Friday, July 27, 2007,12:16 PM
Perca dan Burung Kolibri Merah Dadu

Tadi malam, aku mendapat kejutan indah dari sahabatku terkasih, Kef. Lantaran kami tidak sempat bertemu pas ultahku tgl. 15 Juli yl, baru semalamlah Kef memberikan kado istimewanya untukku : 1 keping CD berisi foto-fotoku dengan para penulis pujaan dan para sahabat, 1 foto besar ukuran 10 R yang dibingkai cantik (seperti yang sekarang terpampang manis di sini), 1 buah buku kumpulan cerpen Terbaik Kompas 2006 "Ripin", serta kecupan sayang di pipi kiri dan kanan, dan dahi, dan........(ah..yg ini rahasia ya hahaha)




Foto-foto itu sebagian sudah kupasang di http://www.perca.multiply.com/. Bagi yang mau ngintip, silakan klik aja blog-ku yang baru itu.




Terima kasih ya, Kef. Kau selalu saja penuh kejutan. Kau pasti tahu, akupun sayang padamu.






Endah Sulwesi 27/7
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Sunday, July 22, 2007,10:02 PM
Perca Di MATABACA




 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Thursday, July 19, 2007,12:04 PM
Selamat Datang, Blogger Buku!!
Oleh Muhidin M Dahlan

Mereka adalah generasi peresensi baru buku dengan menggunakan medium baru yang lebih egaliter dan lebih leluasa. Jika generasi peresensi lama masih memperebutkan halaman-halaman koran nasional dan daerah dengan mempertimbangkan selera redaktur buku masing-masing koran tersebut, maka generasi baru ini membaca buku dan menuliskannya kembali dengan semangat sangat personal tanpa takut tulisannya ditampik.

Pendatang baru ini adalah bloger. Mereka sebetulnya sudah membiak di tahun-tahun awal alaf ini seperti yang dilakukan Omi Intan Naomi, Andreas Harsono, Agus Sopian, dan beberapa penulis melek teknologi informasi. Tapi saat itu membuat blog masih dianggap kerja elite dan belum menjadi “makanan sehari-hari”. Yang lebih heroik adalah berdiskusi, demonstrasi, dan sesekali menulis di koran-koran nasional.

Kehadiran mereka benar-benar diperhitungkan tatkala majalah prestisius TIME memilih sosok tahun 2006 jatuh pada: YOU. Majalah TIME membaptis secara khidmat hadirnya generasi baru yang menggunakan fasilitas-fasilitas “maya” seperti You Tube, Blog, Friendster, dan sebagainya, untuk meneguhkan dirinya di hadapan dunia.

Generasi ini datang untuk merayakan sebuah buana yang bisa dilihat secara bebas, personal, dan kapan pun bisa disiarkan kepada komunitas publik yang disukainya.

Di Indonesia, belum banyak yang benar-benar menggunakan blog secara khusus sebagai arena dan panggung untuk membicarakan dan mengadukan pergulatannya dengan buku. Umumnya blog yang tersedia berisi banyak soal, keluhan, dan tangis-tangis kecil tentang hidup, dan umumnya tak fokus.

Beberapa blog yang serius menggarap resensi buku yang patut disebut antara lain milik Endah Sulwesi (perca.blogdrive.com/Jakarta), Indahjuli SIbarani (penatinta.blogdrive.com/Jakarta), H Tanzil (bukuygkubaca.blogspot.com/Bandung), Nanad Thea (bookzfreak.blogspot.com/Bandung), Mas Baihaqi (qyu.blogspot.com/Bandung), Dumaria Pohan (mon-secret-jardin.blogspot.com/Medan), Ferina (lemari-buku-ku.blogspot.com/Jakarta), Jody Pojoh (jodypojoh.blogdrive.com/Jogja), Sherlock (literature-reviews.blogspot.com/Munich), Agung DH (bukukuno.blogspot.com/Jogja), dan Zen Rachmat Sugito (musyawarahbuku.blogspot.com/Jogja)

Blog-blog yang disebutkan di atas adalah blog-blog yang diisi nyaris setiap pekan dengan resensi buku-buku yang berbeda. Tema dan pilihannya beragam: mulai dari melulu resensi buku-buku jadul sampai berkejaran dengan buku-buku baru yang saban diterbitkan penerbit.

