Sunday, February 11, 2007,9:54 PM
REDA GAUDIAMO : “….agar orang belajar menyukai dan mencintai puisi…”
Salah seorang personel Ari-Reda adalah Reda Gaudiamo. Perempuan kelahiran Surabaya 44 tahun silam ini sejak kecil telah gemar menyanyi. Bersama ibunda tercinta, ia kerap bernyanyi bersama sembari mengerjakan pekerjaan rumah tangga ( memasak, menjahit, atau menyetrika baju). Semasa kuliah di Fakultas Sastra UI jurusan Sastra Prancis, ia menyanyi sebagai upaya lepas sejenak dari urusan pelajaran yang, menurutnya, membosankan. Dan sekarang, menyanyi baginya merupakan terapi mengurangi stres dan rasa lelah seusai bekerja. “Kalau kelamaan nggak nyanyi, saya jadi gelisah”, ujar ibu dari Soca Sobhita (14) ini. Di tengah kesibukannya bekerja sebagai konsultan media cetak, Reda masih sempat kuliah lagi di Program Pascasarjana FISIP UI jurusan Manajemen Komunikasi.

Di bawah ini adalah wawancara kami dengannya melalui surat elektronik seputar album Becoming Dew dan kegiatannya berkesenian :

Bisa Anda ceritakan secara singkat gagasan awal menerbitkan album Becoming Dew ini?

Gagasan awalnya tidak bikin album. Saya dan Ari sempat tidak menyanyi bersama selama 3 tahun terakhir. Saya sibuk dengan kerjaan dan Dua Ibu. Waktu ketemu Ari di BBJ, nonton Iwan Abdulrachman, Dharmawan Handonowarih dari majalah Idea, iseng minta kami menyanyi bareng lagi di tempat yang sama, buat acara tutup tahun. Kami setuju. Lalu iseng-iseng menyusun lagu yang akan dinyanyikan. Eh, ternyata kami punya beberapa lagu puisi yang sudah lama tak dinyanyikan (mungkin tepatnya tak ada yang mau menyanyikannya... nggak tahu kenapa). Dari sini terpikir lagi, daripada nyanyi lagu-lagu bule (Barat – red), kenapa nggak nyanyi lagu puisi yang dibuat khusus buat kami?
Kami lalu latihan.

Ternyata dari sini, Eddie Prasetyo Budi dan AGS Arya Dipayana ngotot kami berdua bikin album berdua. Ari sempat ragu, takut mengganggu laju promosi GADIS KECIL. Tetapi dua orang itu ngototnya bukan main, malah merancang show launch (rekaman saja belum!). Kami meeting bersama di rumah. Kedua orang itu bilang gemes banget lihat kami berdua ini. Nyanyi dari tahun 1982 kok ya nggak maju-maju! Akhirnya semua sepakat agar kami rekaman. Rekaman berlangsung dalam waktu 12 hari. Berjalan begitu saja, lancar. Dari masuk musik sampai mixing dan mastering. Semua dilakukan oleh Ari. Saya kebagian jurusan desain, cetak brosur, cari kotak cd dan cari dana (ini yang paling berat! hahaha). Untung terjadinya pas bulan Desember, saat bonus akhir tahun muncul. Tentang judulnya, itu hasil temuan AGS Arya Dipayana. Kami mencoba menggabungkan antara Ari.Reda dengan judulnya. Sebetulnya kami suka lagu Ketika Berhenti Di Sini Tetapi kalau dijadikan judul, lha sedih banget! Masak Ari.Reda berhenti di sini. Maka setelah diulik-ulik, beliau menemukan frase terakhir dari Don’t Tell Me.

Kedua belas lagu dalam Becoming Dew digubah dari puisi-puisi Sapardi. Mengapa Sapardi?

Kebetulan, kami memang pernah membuat album Hujan Bulan Juni (diprakarsai oleh Ford Foundation) dan Hujan Dalam Komposisi (dibiayai oleh YAYASAN PUISI), yang semuanya milik Sapardi. Rekaman kali ini sebetulnya adalah upaya restorasi dari kedua album itu yang masternya sudah rusak, lembab dan saling menempel satu sama lain karena disimpan di kolong tempat tidur. Tetapi selain merekam kembali lagu-lagu itu, kami juga ingin menambahkan lagu baru. AGS Arya Dipayana membuat 2 lagu baru dalam waktu 3 hari.

Dari pengalaman mengeluarkan album "Gadis Kecil" bersama DUA IBU, apakah proyek album musikalisasi puisi semacam ini cukup menggembirakan hasilnya mengingat pasarnya sangat terbatas?

Ternyata cukup menggembirakan. Tentu saja dalam ukuran kami (dengan biaya minim, dengan upaya promosi minim juga dan jumlah CD terbatas). Dari pengalaman membuat “Gadis Kecil”, 1000 keping bisa habis dalam waktu 8 bulan. Penyebaran sendiri - menurut saya - lumayan terbatas: hanya di toko buku tertentu, wapres (warung apresiasi, Bulungan), TIM.

Apa ada target khusus yang ingin Anda capai melalui musikalisasi puisi ini?

Target khusus: orang belajar menyukai, mencintai puisi dan menjadikannya sebagai bentuk tulisan/sastra yang akrab dengan dirinya. Mungkin dalam lingkup lebih luas, hal ini menjadi upaya mendekatkan siapa saja, terutama orang muda, pada karya-karya sastra bermutu. Mendekatkan pada bahasa Indonesia dan keindahannya yang sebetulnya sangat luarbiasa! Jujur saja, saya lihat banyak di antara teman-teman muda yang beranggapan bahwa bahasa Indonesia itu tidak asyik, tidak komunikatif, tidak romantis, tidak menarik seperti bahasa Inggris. Saya pun --jujur saja-- pernah beranggapan begitu.

Tetapi setelah berkenalan dengan puisi Sapardi, Gunawan Mohammad, Toto Sudarto, anggapan itu gugur. Saya juga sangat takut pada puisi. Karena saya takut salah mengartikan sebuah puisi Tapi ketika disodori puisi Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi (komposisi: AGS Arya Dipayana, puisi: Gunawan Mohammad), tiba-tiba saat menyanyikannya saya merasakan indahnya puisi ini. Dan sejak itu, saya suka puisi. Saya pikir, bila cara musikalisasi puisi bisa menolong saya mencintai puisi, menghargainya dengan amat sangat, harusnya cara ini juga bisa menolong teman-teman yang lain. Menolong anak saya, anak-anak Ari, teman-teman di SMA, di Kampus, di kantoran yang sibuk dengan angka-angka.

Setelah duet dengan Ari ini, berikutnya ada rencana apa lagi sehubungan dengan kegiatan berkesenian Anda, khususnya dalam hal bermusik? Dan apa yang membuat Anda terus bersetia menekuni dunia ini?

Berikutnya, mungkin kami berdua ingin membuat musikalisasi puisi dari penyair-penyair lain. Dingin tak Tercatat dari Gunawan Mohammad, atau Gadis Peminta-minta dari Toto Sudarto Bachtiar, sudah pernah kami nyanyikan dan rasanya bagus untuk disampaikan kembali. Setidaknya, biar orang ingat bahwa Mas Gunawan Mohammad punya sajak-sajak yang indah juga. Itu untuk proyek berdua. Sedangkan untuk proyek sendiri, saya ingin mengajar anak-anak menyanyi dengan sukacita, menikmati nyanyian, memahami syair, dan mengeluarkan suara dengan baik. Saya juga ingin sekali mengajak para ibu untuk menyanyi buat anak-anaknya. Lewat album? Mungkin. Mengapa bersetia? Hmmm, mungkin karena saya terlanjur suka menyanyi. Saya pernah mengalami masa yang sangat indah bersama Ibu saya. Kami suka menyanyi-nyanyi berdua di rumah, saat dia memasak, membereskan rumah, menjahit baju, menggosok. Lalu kalau ada lagu baru, kami berdua mendengarkan dengan teliti. Ibu saya mencatat syair lagunya, dan memakainya sebagai bahan melancarkan pelajaran membaca buat saya. Menyanyi menjadi sangat menyenangkan buat saya. Kemudian, ketika sekolah, menyanyi jadi cara untuk jalan-jalan di luar jam sekolah: lomba paduan suara, kelompok ngamen, nge-band (saya benci sekolah! hahaha!).

Harapan Anda untuk album Becoming Dew?

Harapannya? Yang gampang dijawab: laris manis. Yang ada di balik itu, semoga bisa jadi referensi di kalangan orang muda, khususnya buat mereka yang selama ini mendengar musik-musik ramai/sibuk/padat alat musik. Saya ingin Becoming Dew bisa membuat teman-teman muda itu mendengar sesuatu yang ringan dan sejuk. Dari komposisi suara, bisa membuat mereka belajar sesuatu yang baru, yang beda. Dari sisi musik, sesuatu yang sederhana itu bisa menarik dan enak didengar. Dan yang terakhir, dari sisi syair: saya ingin teman-teman muda belajar mendengar syair yang baik, indah dan imajinatif.


Endah Sulwesi
 
posted by biru
Permalink ¤