Tuesday, November 28, 2006,11:06 AM
Dari Diskusi Novel "Tsotsi"
Pada diskusi kali keempat ini (Jumat, 24 November 2006), peserta yang hadir hanya sekitar 12-15 orang (aku lupa menghitungnya dan tidak disediakan buku tamu). Selain aku, Kris, Kef, Yusi, dan Hikmat (malam itu bertindak selaku moderator), peserta lainnya merupakan wajah-wajah baru.

Dipandu oleh Hikmat Darmawan, acara dibuka dengan pemutaran potongan film Tsotsi. Film yang meraih Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini, tidak terlalu setia pada novelnya. Misalnya saja, setting di novel adalah Afrika Selatan tahun 1950-an. Di film, setting ini dipindah ke masa kini. Lokasi tetap di Afsel. Namun, demikian hal tsb tidak lalu menjadikan filmnya tidak menarik.Tapi buat aku pribadi, lebih asyik membaca novelnya. Rasanya lebih "dalem" gitu...

Rada cemas sedikit sih, sebab langit malam itu tampak murung oleh mendung yang menggantung. Kalau sampai jatuh hujan, diskusi yang sudah disiapkan di area terbuka terpaksa harus boyong ke sebuah ruang kecil yang berfungsi sebagai perpustakaan MP Book Point. Tapi, rupanya hujan urung datang. So, diskusi tetap bisa diteruskan di bawah payung-payung kafe sampai selesai.

Pembicara semula adalah Eric Sasono, seorang pengamat perfilman. Namun, pada detik-detik terakhir (satu hari sebelum hari "H"), ia terpaksa membatalkan kesediaannya semula karena ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan. Maka lantas pembicara pengganti pun dicari. Ketemulah nama Bagus Takwin, dosen psikologi UI yang juga penulis novel Akademos.

Oleh sebab Aten, sapaan akrab untuk Bagus Takwin, seorang dosen psikologi, maka ulasan beliau untuk Tsotsi diteropong lewat perspektif psikologi. Tentu jadi menarik, karena boleh disebut Tsotsi adalah sebuah novel psikologi. Menurut pengakuan Aten, dia dan para mahasiswanya pernah nonton bareng dan mendiskusikan film Tsotsi sebagai bagian dari kuliah yang diberikannya.

Pada sesi tanya jawab, beberapa hadirin terpancing menggulirkan pendapatnya. Di antaranya Yusi Pareanom yang bertanya soal kepribadian dan elemen kepribadian. Juga ada cowok dari London School (maaf aku lupa mencatat namanya). Dengan skeptis ia menanyakan apakah benar manusia bisa berubah secepat itu seperti yang dialami Tsotsi. Terus juga ada pendapat dari Pak Johan, lelaki beranak 7 yang malam itu memborong buku banyak sekali (di MP Book lagi ada diskon sampai 80%!). Bapak ini berpendapat, sembari memberi ilustrasi kisah-kisah Nabi dan para sahabatnya, bahwa hidayah bisa datang kepada siapapun yang Tuhan inginkan. Aten setuju, tetapi tetap semua hal tidak muncul begitu saja. Selalu setiap kejadian memiliki sejarahnya sendiri. Dengan gaya ustad (cieee), dia mengutip kalimat : Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang atau suatu kaum apabila orang atau kaum itu tidak berusaha mengubahnya. Kira-kira begitu deh.

Masih ada beberapa lagi yang menanggapi. Titi, yang datang terlambat, melempar pertanyaan soal chiklit. Menurut cewek ini, agar novel-novel bertema "berat" lebih diminati remaja, mengapa tidak dibuat dalam bentuk chiklit saja. Segera saja ditanggapi dengan seru oleh Kris dan Yusi dan Aten.

Akhirnya, diskusi diakhiri dengan bagi-bagi doorprize. Malam itu yang ketiban rejeki adalah Pak Johan, Mas London School, dan Titi. Masing-masing membawa pulang 1 buah novel Tsotsi. Kemudian, pemutaran film dilanjutkan hingga tamat.

Dan seperti biasa terjadi, beberapa orang masih belum puas ngobrolnya. Merekapun meneruskan diskusi di warung bakmi Jawa Ampera sampai jam 12.30. Siapa sih mereka yang gila ngobrol itu? Nih dia : Kris, Kef, Yusi, Aten, dan Risdi (editor buku kumpulan cerpen happy Salma yang baru diluncurkan beberapa waktu berselang).

