ia tidak bisa membaca lontar-lontar yang ditulis dalam bahasa Kawi tersebut. Dan tidak sembarang orang boleh membaca atau mendengarkan pembacaannya.

“Tapi saya kan cucu kesayangan. Saya lalu merayu tante saya,” Cok memaparkan lebih lanjut kisahnya. Maka Cok pun diwinten (dibersihkan) melalui sebuah upacara adat untuk akhirnya diizinkan mendengarkan pembacaan lontar-lontar itu. Dan ternyata ia mampu menafsirkan dengan baik naskah-naskah kuno tersebut. Barangkali itu karena, “Pada dasarnya aku anak penurut,” ujar Cok dengan mimik serius, “ kalau aku belajar aku sangat mendengarkan, lho,” lanjutnya lagi seperti ingin meyakinkan.

Namun, baru pada 1992 tercipta puisi “Namaku Dirah” sebagai hasil penelitiannya yang panjang . Empat tahun kemudian puisi tersebut dikembangkan menjadi pementasan teater 4 episode berjudul Pembelaan Dirah.

Novelnya sendiri sesungguhnya tidak pernah ia rencanakan. Itu terjadi pada 4 hari menjelang tahun baru 2006. Dalam 4 hari itu ia menyelesaikan draf novel Calon Arang yang sangat berbeda dengan versi-versi sebelumnya. Setahun berikutnya, draf tersebut diterbitkan–utuh, tanpa diedit sedikit pun, kecuali untuk urusan salah ketik–sebagai novel liris berjudul Janda dari Jirah.

“Apa hebatnya novel Latin? Karena punya ciri khas. Apa hebatnya Hemingway? Karena dia punya ciri khas. Apa kecirian sastra Indonesia kalau tidak berani bermain di prosa liris?” Cok memberikan alasan sehubungan dengan gaya yang dipilihnya dalam menulis novelnya itu. Dan bagaimana kalau kelak ada yang ingin menerjemahkan Janda dari Jirah ke dalam bahasa Inggris? “Oh, pasti (akan) sakit jiwa translaternya,” sahut Cok.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kami percakapkan dengan pemilik nama kecil Lilies ini. Tetapi malam yang kian menua memaksa kami menyudahinya.***
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Saturday, January 19, 2008,10:18 AM
Gus tf dan Acep Zamzam Noor Jawara KLA 2007
Pada tahun ketujuh penyelenggaraan Khatulistiwa Literary Award (KLA), para juri akhirnya memilih buku kumpalan cerpen Perantau karya Gus tf sebagai pemenang untuk kategori prosa dan Menjadi Penyair Lagi, antologi puisi gubahan Acep Zamzam Noor, sebagai jawara di kategori puisi. Para pemenang menerima hadiah utama berupa uang sejumlah masing-masing seratus juta rupiah. Gus tf yang berhalangan hadir diwakili oleh Zen Hae.

Acara penganugerahan tersebut berlangsung di atrium Plaza Senayan, Jakarta pada Jumat malam, 18 Januari 2008. Pengumuman pemenang dilakukan sendiri oleh wakil dari pihak Ernst & Young Indonesia sebagai mitra kerja KLA selama ini. Lembaga akuntan publik inilah yang bertugas membuat tabulasi di setiap tahapan penjurian (seluruhnya ada 3 tahap).

Penggagas acara penghargaan sastra tahunan ini, Richard Oh, dalam sambutannya menyampaikan, bahwa sudah tujuh tahun KLA membuka jalan bagi terciptanya landasan susastra yang kokoh. Anugerah tahunan ini telah membantu penulis-penulis dari berbagai penjuru Indonesia untuk meneruskan karya mereka. Sementara itu, Koordinator Tim Juri, Donny Gahral Adian, mengatakan, bahwa anugerah KLA hendak memaklumatkan betapa kerja besar dalam menancapkan derajat “keempuan” di jagat sastra tak lepas dari para pekerja teknis yang tiada kenal lelah. Oleh karena itu, “Semoga pemenang anugerah ini dengan rendah hati menundukkan pandang ke balik layar ketenarannya,” kata Donny lagi.

Selain kedua kategori tadi, tahun ini ada satu kategori lagi yang “dilombakan”, yakni penulis muda terbaik yang berhasil diraih oleh Farida Susanty dengan bukunya yang berjudul Dan Hujan pun Berhenti. Kategori ini diperuntukkan bagi para penulis muda berusia di bawah 30 tahun dengan buku perdana mereka.