Memang, sebagian besar blog yang saya sebut itu belum terdapat kedalaman sebagaimana review buku yang ditemui di koran Jawa Pos, Kompas, Tempo, dan media sebangsanya. Tapi di antara para bloger yang saya “paksa” buka mulut, mereka membuat blog itu semata mengungkapkan apa yang dibacanya dan bagaimana membaginya dengan teman-teman yang memiliki kesenangan yang sama dengannya. Mereka seperti tak peduli dengan kedalaman, walau itu perlu.

Bagi saya, mereka adalah pembaca yang ingin bersenang-senang dengan buku. Mereka mencoba melihat buku sebagai barang mainan dan hiburan yang tak perlu dipandang berat, apalagi harus dilihat dengan kaca pembesar segala. Mereka bukanlah pembaca yang dengan mata liar memandang buku sebagai buruan yang harus dicekik hingga putus urat lehernya lalu tertawa puas setelah mangsanya terbantai dan pemilik buku itu tertunduk lesu setelah dipermalukan habis-habisan di hadapan publik.

Dari sintesis berdasar kesamaan rasa senang ini, para bloger buku ini diam-diam membangun komunitas sendiri. Tiap hari mereka bergosip buku, memberitahu buku yang menurut mereka bagus, dan menyapa siapa saja yang datang dan siapa tiba-tiba melenyap. Mereka juga beberapa kali menentukan bagaimana membahas buku bersama dan mengupload hasil resepsi mereka secara bersama-sama. Dan ini sudah berjalan. Pada Senin 9 Juli 2007 buku Middlesex karangan Jeffrey Eugenides tampil secara serentak di 6 blog.

Tak hanya itu. Mereka juga sudah seperti adiktif mengubah nama mereka menjadi tokoh-tokoh dari buku yang dibacanya. Dari situ mereka melakukan pembelahan diri menuju ke satu tubuh tanpa mesti harus dirancang dengan njlimet-njlimet, sebagaimana jenis masyarakat tanpa struktur yang dibayangkan Turner. Bukan saja mereka rutin menampilkan buku bacaannya tapi menjurus pada pembuatan milis buku keroyokan (groups.yahoo.com/kutubukugila) dengan anggota terbatas serta membikin blog film sendiri kalau lelah mengayuh hidup dengan buku (kutubuku-ngomongin-film.blogspot.com).

Dan hal paling serius yang mereka lakukan adalah menyusun kamus unik tentang buku. Menurut Dumaria Pohan dari Medan—pelontar pertama kali sekaligus editor yang mencatatnya di kobochan16.multiply.com/journal/item/46—kamus yang diberi nama Kamus Gaul Kutu Buku ini hadir dari “main-main” yang justru menurut saya sangat serius dan kreatif.

Kata-kata atau lema dikumpulkan dengan cara sukarela yang saya menduga pola itu diinspirasi oleh pola penyusunan kamus Oxford di buku The Proffesor and The Madman karya Simon Winchester. Masing-masing bloger, baik dari Jogja, Bandung, dan Jakarta menyumbang kata beserta artinya yang unik. Misalnya Jody dari Jogja menyebut kata “Buku Kubik” yang berarti buku yang panjang-lebar alias tebal, isinya berat, dan kelas penulisnya tinggi alias berbobot dunia. Pengertian itu merupakan plesetan dari rumus untuk volume (kubik), yakni: panjang x lebar x tinggi.

Ada lagi beberapa lema yang menarik, seperti: Buku Mogok: buku yang tak selesai dibaca karena sifatnya terlalu kubisme (rujuk ke Buku Kubik); Buku Harapan: buku yang menjadi ancang-ancang untuk dibaca; Penggoda Buku: orang-orang yang bikin orang lain jadi ingin beli buku; Maraton Buku: baca buku seperti lari maraton, sambung-menyambung selesai satu buku sambung lagi yang baru dan buku-buku itu dibaca sampai selesai (lawan kata Buku Mogok); Mata Buku-an: orang yang kalau lihat buku (di mana aja) sulit menahan diri untuk tidak beli/pinjam walau di rumah masih menunggu daftar antri yang cukup panjang; dan masih ada beberapa lema yang menggelitik.

Demikianlah, kemunculan generasi perbukuan ini sudah sepatutnya dicatat sebagaimana kita mencatat booming terbitnya buku-buku kiri di tahun 1998 dan luruh pada 2003 atau booming buku-buku seks pada medio 2002 dan luruh pada 2004. Kehadiran mereka adalah patok pada sebuah masa; bukan hanya penanda bahwa kita sedang berada di jalur cepat internet, tapi juga ketika buana ini sedang memasuki tafsirnya yang sangat personal. Dan beberapa penerbit besar seperti Gramedia, Mizan, Serambi dengan cepat bisa menangkap gejala ini dan ringan tangan mengirimkan buku-buku terbarunya untuk “digosipkan” di halaman-halaman blog mereka.