Demikian. Semoga diskusi berikutnya hadir lebih banyak lagi peserta.

Salam,
endah
 
posted by biru
Permalink ¤ 4 comments
,10:27 AM
Dari Peluncuran buku Yohanes Sugianto (Di Lengkung Alis Matamu)
Yo, Alis Siapa yang Melengkung Itu?

"Di Lengkung Alis Matamu", demikian Yohanes Sugianto, sobat kita di milis ini, memberi tajuk bagi buku kumpulan puisinya yang diluncurkan Sabtu malam, 25 November lalu di pelataran belakang Kafe Saqi MP Book Point, Jakarta Selatan. Judul tersebut mengingatkanku pada sebuah artikel yang pernah ditulis Joko Pinurbo di majalah sastra Matabaca.

Pada artikel tsb, Jokpin menulis soal tiga puisi ttg alis dari tiga penyair besar : Gunawan Mohamad dg alis Frida Kahlo yang melengkung bagai kepak sayap burung (ia menulis : 'di alismu langit berkabung dst...) lalu Acep ZN dengan "Cipasung" ( bait pertama berbunyi : 'di lengkung alismu sawah-sawah menguning'), dan alisnya Sitor Situmorang dalam "Berita Perjalanan" ( 'Kujelajah bumi dan alis kekasih..dst). Dengan kehadiran buku puisi Yo ini, tampaknya deretan penyair pemuja alis bertambah satu lagi :)

Yo, alis siapa yang melengkung itu? Begitu Indah, yang malam itu berduet dengan Kef selaku pembawa acara, mengajukan pertanyaan menggoda itu yang tak kunjung dijawab oleh "pujangga baru". Barangkali Yo ingin menyimpan bagi dirinya sendiri siapa si pemilik alis itu.

Tak mengapa, yang penting, malam minggu itu menjadi milik Yo. Ia pasti bahagia dengan banyaknya hadirin yang datang memberi dukungan : istri dan anak-anaknya tercinta, para sahabat dari Bunga Matahari, Apsas, dan Milis Penyair, rekan-rekan dari Indofood tempat Yo berkantor, dan teman-temannya yang lain. Kebahagiaannya tentu bertambah sempurna dengan kedatangan Joko Pinurbo dan Ike Nurjanah. Sedianya, akan datang pula Djoni Ariadinata sebagai wakil dari penerbit. Namun, ternyata ia berhalangan.

Maka, kemudian didaulatlah Jokpin menggantikan Djoni memberi sambutan dari penerbit. Jokpin memang "sihir" tersendiri bagi kalangan penikmat puisi.Tanpa teks, ia "berpidato" singkat yang mengundang geeer para tamu. Di antaranya ia mengatakan, bahwa puisi itu seperti hidup kita : sering salah cetak dan kita berulangkali terus berusaha memperbaiki salah cetak itu. Perumpamaan yang bagus :)

Lalu, bergantian kedua MC amatiran itu (maaf Indah dan Kef, bercanda lo), memanggil satu demi satu kawan-kawan Yo untuk tampil ke pentas membacakan puisi-puisi Yo sebelum akhirnya disudahi oleh penampilan Ike Nurjanah yang imut-imut itu (Eh, seorang Ike bisa gemetar juga ya baca puisi. Tapi, itu gemetar krn grogi atau karena penghayatan sih?)

Jadi, kira-kira begitulah acara peluncuran buku "Di Lengkung Alis Matamu". Pada kertas karton manila yang diedarkan, aku menulis : "Mengapa alis, Yo, dan bukan bibir? Bukankah bibir lebih sensual dan seksi?"

Akhirnya, dari aku, temanmu bermilisria : "Selamat nyemplung di dunia puisi. Seperti kata Jokpin, sekali kau terjun, kepenyairanmu tak bisa dicabut kembali"