Selamat kepada para jawara! Maju terus sastra Indonesia!***ENDAH SULWESI
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Friday, January 18, 2008,11:02 AM
KENAPA LEONARDO?
Pentas Teater Koma Minus Musik dan Tarian

Tanggal 1 Maret tahun ini, Teater Koma genap berumur 31 tahun. Sebuah usia yang cukup panjang untuk sebuah grup teater di Indonesia. Sejak berdirinya, kelompok sandiwara ini dikomandoi Nano Riantiarno yang bahu-membahu bersama sang istri, Ratna, terus berupaya memperpanjang napas “anak kesayangan” mereka ini. Dan tahun ini mereka buka dengan pentas Kenapa Leonardo?

Naskah berjudul asli What About Leonardo? ini adalah karya seorang dramawan asal Slovenia, Evald Flisar. Flisar lahir di Gerlinci, Slovenia pada 12 Februari 1945. Selain menulis naskah drama (ada 12 naskah), mantan ketua Asosiasi Penulis Slovenia ini juga menulis novel, cerpen, dan esai-esai sastra. Novelnya yang paling terkenal adalah Going Away with The Wild Tiger yang telah dicetak enam kali. Ia hadir pada pertunjukan malam pertama (11/1) pentas Kenapa Leonardo? ini di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta.

Kisahnya adalah tentang sekelumit kehidupan di sebuah lembaga syaraf–semacam klinik penyakit jiwa–yang dikelola oleh dr. Hopman (N.Riantiarno) bersama pembantunya yang setia yang biasa disebut “suster” (Herlina S.) saja. Di sana ada lima orang pasien yang menjalani perawatan. Mereka adalah Martin (Budi Ros) yang mengidap amnesia akut tetapi memiliki kemampuan meniru yang menakjubkan; Bu Risah (Sari Madjid) yang mengalami gangguan dalam mengontrol gerakan-gerakan anggota tubuhnya; Prof.Karuso (Dudung Hadi) yang menggilai angka-angka; lalu ada pula Pak Miring (Joko Yuwono/ Adri Prasetyo) dengan otak mesum dan memiliki obsesi seorang aktor panggung; serta Rebeka (Tuti Hartati), gadis yang tergila-gila pada puisi dan dansa.

Hasil diagnosa dr. Hopman, penyakit para pasien itu disebabkan oleh faktor fisiologis, bukan psikologis, maka tidak mungkin disembuhkan. Sampai suatu hari datanglah dr. Dasilva, seorang dokter muda penuh gagasan pembaruan yang meyakini bahwa para pasien lembaga syaraf bisa kembali normal. Dokter cantik ini kemudian mengambil Martin sebagai “kelinci percobaan”-nya.

Namun, tatkala percobaannya mulai menunjukkan hasil, Dasilva justru mengkhawatirkan dampaknya bagi Martin, sebab ternyata ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab turut memanfaatkan “proyek Martin” tersebut untuk tujuan-tujuan jahat. Tetapi sayang, usaha menyelamatkan Martin sudah terlambat. Martin yang telah menjelma “Leonardo”–manusia baru abad 21–lepas kendali dan menimbulkan kekacauan yang berujung tragis.

Lewat naskah ini, tampaknya Evald Flisar ingin menyampaikan betapa pentingnya kemanusiaan bagi semua orang; bagi orang gila sekalipun. Manusia berbeda dengan benda atau hewan yang tidak memiliki kebebasan memilih serta kemampuan “merasa”. Kita harus senantiasa mengutamakan kemanusiaan dalam segala hal.

Menurut Ratna Riantiarno selaku pimpinan produksi, lakon ini adalah refleksi diri. Betapa dekat jarak antara ‘kenyataan’ dan ‘khayalan’. Betapa besar khayal memengaruhi kehidupan sehari-hari. Drama ini juga, masih menurut istri Riantiarno ini, merupakan pertarungan antara neurology, psikiatri, psikologi, dan politik. Ketika hukum kausalitas hilang keampuhannya dan kita tak mampu lagi saling melihat, itulah kengerian bagi dunia.

Pementasan ke-112 ini terasa berbeda dengan pementasan-pementasan sebelumnya karena minus lagu dan tari, bahkan ilustrasi musik sekali pun. Panggung yang biasanya ramai dan meriah oleh gerak dan tari jadi terasa “sunyi”. Materi guyonannya pun kurang “akrab” dengan peristiwa sosial politik tanah air seperti lazimnya Teater Koma selama ini. Durasi pertunjukan yang hampir 4 jam dengan lakon realis yang “serius” itu, agaknya bagi sebagian penonton cukup melelahkan. Beberapa kursi yang semula penuh, tampak kosong setelah jeda 15 menit.

Yang patut dipuji dari pementasan ini adalah setting panggung yang menampilkan salah satu ruangan dalam di lembaga syaraf tersebut; bergaya bangunan lama zaman kolonial Belanda, lengkap dengan jendela, pintu lengkung, serta gerbang besi yang khas.

