Friday, September 15, 2006,5:14 PM
Dari Peluncuran Buku Perempuan Bersayap.
Bagi Mila Duchlun, sebait puisi adalah curahan segenap perasaan hatinya. Kata-kata yang dirangkainya membentuk sebaris puisi lahir dari kedalaman lubuk hatinya. Perempuan 29 tahun ini menjadikan puisi sebagai pelepas segala yang menyangkut di benak. Bahkan, menurut pengakuannya, ia akan merasa pusing dan mual-mual bila ribuan kata di kepalanya tak bisa ia keluarkan.

Maka, kemudian cewek berkacamata ini mulailah menulis puisi, selain sebagai "terapi", juga teman membuang sepi saat ia berada jauh dari tanah airnya, yaitu di Republik Seychelles (aku baru mendengar sekarang nama republik ini) dan Republik Maladewa. Pekerjaannya memang memungkinkan ia berpindah-pindah kantor. Puisi-puisinya itu lalu ia ceburkan ke kancah milis-milis sastra yang diikutinya untuk akhirnya dengan nekat ia terbitkan menjadi satu buku berjudul : Perempuan Bersayap. Buku inilah yang malam tadi, 14 September 2006, diluncurkannya di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan. Nekat, sebab kita tahu, buku puisi bukanlah jenis buku yang banyak peminatnya, dan itu berarti Mila (dan penerbitnya) harus siap dengan segala risikonya (maksudku, risiko untuk tidak meraih untung dalam waktu cepat dari segi materi).

Acara semalam dihadiri cukup banyak tamu yang sebagian besar adalah para sahabat Mila dari beberapa milis yang diikutinya (Apresiasi Sastra salah satunya) serta sejumlah teman-temannya para penyair, baik yang telah dikenalnya langsung maupun yang hanya lewat dunia maya. Jadilah malam itu arena pertemuan Mila, puisi, dan para sahabatnya.

Mila tampak puas dan gembira menyapa para tamu. Cipiki-cipika untuk para tamu wanita dan jabat erat bagi mereka yang pria. Senyum manisnya senantiasa mengembang, meski mungkin ia cukup kelelahan mempersiapkan hajatan itu.

Para hadirin yang datang di antaranya adalah : Akmal NB (ini mah wajib hadir sebagai dedengkot Apsas), Pak Cik Ahmad (akhirnya jumpa juga dengan beliau), Ita Siregar (Ta, seger euy dengan rambut pendekmu!), Joachim Can (Bener gak ya nulis namanya?), Heni Purnamasari (hehehe senang ketemu kamu, Hen), Idaman, Chachay (penulis novel Sendalu), Binhad Nurohmat (penyair), Firmansyah (penyair), Sihir, eh Sihar Ramses (penyair), Dino F.Umahuk (penyair), kakak beradik Siregar dari kelompok Sanggar Matahari, Rita Achdris, dll. Tentu saja yang sangat berperan : Kurnia Effendi alias Kef, cerpenis yang santun itu *tuing-tuing* Dan masih banyak lagi yang aku tidak begitu ingat lagi namanya.

Lazimnya acara peluncuran buku puisi, pasti ada pembacaan puisi. Berbahagialah Mila malam itu sebab para sahabatnya berbondong-bondong ikut meramaikan dengan membaca puisi-puisinya. Kalau aku jadi Mila, aku tentu terharu sekali. Mila juga ya, Mil? :)

Akhirnya, selamat untuk Mila atas terbitnya buku Perempuan Bersayap. Menutup laporan ini, aku ingin mengutip satu sajak yang paling aku suka dari buku tersebut :

Satu Bait dalam Kalender Pink

Langit berawan
dalam hitam aku tiada teman
membilas mata di sungai malam
O, bintang
cahayamu terpenggal,
Valentineku gagal.