Salam,
endah (punya alis juga, walau tidak melengkung)
 
posted by biru
Permalink ¤ 1 comments
Sunday, November 26, 2006,10:59 PM
Wawancara dengan Gde Aryantha Soethama
Gde Aryantha Soethama : “Terlalu banyak gugatan yang harus dilontarkan di Bali”
Kamis pekan lalu, 16 November 2006, barangkali akan menjadi malam yang selalu dikenang oleh Gde Aryantha Soethama. Pasalnya, pada malam penganugrahan Khatulistiwa Literary Award itu, Mandi Api, buku kumpulan cerpen karya pria berperawakan tinggi besar ini, berhasil keluar sebagai pemenang untuk kategori penulisan prosa, mengalahkan empat finalis lainnya.
Gde Aryantha telah gemar menulis sejak remaja. Tulisan-tulisan awalnya lebih banyak berupa puisi sebelum akhirnya menulis cerita pendek, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik. Berbagai penghargaan telah diraihnya, di antaranya sebagai juara pertama lomba penulisan novel yang diselenggarakan oleh harian Bali Post (judul novel itu Senja di Candidasa).
Berikut ini adalah bincang-bincang tertulis Parle dengan lelaki yang mengaku menyukai kisah-kisah wayang ini :
Bagaimana perasaan Anda menerima anugrah ini? Pernah menyangka sebelumnya?
Tentu saya senang. Selain itu, penghargaan ini menandakan bahwa karya saya disukai, setidaknya oleh para juri. Saya tak pernah menduga karya saya akan memperoleh penghargaan sastra paling bergengsi di Tanah Air kita. Yang bersaing karya-karya terbaik yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang tersohor. Ini ibarat persaingan antarpendekar sakti di rimba persilatan. Dan saya tak pernah memperhitungkan diri sebagai salah seorang dari pendekar itu. Tahu-tahunya, eh, menang!
Apa makna kemenangan ini bagi Anda?
Sebagian besar cerpen dalam Mandi Api berkisah tentang kehidupan Bali, tentang persoalan-persoalan Bali yang tidak banyak diketahui dunia luar. Selama ini kita tahu Bali dari ocehan pemandu wisata dan kenyinyiran brosur-brosur pariwisata. Informasi itu bertujuan untuk menggaet pelancong, dan sudah tentu, menjual Bali. Seperti kebanyakan informasi berbau iklan, banyak informasi itu yang tidak benar, dilebih-lebihkan, selalu serba hebat, romantis, menggairahkan, penuh pesona. Sudah barang tentu, itu informasi yang menipu. Nah, sastra dengan jujur menyampaikan apa sesungguhnya yang terjadi di Bali. Jadi, Mandi Api berbicara tentang Bali dari dalam, kisah-kisah dari orang yang melakoni langsung kehidupan Bali. Karena itu, ini adalah penghargaan terhadap hasrat mengungkap Bali yang sesungguhnya, dengan sejujurnya. Ada banyak konflik di antara manusia Bali dikisahkan dalam buku ini, berikut ironinya. Tidak berarti selama ini tidak ada karya, fiksi dan nonfiksi, yang bagus dan jujur tentang Bali. Tapi, banyak karya itu ditulis oleh orang asing. Dalam karya-karya itu memang kita mendapatkan keunikan, tetapi tidak otentik. Dalam Mandi Api kita mendapatkan kisah-kisah tentang Bali yang unik dan otentik, karena ditulis oleh orang Bali, oleh orang yang melakoni, sehingga dia menjadi cerita-cerita "Bali oleh Bali, unik dan otentik".
Cerpen-cerpen dalam Mandi Api banyak mengambil latar kehidupan masyarakat dan budaya Bali. Apakah memang ada hal-hal yang perlu digugat dalam budaya dan tata kehidupan masyarakat Bali kini? Perubahan apa sebenarnya yang paling mengkhawatirkan?
Terlalu banyak gugatan yang harus dilontarkan di Bali. Karena Bali tumbuh dan berkembang berkat pariwisata, sudah tentu, dunia plesir salah satu yang harus bertanggungjawab terhadap perekonomian Bali. Tetapi orang sering keliru, seolah-olah Bali itu berubah hanya karena pariwisata. Di dalam diri Bali sendiri, perubahan-perubahan yang menyangkut kehidupan adat dan keagamaan, berubah tanpa pengaruh pariwisata. Artinya, ada atau tidak pariwisata, perubahan dalam tatanan masyarakat Bali akan berubah juga. Saya rasa bangsa-bangsa mana pun mengalami hal semacam ini. Modernisasi, snobisme, hedonisme, dengan mudah kita dapatkan di Bali. Hubungan kekerabatan meluntur. Mereka yang kaya karena pariwisata, melangsungkan upacara adat semakin mewah. Orang-orang Bali banyak yang menjual tanah dengan harga tinggi, kemudian menghabiskan uangnya untuk ritual keagamaan. Makin banyak orang Bali yang dulu punya tanah, kini tidak lagi. Semakin hari kian banyak tanah-tanah di Bali dikuasai oleh orang luar. Ini masalah gawat.
Tampaknya Anda menyukai tema-tema realis ya. Ada alasan tertentu?
Persoalanya bukan suka atau tidak. Tetapi, begitulah kemampuan saya. Saya menyukai karya aliran macam apa pun. Mungkin karena saya terlibat sangat lama di pers, saya dibentuk untuk menyampaikan gagasan, peristiwa, apa pun segamblang mungkin. Jangan sampai satu pun informasi sampai membingungkan pembaca. Tak bolah menimbulkan pengertian ganda. Semua harus jelas, nyata, tajam, hindari kalimat yang berbunga-bunga. Jangan berbelit-belit. Itu mungkin sebabnya, akhirnya saya menulis karya fiksi menjadi seperti kenyataan. Ini bukan pilihan, tapi memang begitulah jadinya.
Sekarang banyak artis yang tiba-tiba menjadi penulis dan membuat buku. Bagaimana komentar Anda mengenainya?
Siapa pun berhak menulis buku. Dan itu bagus. Persoalannya bukan siapa yang menulis, tapi apakah yang mereka hasilkan itu bagus atau tidak. Kalau jelek, ia akan ditinggal. Jika bagus, dia akan diharapkan, ditunggu-tunggu.
Dengar-dengar Anda aktif mengikuti milis-milis perbukuan dan sastra. Menurut Anda, sampai di mana peran milis-milis itu bagi perkembangan sastra? Adakah pengaruhnya bagi Anda sebagai penulis?

