Catatan dari Diskusi Buku "Seratus Tahun Kesunyian"
Sabtu pagi, 30 Juni 2007.
Aku, Kef, dan Syafrudin Azhar (yang belakangan ini diam-diam juga tercatat sebagai anggota "pasif" milis KSB), meluncur di tengah-tengah arus lalu-lintas Jl.Pahlawan Revolusi yang "pamer paha" alias padat merayap patah harapan (saking macetnya) menuju lokasi resepsi pernikahan Adhika Dirgantara (moderator milis KSB) melawan Denti di Aula Islamic Center, Bekasi Barat.
Memasuki jalan tol Bekasi, kemacetan agak berkurang. Kef yang hari itu bertindak sebagai kusir "Sepanjang Braga", mempercepat laju tumpangannya, mengejar waktu yang kian mepet. Di kursi belakang, aku sudah geregetan ingin meng-sms Dhika agar pestanya jangan dulu bubar, sebab kami tak lama lagi akan tiba. Tolong juga sisakan makan siang, sebab sejak pagi kami sengaja tidak sarapan dengan harapan di pesta nanti bisa mengganyang hingga kenyang sejumlah menu yang terhidang.
Namun, apa lacur, sesampai di tempat perhelatan, pesta menjelang usai. Untunglah, kedua mempelai masih setia berdiri menunggu kedatangan para tamu yang tercecer akibat kemacetan yang rada tidak wajar hari itu. Setelah menghampiri sang empunya hajat dan pasangan yang berbahagia dalam balutan busana pengantin berwarna hijau pupus (weeeh...Dhika kok bisa tampak langsing ya dalam kostum hijaunya itu?), kami berempat, ah..ya jadi empat sebab ternyata Bude Ilenk sudah lebih dulu tiba di situ, segera menyerbu daerah tengah yang, untungnya, masih menyisakan hidangan bagi empat perut yang kelaparan sejak tadi. Oya, perlu aku laporkan pula, bahwa arena tengah itu dibelah dua oleh tirai dari tetumbuhan sejenis palem (benar ga ya?) menjadi sebelah kiri untuk tamu-tamu berjenis kelamin lelaki dan sebelah kanan untuk perempuan. Karena sekatnya hanya berupa dedaunan, antara kedua tetangga masih mungkin untuk saling melongok, mencuri-curi pandang ke sebelah hehehe.
Aku dan Ilenk di wilayah perempuan segera saja tanpa ampun menggasak sate ayam, soto bandung, dan nasi goreng plus beef teriyaki. Sebab amat lapar, semuanya terasa enak saja di lidah dan di tenggorokan. Selesai urusan dengan main course, kami berdua menyerang kubu makanan penutup. Lumayan, masih ada beberapa potong puding putih dan hijau sebagai pencuci mulut.
Inginnya sih berlama-lama di sana, tetapi kami harus segera berjuang lagi menerjang kemacetan menuju MP Book Point di Jeruk Purut untuk sebuah hajatan yang lain: Diskusi Buku "Seratus Tahun Kesunyian".Sesudah dua kali bolak-balik mencari jalur alternatif (yang ajaibnya, macet semua siang itu), kami pun akhirnya mencapai tujuan tepat waktu: jam 15 teng. Oh..ada bagian "penting", setidaknya untukku, yang terlewat. Di tengah jalan macet itu, tiba-tiba telelpon seluler Kef menderingkan nada pesan masuk. "Hayo tebak, sms dari siapa nih?"
"Pasti dari Sulak (panggilan akrab AS Laksana)", sahutku. "Salah", jawab Kef. Syaf dan Bude Ilenk mencoba menjawab kuis itu tetapi masih salah juga. "Budiman Sudjatmiko", akhirnya Kef membuka jawaban sebenarnya. Haaaah??! aku langsung terhenyak. Budiman yang "itu"? kataku. Iyalah, siapa lagi, begitu kata Kef. Oh..tidaaak! Rupanya Budiman Sudjatmiko yang mantan Ketua PRD menanyakan rute ke MP Book Point. Ia berniat hadir di acara diskusi kita. Waaah....aku langsung 'semaput' ngebayangin akan bertemu dengan idola masa muda dulu hahahaha.
Terakhir kali aku melihat fotonya di Femina (mungkin 3 tahun lalu). Budiman tampak tampan dan smart dengan kaca mata dan vest wool warna merah maron serta kemeja putih lengan pendek. Di majalah itu dikatakan (kalau aku tidak salah ingat), bahwa 'sang pemberontak' ini sudah menyelesaikan studi S2-nya di Inggris. Di situ disebutkan pula bahwa sejak di Inggris ia jadi suka dansa (hahaha, sudah jadi borjuis rupanya ya).
Maka lalu, aku minta dengan sangat kepada Kef agar aku saja yang meneleponnya untuk memberitahu rute tsb. Dengan alasan Kef sedang menyetir dan berbahaya jika disambil menelpon, akhirnya jadilah aku yang bicara dengan Budiman. Singkat cerita, Budiman akan segera lepas landas dari TIM menuju Jeruk Purut. "Oke ya, sampai ketemu", kataku (cieeeeee...)
Tiba di MP Book, oh, di bawah payung-payung itu, mataku segera menangkap seraut wajah ehem, Budiman Sujdatmiko, sedang berbincang dengan 3 orang temannya (ini kuketahui kemudian). Sulak (pembicara) dan Aurelia Tiara -tanpa Buendia- (moderator) belum tampak. Tiba-tiba ada yang menegur hangat: "Mbak Perca ya?", seorang lelaki muda berkacata mata tersenyum menyodorkan tangannya. "Saya Sigit", sambungnya. Ohh...Sigit, orang yang selama ini hanya berkomunikasi lewat sms dan email dgku. Kami lalu ngeriung akrab di meja di bawah televisi gantung di Kafe Shaqi.
Tak lama kemudian, si mungil Tiara, muncul. Tersenyum dengan kedua lesung pipi yang menggemaskan setiap pria di kafe itu. Riungan bertambah banyak, sebab lalu bergabung pula Pak Rahmat Ali (melirik Ilenk hahaha) dan terakhir Sulak yang masuk dengan tergesa, sebab dia sudah telat setengah jam.
Lantas, acarapun digelarlah. Uraian Sulak sungguh asyik didengar. Blio ini tampak betul menguasai sekali ihwal si gendeng Marquez (Gimana gak gendeng, nulis novel kok bikin pusing pembacanya karena nama yang mbulet di situ-situ aja hehehe). Makalahnya ada 3 lembar. Pada sesi tanya-jawab, sembari menyesap kenikmatan TEH WALINI (promosi), tak dinyana, para peserta tampak bernafsu sekali menanggapi uraian pembicara. Menyenangkan, karena itu berarti diskusi berlangsung sehat dan seru. Siapa penanggap paling banyak? Tentulah Budiman Sudjatmiko hahaha. Masih aja deh cerewet (dan masih ganteng hihihihi dengan kemeja putih serta pantalon hitam). Yusi Pareanom, yang punya "kerajaan" Pisang, nongol paling buncit. Tapi, meski telat, bapak ini justru menge-gong- (memukul gong gitu), dengan komentar penutupnya yang kira-kira aku simpulkan seperti ini : Karya magic realism ini, sebaiknya kita nikmati saja rasa teksnya (tekstual). Nggak usah musingi tema atau kontekstualnya, karena pada teks itulah terletak kekuatan Marquez (Terus, Yusi melanjutkan dengan mengutip salah satu deskripsi Marquez yang dahsyat tentang "kesunyian", bahwa betapa hebatnya Marquez menggambarkan kesunyian di sebuah jalan sampai-sampai kambing-kambingpun ingin bunuh diri saja rasanya, tak sanggup menanggungkan sepi itu. Hehehe)
Di akhir diskusi, Tiara membagi-bagikan sepuluh bungkus "hadiah pintu" kepada para penanya.
Sayang benar, Bos Bentang terkasih, Gangsar Sukrisno, berhalangan hadir. Ia mengutus Salman untuk mewakilinya.
Hadirin yang tercatat di daftar hadir, seluruhnya ada 25 orang (kalau dengan Syafrudin yang mengaku tidak mengisi daftar itu, berarti ada 26). Di antaranya wajah-wajah lama yang sudah akrab dengan MP Book, seperti : Ibu Etty dengan si kecilnya yang jelita itu, tentu saja Ilenk penguasa Bogor, ada Indah Juli (hari ini, 1 Juli dia ultah lo), Yudi (Indosiar), plus teman-teman baru: Sigit, Robert, Maxi, Imam Malayu, Titik, Abuhasan Asy'ari, Rahmat Ali, F.Pascaries (Aries), Bugie, Krisna, Dadang Ismawan, Abdul Hakim, Budiman Sudjatmiko, Airlangga Pribadi, Budi, Restha, Eva, Aerossalina, Dewi, Lery, Indah, Yudi, dan Syafrudin.
Akhir kata, terima kasih ya teman-teman yang sudah menyempatkan diri untuk ikut serta meramaikan diskusi. Buat yang belum sempat, mudah-mudahan kali yang lain dapat pula hadir.
Endah Sulwesi