Salam,
endah
 
posted by biru
Permalink ¤ 1 comments
Thursday, September 07, 2006,10:13 PM
Dari Peluncuran Novel "Being Ing" : Para Homoseks Angkat Bicara
Semula aku mengira ini hanya acara peluncuran buku biasa seperti yang sudah sering kuhadiri. Yaa...garis besarnya sama sih, namun ada yang terasa "tak biasa" ketika salah seorang pembicara malam itu, Samuel Mulia (itu lo yang menulis rutin kolom "Parodi" di Kompas Minggu) secara blak-blakan mengungkap pengalaman pribadinya selaku homoseksual. Terus-terang, seperti juga Pak Leon Agusta, aku takjub dibuatnya. Seperti diutarakan Ucu, Pak Leon diundang untuk bisa berbagi pengalaman sebagai orang tua yang memiliki putra seorang gay. Dan memang, Pak Leon kemudian dengan suara bergetar, menuturkan sekelumit kisahnya.

Acara malam itu sepertinya memang hajatan para homo dan lesbian, karena selain Samuel Mulia, tampil juga Ismujiharso alias Mumu, teman lamaku yang baru kutahu ternyata juga gay, sebagai moderator. Barangkali sebagian yang hadir pun adalah para gay dan lesbian, juga waria.

Novel Being Ing - aku belum sempat baca sih - katanya mengangkat tema soal homoseks. Novel ini memenangi penghargaan untuk salah satu kategori dalam sayembara menulis novel metropop yang diselenggarakan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Bukan cuma sekali ini saja Ucu Agustin menulis cerita tentang homoseks. Sebelumnya, dalam cerpen-cerpennya, ia telah berkali-kali mengisahkannya. Salah satunya terbit dalam antologi cerpen Rahasia Bulan, kumpulan cerpen yang sebagian ditulis oleh penulis yang gay/lesbi. Cerpennya yang lain terkumpul dan diterbitkan dalam satu buku, yaitu : Dunia Di Kepala Alice, yang juga turut diluncurkan malam itu.

Oleh karena seringnya mendengar Ucu terlibat dalam urusan "perhomoan", aku sempat menduga bahwa Ucu adalah juga seorang lesbian. Tetapi, malam tadi dibantah, walaupun tidak terlalu tegas, oleh cewek kelahiran Sukabumi 30 tahun yang lalu itu. Bahkan ia sempat bergurau, "Enak juga kali ya jadi lesbi." Alasan ia kerap menulis dan aktif "memasyarakatkan" homo adalah lantaran banyak sahabatnya dari kalangan kaum penyuka sesama jenis. Dari situlah Ucu memperoleh sejumlah gagasan bagi cerpen-cerpennya.

Pembicara lainnya adalah Ayu Utami yang malam itu tampil cantik dengan gaun selutut bermotif tenun ikat warna hijau sejuk. Rambutnya diikat satu. Pakai sandal saja, membuatnya tampak santai tanpa mengurangi keayuannya.

Dalam uraiannya, Ayu berharap masyarakat tak lagi menganggap homoseks sebagai "cacat", "ketidaknormalan", atau pun aib yang harus terus disembunyikan. Masih menurut Ayu, tak ada yang salah dengan homoseks dan lesbian. Itu cuma masalah orientasi seks seseorang sama halnya seperti mereka yang heteroseksual.

Ah...rasa takjubku hingga kini masih belum sepenuhnya pudar. Selama ini aku hanya tahu dari bacaan saja perihal kisah-kisah para homoseks. Yang teranyar, ya Brokeback Mountain. Terasa berbeda sekali ketika mendengarnya secara langsung seperti malam itu. Rupanya angin keterbukaan telah berhembus ke segala arah. Hal yang dulu tabu dan dibincangkan dengan cara bisik-bisik, kini didiskusikan di forum terbuka, dianggap jamak, biasa saja. Gerangan, fenomena apakah ini? Harapanku tentunya cuma satu : semoga segalanya berujung pada kebaikan.


Salam,
Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤ 5 comments