Inilah wajah baru (medium) perbukuan kita. Selamat datang blog(er) buku!
 
posted by biru
Permalink ¤ 1 comments
Sunday, July 15, 2007,10:26 PM
Waktu
(kado ultah dari AZN)

Tak lagi pergi hariku,
tak lagi datang malamku,
waktu telah berhenti,
di tubuhmu......



Acep Zamzam N (2007)
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
,9:39 PM
Kado ulang tahun
Selamat Ulang Tahun

Pacar Kecilku:Endah Sulwesi

15 Juli 2007



Ada yang selalu lucu saat bersamamu

Kita masuk dalam sebuah dongeng berwajah puisi

Milik seorang sahabat yang tampak begitu sederhana

: Joko Pinurbo, kelahiran Sukabumi yang hidup di

Yogyakarta

Karena kita selalu bertemu sejak ambang petang

Kausebut aku pacar senja

Karena dirimu mungil serupa kuntum kemiri

Kusebut kau pacar kecil

Dan penyair yang selalu berkisah tentang kaum

pinggiran itu

Sempat tergelak saat tercuri idiomnya untuk nama kita



Ada yang kerap mengharukan saat bersamamu

Rasa bela sahabatmu terhadapku nyaris tak surut olehwaktu

Hatimu terluka padahal lembar rencanaku yang ditusuksembilu

Hatimu membiru berseteru, kaukirim air matamu padaku



Ada yang acap mengagumkan saat bersamamu

Diam-diam aku belajar dari yang tak terhampar

Di sana-sini kau menemukan susunan kataku yang janggal

Tiba saatnya aku bukan siapa-siapa, selain yang suka alpa



Ada yang kadang-kadang menggetarkan saat bersamamu

Impianmu memiliki galeri buku terasa menggebu

Memancingku berjanji menghias dinding-dinding itu

Dengan sejumlah foto para dewa kata-kata, kaumpujanggamu

Mudah-mudahan hasrat dan kenyataan itu bertemu



Kini, biarkanlah gunting waktu memangkas rantingusiamu

Yang berserak jadi jejak, yang terbang jadi angan

Mungkin selalu ada mata yang memindai setiap langkahmu

Dengan cara, doa, dan kasih sayang tersendiri







Jakarta, 15 Juli 2007

Kurnia Effendi
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Saturday, July 14, 2007,12:34 AM
LAN FANG
“MENURUTKU, SEMUA BUKUKU BAGUS”


Dua puluh tahun silam, ia mulai merintis kariernya di belantara fiksi.Majalah remaja Anita Cemerlang menjadi lahan pertama uji coba karya-karyanya berupa cerita pendek. Waktu itu, tahun 1986. Saat yang akan selalu diingatnya, sebab saat itulah yang kemudian menjadi tonggak riwayat kepenulisan perempuan berkulit putih bernama Lan Fang ini.

Ya, Lan Fang. Sebuah nama Cina. Ia memang perempuan keturunan Tionghoa. Bermata sipit, berambut lurus, berwajah oriental, khas peranakan Cina. Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 5 Maret 1970. Menamatkan studi hukumnya di Universitas Surabaya, kota di Jawa Timur tempat di mana kini ia tinggal dan menetap. Ia mengaku tak sengaja kecemplung di hutan kata-kata. Malah, seingatnya dahulu ia tak pernah sedikitpun merasa tertarik pada dunia tulis-menulis yang kini justru menghidupinya.

“Aku tidak pernah tertarik pada dunia tulis-menulis,” ujarnya, “Bidang ini adalah sebuah bidang yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku (untuk digeluti secara serius - red). Sampai hari ini, aku masih tidak percaya bahwa aku seorang pengarang”.

Tidak mengherankan amat sebetulnya jika ia masih belum bisa percaya pada kenyataan yang dilakoninya kini mengingat tak satu pun jenis pekerjaan yang ditekuni sebelumnya berkaitan dengan sastra dan tulis-menulis. Umpamanya saja, ia pernah lama mengenyam suka-duka bekerja di asuransi.

Namun, takdir menuliskan lain. Sejak pertama kali terperangkap jerat sastra, ia tak bisa berpaling lagi. Justru kemudian ia mencintainya setengah mati. Bahkan sekarang, tak hanya prosa, ia juga mulai merambah ke ladang perpuisian dan tengah mencoba-coba membuat esai (nonfiksi). Bagi ibu tiga orang anak kembar–ketiga-tiganya lelaki–ini, menulis fiksi dan nonfiksi sama asyiknya. Masing-masing memiliki daya pukaunya sendiri. Fiksi adalah area “bermain-main, sedangkan nonfiksi adalah wilayah untuk belajar tertib, begitu Lan Fang memberi alasan.

Boleh saja Lan Fang mengaku bahwa awalnya dia sama sekali tak pernah terpikat pada karier kepenulisan, meskipun sesungguhnya ia telah menggemari sastra sejak kanak-kanak Ini terbukti dari ceritanya yang menyatakan betapa ia menyukai dongeng-dongeng gubahan H.C.Andersen dan Enid Blyton. Beranjak remaja, ia mulai menggandrungi sajak-sajak cinta Kahlil Gibran. Dan sekarang, setelah eksis sebagai pengarang, sambil tersenyum ia menyebut Budi Darma (sastrawan), Sapardi Djoko Damono (penyair), serta Sindhunata (rohaniwan yang juga penulis) sebagai orang-orang yang karyanya ia kagumi.

Kendati mengagumi karya para sastrawan besar tersebut, Lan Fang merasa tak pernah terpengaruh oleh gaya kepenulisan mereka. “Rasanya sih aku tidak pernah terpengaruh oleh tulisan orang lain, karena aku bukan seorang pembaca yang baik,” Lan Fang menjelaskan, “Aku menulis apa yang aku inginkan berdasarkan pemikiran dan perasaanku sendiri.”

Terpengaruh atau tidak, barangkali menjadi hal yang tidak penting lagi. Yang penting bagi sarjana hukum ini ia akan terus menulis, karena ia bisa mati jika tak menulis. Tekadnya ini diwujudkan dengan lahirnya tujuh buah buku berupa novel dan kumpulan cerpen, di antaranya novel Perempuan Kembang Jepun ( 2006 ) dan kumpulan cerpen Kota Tanpa Kelamin (2007). Dan dari semua bukunya, manakah yang menurutnya paling bagus?

“Menurutku, semua bukuku bagus,” sahutnya, “Karena setiap menulis buku, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik.. Aku tidak pernah mau menulis hal-hal yang tidak aku sukai.” Dan Lan Fang mengatakan cukup puas dengan hasil penjualan buku-bukunya. Walaupun tidak meledak, tetapi lumayan stabil.

Namun, dari pengamatannya seputar perkembangan pasar novel lokal di Tanah Air, Lan Fang melihat adanya ketidakadilan perlakuan para penerbit yang, menurutnya, lebih memanjakan karya-karya terjemahan. Para penerbit itu tampak lebih gencar mempromosikan novel-novel impor ketimbang novel lokal. Padahal belum tentu mutunya (novel-novel luar itu) lebih bagus.

Lantas, sebagai pengarang yang telah malang-melintang puluhan tahun lamanya, apakah yang menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya?

“Aku sendiri sudah cukup puas dengan semua yang ada pada diriku sekarang. Tak punya obsesi apa-apa lagi yang muluk-muluk. Semuanya sudah berjalan dengan indah. Biarkan hidup mengalir saja seperti tulisan di dalam buku”, kata Pemenang Kedua Lomba Cerpen Femina 1998 ini. “Namun, jika aku boleh punya keinginan, saat ini aku ingin bisa sekolah lagi serta melakukan perjalanan ke Tibet, Nepal, dan India,” tambahnya lebih jauh. “Ini bukan obsesi lho, cuma keinginan biasa saja.” +++

Biodata singkat

Nama: Lan Fang
Tempat/tgl.lahir: Banjarmasin, 5 Maret 1970
Pendidikan: S1 Fakultas Hukum Univ.Surabaya
Pekerjaan: Pengarang
Alamat: Surabaya
Buku-buku:

Reinkarnasi (2003)
Pai Yin (2004)
Kembang Gunung Purei (2005)
Laki-Laki Yang Salah (2006)
Perempuan Kembang Jepun (2006)
Yang Liu (2006)
Kota Tanpa Kelamin (2007)
Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments
Sunday, July 01, 2007,10:11 PM
Catatan dari Diskusi Buku "Seratus Tahun Kesunyian"
Sabtu pagi, 30 Juni 2007.

Aku, Kef, dan Syafrudin Azhar (yang belakangan ini diam-diam juga tercatat sebagai anggota "pasif" milis KSB), meluncur di tengah-tengah arus lalu-lintas Jl.Pahlawan Revolusi yang "pamer paha" alias padat merayap patah harapan (saking macetnya) menuju lokasi resepsi pernikahan Adhika Dirgantara (moderator milis KSB) melawan Denti di Aula Islamic Center, Bekasi Barat.

Memasuki jalan tol Bekasi, kemacetan agak berkurang. Kef yang hari itu bertindak sebagai kusir "Sepanjang Braga", mempercepat laju tumpangannya, mengejar waktu yang kian mepet. Di kursi belakang, aku sudah geregetan ingin meng-sms Dhika agar pestanya jangan dulu bubar, sebab kami tak lama lagi akan tiba. Tolong juga sisakan makan siang, sebab sejak pagi kami sengaja tidak sarapan dengan harapan di pesta nanti bisa mengganyang hingga kenyang sejumlah menu yang terhidang.

Namun, apa lacur, sesampai di tempat perhelatan, pesta menjelang usai. Untunglah, kedua mempelai masih setia berdiri menunggu kedatangan para tamu yang tercecer akibat kemacetan yang rada tidak wajar hari itu. Setelah menghampiri sang empunya hajat dan pasangan yang berbahagia dalam balutan busana pengantin berwarna hijau pupus (weeeh...Dhika kok bisa tampak langsing ya dalam kostum hijaunya itu?), kami berempat, ah..ya jadi empat sebab ternyata Bude Ilenk sudah lebih dulu tiba di situ, segera menyerbu daerah tengah yang, untungnya, masih menyisakan hidangan bagi empat perut yang kelaparan sejak tadi. Oya, perlu aku laporkan pula, bahwa arena tengah itu dibelah dua oleh tirai dari tetumbuhan sejenis palem (benar ga ya?) menjadi sebelah kiri untuk tamu-tamu berjenis kelamin lelaki dan sebelah kanan untuk perempuan. Karena sekatnya hanya berupa dedaunan, antara kedua tetangga masih mungkin untuk saling melongok, mencuri-curi pandang ke sebelah hehehe.

Aku dan Ilenk di wilayah perempuan segera saja tanpa ampun menggasak sate ayam, soto bandung, dan nasi goreng plus beef teriyaki. Sebab amat lapar, semuanya terasa enak saja di lidah dan di tenggorokan. Selesai urusan dengan main course, kami berdua menyerang kubu makanan penutup. Lumayan, masih ada beberapa potong puding putih dan hijau sebagai pencuci mulut.

Inginnya sih berlama-lama di sana, tetapi kami harus segera berjuang lagi menerjang kemacetan menuju MP Book Point di Jeruk Purut untuk sebuah hajatan yang lain: Diskusi Buku "Seratus Tahun Kesunyian".Sesudah dua kali bolak-balik mencari jalur alternatif (yang ajaibnya, macet semua siang itu), kami pun akhirnya mencapai tujuan tepat waktu: jam 15 teng. Oh..ada bagian "penting", setidaknya untukku, yang terlewat. Di tengah jalan macet itu, tiba-tiba telelpon seluler Kef menderingkan nada pesan masuk. "Hayo tebak, sms dari siapa nih?"

"Pasti dari Sulak (panggilan akrab AS Laksana)", sahutku. "Salah", jawab Kef. Syaf dan Bude Ilenk mencoba menjawab kuis itu tetapi masih salah juga. "Budiman Sudjatmiko", akhirnya Kef membuka jawaban sebenarnya. Haaaah??! aku langsung terhenyak. Budiman yang "itu"? kataku. Iyalah, siapa lagi, begitu kata Kef. Oh..tidaaak! Rupanya Budiman Sudjatmiko yang mantan Ketua PRD menanyakan rute ke MP Book Point. Ia berniat hadir di acara diskusi kita. Waaah....aku langsung 'semaput' ngebayangin akan bertemu dengan idola masa muda dulu hahahaha.

Terakhir kali aku melihat fotonya di Femina (mungkin 3 tahun lalu). Budiman tampak tampan dan smart dengan kaca mata dan vest wool warna merah maron serta kemeja putih lengan pendek. Di majalah itu dikatakan (kalau aku tidak salah ingat), bahwa 'sang pemberontak' ini sudah menyelesaikan studi S2-nya di Inggris. Di situ disebutkan pula bahwa sejak di Inggris ia jadi suka dansa (hahaha, sudah jadi borjuis rupanya ya).

Maka lalu, aku minta dengan sangat kepada Kef agar aku saja yang meneleponnya untuk memberitahu rute tsb. Dengan alasan Kef sedang menyetir dan berbahaya jika disambil menelpon, akhirnya jadilah aku yang bicara dengan Budiman. Singkat cerita, Budiman akan segera lepas landas dari TIM menuju Jeruk Purut. "Oke ya, sampai ketemu", kataku (cieeeeee...)

Tiba di MP Book, oh, di bawah payung-payung itu, mataku segera menangkap seraut wajah ehem, Budiman Sujdatmiko, sedang berbincang dengan 3 orang temannya (ini kuketahui kemudian). Sulak (pembicara) dan Aurelia Tiara -tanpa Buendia- (moderator) belum tampak. Tiba-tiba ada yang menegur hangat: "Mbak Perca ya?", seorang lelaki muda berkacata mata tersenyum menyodorkan tangannya. "Saya Sigit", sambungnya. Ohh...Sigit, orang yang selama ini hanya berkomunikasi lewat sms dan email dgku. Kami lalu ngeriung akrab di meja di bawah televisi gantung di Kafe Shaqi.

Tak lama kemudian, si mungil Tiara, muncul. Tersenyum dengan kedua lesung pipi yang menggemaskan setiap pria di kafe itu. Riungan bertambah banyak, sebab lalu bergabung pula Pak Rahmat Ali (melirik Ilenk hahaha) dan terakhir Sulak yang masuk dengan tergesa, sebab dia sudah telat setengah jam.

Lantas, acarapun digelarlah. Uraian Sulak sungguh asyik didengar. Blio ini tampak betul menguasai sekali ihwal si gendeng Marquez (Gimana gak gendeng, nulis novel kok bikin pusing pembacanya karena nama yang mbulet di situ-situ aja hehehe). Makalahnya ada 3 lembar. Pada sesi tanya-jawab, sembari menyesap kenikmatan TEH WALINI (promosi), tak dinyana, para peserta tampak bernafsu sekali menanggapi uraian pembicara. Menyenangkan, karena itu berarti diskusi berlangsung sehat dan seru. Siapa penanggap paling banyak? Tentulah Budiman Sudjatmiko hahaha. Masih aja deh cerewet (dan masih ganteng hihihihi dengan kemeja putih serta pantalon hitam). Yusi Pareanom, yang punya "kerajaan" Pisang, nongol paling buncit. Tapi, meski telat, bapak ini justru menge-gong- (memukul gong gitu), dengan komentar penutupnya yang kira-kira aku simpulkan seperti ini : Karya magic realism ini, sebaiknya kita nikmati saja rasa teksnya (tekstual). Nggak usah musingi tema atau kontekstualnya, karena pada teks itulah terletak kekuatan Marquez (Terus, Yusi melanjutkan dengan mengutip salah satu deskripsi Marquez yang dahsyat tentang "kesunyian", bahwa betapa hebatnya Marquez menggambarkan kesunyian di sebuah jalan sampai-sampai kambing-kambingpun ingin bunuh diri saja rasanya, tak sanggup menanggungkan sepi itu. Hehehe)

Di akhir diskusi, Tiara membagi-bagikan sepuluh bungkus "hadiah pintu" kepada para penanya.

Sayang benar, Bos Bentang terkasih, Gangsar Sukrisno, berhalangan hadir. Ia mengutus Salman untuk mewakilinya.

Hadirin yang tercatat di daftar hadir, seluruhnya ada 25 orang (kalau dengan Syafrudin yang mengaku tidak mengisi daftar itu, berarti ada 26). Di antaranya wajah-wajah lama yang sudah akrab dengan MP Book, seperti : Ibu Etty dengan si kecilnya yang jelita itu, tentu saja Ilenk penguasa Bogor, ada Indah Juli (hari ini, 1 Juli dia ultah lo), Yudi (Indosiar), plus teman-teman baru: Sigit, Robert, Maxi, Imam Malayu, Titik, Abuhasan Asy'ari, Rahmat Ali, F.Pascaries (Aries), Bugie, Krisna, Dadang Ismawan, Abdul Hakim, Budiman Sudjatmiko, Airlangga Pribadi, Budi, Restha, Eva, Aerossalina, Dewi, Lery, Indah, Yudi, dan Syafrudin.

Akhir kata, terima kasih ya teman-teman yang sudah menyempatkan diri untuk ikut serta meramaikan diskusi. Buat yang belum sempat, mudah-mudahan kali yang lain dapat pula hadir.
Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤ 7 comments