Akting para pemain lumayan bagus, khususnya karakter Pak Miring yang genit dan sedikit mesum serta Bu Risah, berhasil menghidupkan suasana di setiap kehadirannya. Bintang tamu, Cornelia Agatha, tampil standar saja, tidak terlihat menonjol. Demikian pula Nano Raintiarno yang merangkap sebagai sutradara.

Pertunjukan ini akan berlangsung sampai dengan 24 Januari 2008.***ENDAH SULWESI
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Friday, January 11, 2008,12:02 AM
FTI AWARD 2007

Untuk kedua kalinya, Federasi Teater Indonesia (FTI) menganugerahkan penghargaan kepada seorang pekerja/seniman teater Indonesia. Tahun 2007 ini, pada usianya yang ketiga, FTI memberikan anugerah tersebut kepada dramawan Putu Wijaya. Bertempat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu malam pekan lalu (9/1) FTI Award diserahkan dalam sebuah acara sederhana yang dihadiri insan-insan teater dan seniman Indonesia; di antaranya tampak Slamet Rahardjo Jarot, Alex Komang, Didi Petet, Danarto, W.S. Rendra, dan Jajang C.Noer. Hadir juga penyanyi balada Ebiet G.Ade dan Aning Katamsi yang mempersembahkan beberapa lagu, serta Raja Monolog Butet Kertaradjasa yang tampil membacakan cerpen Paman Gober karya Seno Gumira Ajidarma.

FTI yang diketuai oleh Radhar Panca Dahana ini dibentuk pada 27 Desember 2004. Waktu itu tak kurang dari 250 kelompok teater yang ada di wilayah Jabodetabek bertemu di TIM dengan agenda mendeklarasikan satu wadah bagi para pekerja/seniman teater. Wadah ini kelak diharapkan mampu mengakomodasi semua kepentingan seniman teater, seperti pementasan, workshop, terjemahan naskah, hingga pertukaran dengan seniman teater luar negeri. Namun, dalam usia yang masih balita ini, FTI sering kesulitan menyelenggarakan program-programnya karena terbentur masalah dana (finansial).

Terpilihnya I Gusti Ngurah Putu Wijaya sebagai penerima FTI Award adalah hasil kesepakatan dewan juri yang terdiri dari Nano Riantiarno, Danarto, Benny Yohanes, dan Radhar Panca Dahana. Putu Wijaya yang lahir pada 11 April 1944 ini dinilai sangat pantas mendapatkan anugerah tersebut karena, “Dedikasinya tidak diragukan lagi. Baginya teater adalah darah dan jiwa. Lebih dari satu dekade, ia menyadarkan, dengan gaya ‘meneror’, bahwa selalu masih ada ruang untuk mempertanyakan kembali sikap, aturan, kesimpulan, dan hukum-hukum teater yang seakan sudah dianggap baku dan tak bisa diubah-ubah lagi.” Demikian N.Riantiarno mengemukakan alasannya.

Putu Wijaya memang seniman serbabisa. Selain menekuni teater, lelaki kelahiran Tabanan, Bali ini juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Sudah 30 novel, 40 naskah drama, ratusan cerpen, esai, serta kritik drama yang ditulisnya. Bahkan tiga skenario film karyanya–Perawan Desa (1980), Kembang Kertas (1985), serta Ramadhan dan Ramona (1992)–telah memenangi Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI). Seni lukis dan panggung sinetron pun tak luput dirambahnya pula.

Pada tahun 2007 yang lalu, anak ketiga dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati ini juga memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie dari Freedom Institut. Lagi-lagi berkat kiprah dan dedikasinya pada dunia sastra dan teater Indonesia.

Bengkel Teater pimpinan W.S.Rendra adalah awal mula “percintaan” Putu dengan panggung teater. Itu terjadi 40 tahun silam di Yogyakarta, kota tempat ia menamatkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (1969). Di kota pelajar ini pula lelaki yang kini akrab dengan topi pet putihnya itu, menempuh pendidikan seni di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) serta di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).

