“…lalu aku pun terpengaruh Budi Darma….”
Hermawan Aksan, mungkin bukan nama yang berkibar-kibar di belantara penulisan fiksi kendati telah lahir sedikitnya sepuluh buah buku dari tangannya. Lelaki pendiam yang telah senang menulis sejak di bangku SMP ini beberapa kali bahkan pernah memenangi sayembara menulis carpon alias carita pondok, bahasa Sunda untuk cerpen (cerita pendek). Salah satunya menjadi jawara dalam ajang lomba carpon mini yang diselenggarakan oleh Yayasan Jendela Seni (2002) dengan karyanya yang berjudul Ti Pulpen Tepi ka Jaratan Cinta. Artinya kira-kira dari pulpen sampai ke jeratan cinta.
“Waktu SMP itu aku baru nulis-nulis untuk buku harian (diary) dan majalah dinding saja”, papar Hermawan Aksan mengenang awal mula karier kepenulisannya. “Dan mulai serius menekuninya kira-kira tahun 1989 atau 1990”, jelasnya lebih lanjut.
Meskipun ia mengaku agak terlambat memulai, namun sejak itu cintanya telah tertambat tanpa ampun pada bidang ini. Seperti kebanyakan kisah para penulis, Her–begitulah ia disapa para karibnya–mengawali karier menulisnya dari kesenangan membaca, terutama cerita pendek. Maka tak heran jika karya pertama yang dihasilkannya adalah sebuah cerpen remaja yang dimuat di majalah Anita Cemerlang. Bagi generasi angkatan 80-an, nama majalah kumpulan cerpen ini telah menjadi ikon tersendiri yang turut menandai keberadaan angkatan “tua” tersebut.
Selanjutnya, karya-karya pria berusia 43 tahun ini terus mengalir, menghiasi halaman-halaman sastra pelbagai koran dan majalah, dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Tak hanya fiksi tapi juga esai, ulasan buku, kritik sastra, dan kolom.
“Bagiku, sama asyiknya menulis fiksi ataupun nonfiksi. Tapi, aku selalu gagal dalam menciptakan puisi. Entah kenapa, sepertinya tak pernah bisa menemukan kata-kata puitis untuk dijadikan puisi”, ujar ayah dua orang putri ini.
Her yang sempat mencicipi bangku kuliah di jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini rupanya tak puas jika cuma menulis cerpen. Maka, ia pun mulai menulis novel (buku). Buku debutannya adalah sebuah novel anak-anak berjudul Bertamasya Ke Angkasa Luar (1993).
Adapun tentang kegemarannya akan sastra Sunda, bukan saja disebabkan sejak kuliah sampai sekarang ia tinggal di Bandung yang banyak memakai bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari, namun pula karena ia memang (merasa sebagai) orang Sunda. Ia lahir di Desa Jipang, Kabupaten Brebes, yang terletak di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Masyarakat di sana berbahasa Sunda, meski dalam dialek yang sedikit lebih “ngoko” (kasar) dari Sunda Priangan. Masa kecilnya banyak dilalui dengan menonton wayang golek, sandiwara Sunda, serta kesenian Sunda lainnya.
Hal ini pula agaknya yang lantas membuatnya tertarik mengangkat figur perempuan cantik dari Tanah Sunda, Dyah Pitaloka, ke dalam novel berjudul sama. Novel yang berkisah juga ihwal Perang Bubat–perang ‘legendaris’ antara orang Sunda dan orang Jawa–ini terbit dua tahun lalu. Kabarnya Her tengah merencanakan membuat sekuelnya dengan tokoh sentral Raden Wastukencana, adik lelaki Dyah Pitaloka, yang kelak menjadi Raja Sunda mengembalikan kejayaan sang ayah yang gugur di padang Bubat.
Dalam setiap proses kreatifnya, Her kerap dipengaruhi oleh banyak hal. Mulai dari peristiwa sehari-hari, teman-teman di kantornya, keluarganya, sampai dengan buku-buku yang dibacanya. Termasuk juga gaya bertutur para pengarangnya, walaupun ia baru menyadarinya belakangan.
“Aku tidak tahu mengapa demikian. Semuanya seperti terjadi di luar kesadaran”, Her memberi alasan, “Ketika aku membaca (karya-karya) Arswendo, aku terpengaruh Arswendo. Tatkala selesai membaca Manusia Kamar, aku terpengaruh Seno (Gumira Ajidarma). Kemudian saat menikmati Orang-Orang Bloomington, akupun terpengaruh Budi Darma”, sambungnya sembari tersenyum simpul. Soal pengaruh-memengaruhi mungkin hal yang lazim di kalangan para penulis. Bukan mustahil kiranya jika Hermawan pun memiliki pengaruh juga untuk penulis-penulis lain. Itu biasa dan sah-sah saja, bukan, asal tidak lalu menjadi plagiat.
Di samping sibuk sebagai redakur di harian Tribun Jabar, Her masih sempat pula sesekali menyunting dan menerjemahkan novel-novel asing. Menurut lelaki berbintang Sagitarius ini, banyaknya novel asing menyerbu pasar buku kita seharusnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif sepanjang disertai pemilihan karya yang bagus dan penerjemahan yang baik. Her meramalkan untuk tahun ini tampaknya novel-novel “timur” masih akan mendominasi.
Sekian lama malang-melintang di jagat sastra, Her barangkali sudah lupa buku pertama yang dibacanya. Tetapi ia masih dapat mengingat dengan baik buku-buku yang mengesankannya. Salah sebuahnya adalah Nagasasra dan Sabuk Inten karya S.H.Mintardja. Ia juga diam-diam menyimpan keinginan untuk kelak bisa bersua dengan Djenar Maesa Ayu dan Tanti R.Skober. Nama yang disebut belakangan ini adalah penulis yang cerpen dan esai-esainya sempat bikin gempar pada tahun 1990-an. Her penasaran di mana gerangan sang pengarang idola berada kini? Kalau dengan Djenar, apa ya kira-kira yang membuatnya ingin berjumpa?
Suami dari Eka Suheryani ini selain membaca ternyata punya hobi lain lagi: sepak bola. Bukan hanya sebagai penonton tetapi juga pemain. Di tim kantornya, ia dipercaya sebagai kiper andalan. Keinginannya dalam hidup ini kiranya tak muluk-muluk: “Membahagiakan istri dan anak-anakkku.”
Lantas bagaimana dengan profesinya selaku penulis? Sampai kapan ia akan menekuni bidang ini? “Sampai aku tak bisa lagi berpikir”, katanya mantap. Baiklah, kita doakan saja semoga akan terus lahir karya-karya yang baik darinya.
Biodata singkat:
Nama lengkap: Hermawan Aksan
Tempat/tgl.lahir: Brebes, 13 Desember 1964
Pekerjaan: Jurnalis
Nama Istri: Eka Suheryani
Nama anak-anak: Nida (11 tahun), Alya (7 tahun)
Karya yang telah diterbitkan:
Bertamasya Ke Angkasa Luar (buku anak-anak)
Dendam Itu Tak Seperti Pompa Bambu (buku anak-anak)
Karung Mutiara Al-Ghazali (komik berkolabaorasi dengan kartunis Jitet)
Ti Pulpen Tepi ka Pajaratan Cinta (antologi cerpen Sunda)
Kanagan (antologi cerpen Sunda)
Sang Jelata (kumpulan cerpen)
Cinta…Itu Apa? (kumpulan cerpen remaja)
Dyah Pitaloka, Senja Di Langit Majapahit (novel)
Kiamat Sudah Dekat (novel)
Mereka Membunuhku Pelan-Pelan (nonfiksi)
****
Endah Sulwesi 12/6