Saya ikut milis secara pasif saja, untuk mengetahui perkembangan kesusastraan kita, karena media cetak tampaknya tidak sanggup menampung melubernya gairah orang-orang yang bergiat atau sekedar main-main di sastra. Saya selalu berharap semakin banyak tumbuh milis sastra dan perbukuan. Ini akan sangat membantu siapa saja yang hendak mengasah kepengarangannya dengan mengikuti milis-milis tersebut. Sekali tempo, bagus juga kalau ada lomba milis perbukuan dan sastra. Ini akan memacu kita untuk berinteraksi. Memberi kita perbandingan, sejauh mana pencapaian kita. Banyak informasi karya atau buku yang bagus saya dapatkan dari milis. Tapi banyak juga karya-karya jelek yang digembar-gemborkan bagus dan hebat di milis. Namanya juga promosi.
Nah, kalau yang ini pertanyaan iseng-iseng : mau dipakai apa nih hadiah 100 juta?
Ini bukan pertanyaan iseng, justru pertayaan serius. Terus terang, saya tak pernah menyangka jadi pemenang. Jadi, tak pernah menduga tiba-tiba punya duit Rp 100 juta. Karena itu, ketika diumumkan sebagai pemenang, saya tak tahu untuk apa uang sebanyak itu. Beberapa saat kemudian saya berpikir, mengapa hadiah ini tidak saya belikan mesin cetak saja? Saya bisa mencetak lebih banyak buku sastrawan lain dengan harga berdamai. Saya memang merancang sendiri sebagian besar buku-buku saya yang saya terbitkan dan cetak sendiri. Dengan mesin cetak yang akan saya beli, tentu saya bisa lebih longgar memproduksi buku. Ongkos cetak bisa ditekan karena dikerjakan dengan mesin sendiri. Beberapa rekan pengarang di Bali yang kantongnya tipis dan ingin menerbitkan buku, kadang-kadang datang kepada saya agar penerbitan bukunya bisa dibantu. Maka, pertanyaan untuk apa uang seratus juta itu sesungguhnya pertanyaan serius, tidak iseng. Sepotong pertanyaan yang sesungguhnya menyangkut dunia kepengarangan dan industri perbukuan.
Endah Sulwesi 26/11
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Friday, November 17, 2006,7:29 PM
Wawancara dengan Dinar Rahayu
DINAR RAHAYU : "Saya terobsesi pada tokoh, mimpi, ide....."