Pada 1970, Putu hijrah ke Jakarta dan sempat terlibat di Teater Ketjil pimpinan Arifin C.Noer dan Teater Populer-nya Teguh Karya. Setahun berikutnya (1971) ia mendirikan Teater Mandiri dan kemudian giat mengusung pertunjukan-pertunjukan yang disebutnya sebagai “teror mental” dengan lakon yang selalu bersumber dari karya-karyanya dan disutradarainya sendiri. Pertunjukan perdananya adalah Orang-orang Mandiri (1971) yang ditayangkan di TVRI. Selanjutnya, hingga hari ini, Putu Wijaya terus berkarya tanpa henti bagi sastra dan dunia teater yang dicintainya.***

Endah Sulwesi (dari berbagai sumber)
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Sunday, January 06, 2008,9:15 PM
MOHAMMAD BAIHAQI

NGETOP BERKAT NGE-BLOG



Jika Anda mengalami masa remaja pada era 80-an, Anda tentu masih ingat sejumlah peristiwa yang menandai zaman tersebut yang kini menjadi semacam ikon. Mulai dari acara-acara televisi ,lagu-lagu, film layar lebar, sinetron, drama bersambung di radio, hingga jajanan dan fashion-nya.

Jika Anda rajin berselancar di dunia maya, Anda akan menemukan satu weblog beralamat di Lapanpuluhan.blogspot.com yang berisi segala pernik ihwal dekade delapan puluhan. Dikemas dalam bahasa yang renyah, tulisan-tulisannya enak dibaca dan mungkin akan membangkitkan kembali ingatan Anda. Pemilik blog ini adalah Muhammad Baihaqi.

Tentu ia salah satu manusia yang memiliki kenangan menyangkut periode itu. Pada tahun-tahun tersebut, Q,begitu ia disapa oleh teman-temannya, menjalani masa kanak-kanak dan remajanya.

“Saya lahir di Bandung, tetapi sekolah dari SD sampai SMA di Malang,” terangnya dengan suara pelan memulai bincang-bincangnya dengan saya. Q memang dikenal pendiam. Tetapi sebenarnya tidak tepat juga, sebab (terbukti kemudian) selama ngobrol cukup sering ia terbahak-bahak, terutama tatkala kenangannya nyantol kepada hal-hal yang lucu.

Setamat SMA, cowok berkaca mata ini melanjutkan kuliahnya di ITS jurusan Teknik Perkapalan (1990-1995). Setahun setelah lulus ia hengkang ke Jakarta untuk menekuni profesi sebagai konsultan perkapalan.

Q tak pernah mengira blog mungilnya ternyata banyak peminat. Setiap hari pengunjungnya terus bertambah. Dari komentar-komentar yang masuk, ada usulan agar dibuat milisnya. Mulanya, ia sempat tidak yakin dengan saran-saran itu. Apakah akan ada yang tertarik nantinya?

Namun, diam-diam lelaki kelahiran 20 Desember 1971 ini membuat juga milis itu. Lantaran nggak pede (percaya diri), embrio milis itu tidak ia luncurkan dahulu. Barulah ketika ada orang lain yang menemukannya lewat mesin jelajah Google, Q tidak bisa sembunyi lagi. Tepat sebulan berikutnya, milis dengan alamat .lapanpuluhan.@yahoogroups.com pun go public.

Dan manakala komunitas itu kian berkembang besar, banyak pihak yang mulai melirik untuk meliputnya. Q dan teman-temannya mulai sering mendapat panggilan wawancara dari beberapa media cetak (Kompas Minggu) dan elektronik (Trans TV, O’Channel, dan Radio Sonora). Setiap kali usai ditayangkannya liputan tersebut, selalu berdampak pada penambahan jumlah anggota milis.
“Puncaknya sih waktu tayang di Kompas Minggu,” kata anak bungsu dari lima bersaudara ini, “Jumlah member bertambah sekitar 700 orang,” lanjutnya lagi. Ya, milis itu kini memiliki anggota sebanyak 2.600 orang; tersebar di seantero dunia.

Secara finansial, mungkin tidak atau belum menghasilkan apa-apa bagi putra Achmad Chambali (alm) ini. Namun, tak mungkin ditampiknya kenyataan bahwa dari situ ia memperoleh banyak teman dan juga popularitas. Tetapi mengapa ia masih melajang hingga kini?

“Ha..ha..ha…belum takdirnya menikah kali,” sahut pemilik 13 blog ini sembari tergelak. Q memang penggila blog. Selain lapanpuluhan, ia masih sempat pula repot-repot menangani blog-blog lainnya yang juga cukup beken di kalangan blogger. Sebut saja salah satunya, http://www.qyu.blogspot.com/, tempat ia menulis resensi buku.

“Nah, kalau blog resensi buku ini sudah menguntungkan secara materi. Saya sering dikirimi buku gratis dari penerbit,” kata Q lagi. Adakah blognya yang membincang dunia perkapalan?

“Oh tidak…!,” sahut Q buru-buru,”Saya nge-blog kan buat hiburan, keluar dari rutinitas pekerjaan kantor. Jadi, saya tidak akan bikin blog perkapalan, ha..ha..ha,” sambungnya lagi menyudahi percakapan pada petang yang basah oleh gerimis itu. ***
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments