Saturday, July 14, 2007,12:34 AM
LAN FANG
“MENURUTKU, SEMUA BUKUKU BAGUS”


Dua puluh tahun silam, ia mulai merintis kariernya di belantara fiksi.Majalah remaja Anita Cemerlang menjadi lahan pertama uji coba karya-karyanya berupa cerita pendek. Waktu itu, tahun 1986. Saat yang akan selalu diingatnya, sebab saat itulah yang kemudian menjadi tonggak riwayat kepenulisan perempuan berkulit putih bernama Lan Fang ini.

Ya, Lan Fang. Sebuah nama Cina. Ia memang perempuan keturunan Tionghoa. Bermata sipit, berambut lurus, berwajah oriental, khas peranakan Cina. Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 5 Maret 1970. Menamatkan studi hukumnya di Universitas Surabaya, kota di Jawa Timur tempat di mana kini ia tinggal dan menetap. Ia mengaku tak sengaja kecemplung di hutan kata-kata. Malah, seingatnya dahulu ia tak pernah sedikitpun merasa tertarik pada dunia tulis-menulis yang kini justru menghidupinya.

“Aku tidak pernah tertarik pada dunia tulis-menulis,” ujarnya, “Bidang ini adalah sebuah bidang yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku (untuk digeluti secara serius - red). Sampai hari ini, aku masih tidak percaya bahwa aku seorang pengarang”.

Tidak mengherankan amat sebetulnya jika ia masih belum bisa percaya pada kenyataan yang dilakoninya kini mengingat tak satu pun jenis pekerjaan yang ditekuni sebelumnya berkaitan dengan sastra dan tulis-menulis. Umpamanya saja, ia pernah lama mengenyam suka-duka bekerja di asuransi.

Namun, takdir menuliskan lain. Sejak pertama kali terperangkap jerat sastra, ia tak bisa berpaling lagi. Justru kemudian ia mencintainya setengah mati. Bahkan sekarang, tak hanya prosa, ia juga mulai merambah ke ladang perpuisian dan tengah mencoba-coba membuat esai (nonfiksi). Bagi ibu tiga orang anak kembar–ketiga-tiganya lelaki–ini, menulis fiksi dan nonfiksi sama asyiknya. Masing-masing memiliki daya pukaunya sendiri. Fiksi adalah area “bermain-main, sedangkan nonfiksi adalah wilayah untuk belajar tertib, begitu Lan Fang memberi alasan.

Boleh saja Lan Fang mengaku bahwa awalnya dia sama sekali tak pernah terpikat pada karier kepenulisan, meskipun sesungguhnya ia telah menggemari sastra sejak kanak-kanak Ini terbukti dari ceritanya yang menyatakan betapa ia menyukai dongeng-dongeng gubahan H.C.Andersen dan Enid Blyton. Beranjak remaja, ia mulai menggandrungi sajak-sajak cinta Kahlil Gibran. Dan sekarang, setelah eksis sebagai pengarang, sambil tersenyum ia menyebut Budi Darma (sastrawan), Sapardi Djoko Damono (penyair), serta Sindhunata (rohaniwan yang juga penulis) sebagai orang-orang yang karyanya ia kagumi.

Kendati mengagumi karya para sastrawan besar tersebut, Lan Fang merasa tak pernah terpengaruh oleh gaya kepenulisan mereka. “Rasanya sih aku tidak pernah terpengaruh oleh tulisan orang lain, karena aku bukan seorang pembaca yang baik,” Lan Fang menjelaskan, “Aku menulis apa yang aku inginkan berdasarkan pemikiran dan perasaanku sendiri.”

Terpengaruh atau tidak, barangkali menjadi hal yang tidak penting lagi. Yang penting bagi sarjana hukum ini ia akan terus menulis, karena ia bisa mati jika tak menulis. Tekadnya ini diwujudkan dengan lahirnya tujuh buah buku berupa novel dan kumpulan cerpen, di antaranya novel Perempuan Kembang Jepun ( 2006 ) dan kumpulan cerpen Kota Tanpa Kelamin (2007). Dan dari semua bukunya, manakah yang menurutnya paling bagus?

“Menurutku, semua bukuku bagus,” sahutnya, “Karena setiap menulis buku, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik.. Aku tidak pernah mau menulis hal-hal yang tidak aku sukai.” Dan Lan Fang mengatakan cukup puas dengan hasil penjualan buku-bukunya. Walaupun tidak meledak, tetapi lumayan stabil.

Namun, dari pengamatannya seputar perkembangan pasar novel lokal di Tanah Air, Lan Fang melihat adanya ketidakadilan perlakuan para penerbit yang, menurutnya, lebih memanjakan karya-karya terjemahan. Para penerbit itu tampak lebih gencar mempromosikan novel-novel impor ketimbang novel lokal. Padahal belum tentu mutunya (novel-novel luar itu) lebih bagus.

Lantas, sebagai pengarang yang telah malang-melintang puluhan tahun lamanya, apakah yang menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya?

“Aku sendiri sudah cukup puas dengan semua yang ada pada diriku sekarang. Tak punya obsesi apa-apa lagi yang muluk-muluk. Semuanya sudah berjalan dengan indah. Biarkan hidup mengalir saja seperti tulisan di dalam buku”, kata Pemenang Kedua Lomba Cerpen Femina 1998 ini. “Namun, jika aku boleh punya keinginan, saat ini aku ingin bisa sekolah lagi serta melakukan perjalanan ke Tibet, Nepal, dan India,” tambahnya lebih jauh. “Ini bukan obsesi lho, cuma keinginan biasa saja.” +++

Biodata singkat

Nama: Lan Fang
Tempat/tgl.lahir: Banjarmasin, 5 Maret 1970
Pendidikan: S1 Fakultas Hukum Univ.Surabaya
Pekerjaan: Pengarang
Alamat: Surabaya
Buku-buku:

Reinkarnasi (2003)
Pai Yin (2004)
Kembang Gunung Purei (2005)
Laki-Laki Yang Salah (2006)
Perempuan Kembang Jepun (2006)
Yang Liu (2006)
Kota Tanpa Kelamin (2007)
Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