Membincang erotisme dalam novel Indonesia, nama Dinar Rahayu acap kali disebut. Ini lantaran novelnya, Ode untuk Leopold Van Socher Masoch, di beberapa bagian memuat adegan yang cukup erotis. Novel ini mengupas tema seputar masokisme dan perilaku transeksual dipadukan dengan mitologi. Dara manis berkerudung ini sangat menggandrungi mitologi, khususnya mitologi Yunani. Minat yang barangkali tak ada hubungannya dengan studi yang pernah ditempuhnya di jurusan kimia ITB.

Sempat tersiar kabar, bahwa gara-gara novelnya, gadis yang masih senang melajang ini diberhentikan dari pekerjaannya sebagai tenaga pengajar di lembaga pendidikan milik sebuah yayasan Islam di Bandung.

Namun, berkat novelnya juga Dinar jadi sering mendapat undangan untuk mengisi acara-acara sastra. Di antaranya, pernah diundang Komunitas Utan Kayu pada acara "Panggung Cerpen Indonesia Mutakhir" (2003) dan menjadi peserta "Festival Sastra Internasional Utan Kayu" di Lampung (2005).

Pada kesempatan menghadiri acara "Lampion Sastra" di TIM pekan lalu, Dinar dengan ramah menerima ajakan wawancara Parle. Wawancara dilakukan secara langsung dan tertulis. Berikut ini nukilannya :

Novel Anda Ode untuk Leopold Von Socher-Masoch itu sering disebut sebagai sebuah karya prosa yang erotis. Menurut Anda sendiri, karya Anda itu termasuk erotis tidak? Apakah ada pergulatan batin sebelum memutuskan menulis dan kemudian menerbitkannya? Apa komentar keluarga Anda tentang novel itu?

Saya, sebagai penulisnya, melihat novel tersebut sebagai kesatuan, mungkin ada bagian yang erotis, sadis, sensual, membingungkan, absurd..tapi keseluruhan adalah seperti gambar puzzle yang bila dicopot di beberapa tempat maka gambar tersebut tak terlihat lagi. Ketika hendak memulai menulis novel tersebut saya terobsesi pada tokoh, mimpi, ide dari novel itu dan asyik mencari 'suara' yang seperti apa yang bisa mewakili mereka. Ide untuk menerbitkannya timbul setelah novel itu beres saya tulis. Saya membeli buku yang berisi nama-nama penerbit lalu saya kirim dan saya lupakan. Komentar keluarga: terkejut karena saya bisa punya buku yang diterbitkan tapi ya setelah itu biasa kembali

Jika dilihat tahun terbitnya, novel Anda itu terbit tahun 2002.Empat tahun setelah 'heboh' Saman-nya Ayu Utami yang juga menurut beberapa pengamat sastra adalah erotis. Apakah keberadaan Saman turut berpengaruh pada Ode?

Di beberapa media memang sering ditulis bersamaan, entah untuk dibandingkan atau dikatakan mengikuti jejak yang sudah dirintis Saman. Saya pikir untuk sebuah amatan literatur, seluruh karya akan saling berkait, hal itu wajar saja.

Konon gara-gara Ode Anda dikeluarkan dari pekerjaan Anda yang terdahulu. Betulkah?

Tidak

Apa pendapat Anda melihat penulisan sastra erotis, khususnya prosa, yang marak beberapa waktu belakangan ini? Ada hubungannya tidak dengan gerakan feminisme?

Nah ini dia, saya tak kompeten menjawab ini karena saya tidak mengikuti kemarakan dan gerakan itu. Tapi karena bagi saya penulisan dan pembacaan literatur ini lebih kepada rasa bukan berpikir analitis, ya itu suatu penjelajahan tanpa penjajahan.

Selain novel Anda juga menulis cerpen ya. Mana lebih puas, menulis novel atau cerpen?

Untuk yang ini saya mau mengambil dari buku Robert Olen Butler From Where You Dream, bahwa pada cerita pendek, si penulis seperti mengatakan: 'ayo saya mau cerita suatu saat tentang karakter ini ketika dalam hidupnya ada sesuatu yang luar biasa', tapi jika novel seperti mengatakan: 'ayo saya mau ceritakan banyak kejadian dan pikiran si karakter-karakter ini yang mungkin saling berhubungan'. Dan bagi saya sendiri sulit menentukan yang mana cerita saya yang akan menjadi novel atau cerpen, tak bisa diperkirakan di awal. tetapi ketika selesai, tentu saja kepuasannya sama saja.

Apa komentar Anda melihat perkembangan sastra mutakhir? Khususnya sastra lokal?

