Friday, November 17, 2006,7:25 PM
Laporan dari Acara Lampion Sastra III
EROTISME REMANG SENJA


Hajatan rutin Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk Lampion Sastra, Jumat, 10 November 2006 kembali digelar. Merupakan kegiatan sastra senja ketiga kalinya, setelah "Lima Sihir Sastra" dan "Parade Buku Baru", pada September dan Oktober yang lalu. Acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi, cerpen, dan petikan novel.

Alasan mengapa tema tersebut yang dipilih, Zen Hae dari DKJ selaku ketua komite sastra, mengatakan dalam pengantar di buku panduan, bahwa lewat acara ini ingin menempatkan erotisme sebagai tema yang sama pentingnya dengan tema-tema lain dalam sastra dan mesti diapresiasi dengan sikap yang tanpa prasangka.

Erotisme telah lama ada dalam sastra Indonesia. Namun, baru kembali marak dibicarakan lagi seiring terbitnya novel Saman karya Ayu Utami (1998). Bertambah ramai dengan hadirnya karya-karya Djenar Maesa Ayu dan belakangan ada pula Dinar Rahayu dengan Ode untuk Leopold Von Socher-Masoch (2002).

Bukti bahwa erotisme - dan bukan pornografi - telah ikut mewarnai sastra kita dapat ditemukan pada Serat Centhini (1815) karya bersama Raden Ngabehi Sutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura II, dan Raden Ngabehi Sastradipura. Serat Centhini ini aslinya ditulis dalam bahasa Jawa Klasik, kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain.

Versi bahasa Indonesianya justru dialihbahasakan dari bahasa Prancis oleh Elizabeth D.Inandiak. Karya berjudul asli Suluk Tambangraras-Amongraga ini pada 8 November yang lalu versi bahasa Inggrisnya telah diluncurkan di London.

Acara yang berlangsung di Ruang Kreativitas Terbuka Taman Ismail Marzuki, Jakarta ini, cukup diminati. Jumlah hadirin lumayan banyak dan dengan setia mengikuti keseluruhan acara sampai usai.

Berturut-turut tampil sebagai pembaca, adalah Ruth Marini (membawakan petikan Ode untuk Leopold Von Socher-Masoch), Ari Pahala Hutabarat, penyair Lampung (membacakan dua puisi karyanya sendiri : Inlander in Motel dan Jarah Dusta), serta Landung Simatupang dari Yogya dengan sajak-sajak Goenawan Muhamad (Persetubuhan Kunthi, Menjelang Pembakaran Sita ) dan Serat Centhini. Pentas dengan dekorasi minimalis - sebuah kursi, meja, serta ranjang bertilam seprai merah menyala - cukup mewakili tema acara.

Pada kenyataannya tipis sekali batas antara yang erotis dan yang porno, lantaran keduanya sama-sama menyangkut urusan seks dan berahi. Bedanya, barangkali pada cara penyampaian dan pengucapannya. Ia akan dinamai erotis jika tampil dengan halus, anggun, indah. Dan akan disebut porno apabila disampaikan/diucapkan secara vulgar. Alias blak-blakan. Tapi mungkin anda punya pendapat lain?

Endah Sulwesi 12/11
 
posted by biru
Permalink ¤