Nah, ini juga, saya tidak mengikuti secara intens. Saya sekarang sedang lebih tertarik membaca karya Shusako Endo, Junichiro Tanizaki dan sepotong-sepotong karya penulis Turki: Asli Erdogan (karena saya belum berhasil mendapatkan terjemahan dari B. Turki ke B.Inggris dari karyanya ini)

Ada rencana menulis novel berikutnya? Kalau boleh tahu tentang apa nanti ceritanya?

Saya berusaha untuk menulis tiap hari. Kadang-kadang ada yang langsung saya hapus atau saya diamkan. Tapi untuk menulis apakah bentuknya nanti novel atau cerita pendek saya tidak tahu.

Sekarang aktivitas Anda apa lagi selain menulis?

Untuk menunjang kebutuhan hidup saya jadi tenaga pengajar di akademi kesehatan. Saya membimbing praktikum dan mengurus laboratorium kimia. Mereka kadang menyita waktu dan pikiran. Jadi waktu liburan benar-benar saya tunggu. Begitulah hidup...

Pertanyaan terakhir : Kapan menikah nih?

Untuk yang terakhir ini jawaban saya jelas : tidak tahu.


Endah Sulwesi 14/11
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
,7:25 PM
Laporan dari Acara Lampion Sastra III
EROTISME REMANG SENJA


Hajatan rutin Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk Lampion Sastra, Jumat, 10 November 2006 kembali digelar. Merupakan kegiatan sastra senja ketiga kalinya, setelah "Lima Sihir Sastra" dan "Parade Buku Baru", pada September dan Oktober yang lalu. Acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi, cerpen, dan petikan novel.

Alasan mengapa tema tersebut yang dipilih, Zen Hae dari DKJ selaku ketua komite sastra, mengatakan dalam pengantar di buku panduan, bahwa lewat acara ini ingin menempatkan erotisme sebagai tema yang sama pentingnya dengan tema-tema lain dalam sastra dan mesti diapresiasi dengan sikap yang tanpa prasangka.

Erotisme telah lama ada dalam sastra Indonesia. Namun, baru kembali marak dibicarakan lagi seiring terbitnya novel Saman karya Ayu Utami (1998). Bertambah ramai dengan hadirnya karya-karya Djenar Maesa Ayu dan belakangan ada pula Dinar Rahayu dengan Ode untuk Leopold Von Socher-Masoch (2002).

Bukti bahwa erotisme - dan bukan pornografi - telah ikut mewarnai sastra kita dapat ditemukan pada Serat Centhini (1815) karya bersama Raden Ngabehi Sutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura II, dan Raden Ngabehi Sastradipura. Serat Centhini ini aslinya ditulis dalam bahasa Jawa Klasik, kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain.

Versi bahasa Indonesianya justru dialihbahasakan dari bahasa Prancis oleh Elizabeth D.Inandiak. Karya berjudul asli Suluk Tambangraras-Amongraga ini pada 8 November yang lalu versi bahasa Inggrisnya telah diluncurkan di London.

Acara yang berlangsung di Ruang Kreativitas Terbuka Taman Ismail Marzuki, Jakarta ini, cukup diminati. Jumlah hadirin lumayan banyak dan dengan setia mengikuti keseluruhan acara sampai usai.

Berturut-turut tampil sebagai pembaca, adalah Ruth Marini (membawakan petikan Ode untuk Leopold Von Socher-Masoch), Ari Pahala Hutabarat, penyair Lampung (membacakan dua puisi karyanya sendiri : Inlander in Motel dan Jarah Dusta), serta Landung Simatupang dari Yogya dengan sajak-sajak Goenawan Muhamad (Persetubuhan Kunthi, Menjelang Pembakaran Sita ) dan Serat Centhini. Pentas dengan dekorasi minimalis - sebuah kursi, meja, serta ranjang bertilam seprai merah menyala - cukup mewakili tema acara.

Pada kenyataannya tipis sekali batas antara yang erotis dan yang porno, lantaran keduanya sama-sama menyangkut urusan seks dan berahi. Bedanya, barangkali pada cara penyampaian dan pengucapannya. Ia akan dinamai erotis jika tampil dengan halus, anggun, indah. Dan akan disebut porno apabila disampaikan/diucapkan secara vulgar. Alias blak-blakan. Tapi mungkin anda punya pendapat lain?

Endah Sulwesi 12/11
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments