Tuesday, November 28, 2006,11:06 AM
Dari Diskusi Novel "Tsotsi"
Pada diskusi kali keempat ini (Jumat, 24 November 2006), peserta yang hadir hanya sekitar 12-15 orang (aku lupa menghitungnya dan tidak disediakan buku tamu). Selain aku, Kris, Kef, Yusi, dan Hikmat (malam itu bertindak selaku moderator), peserta lainnya merupakan wajah-wajah baru.

Dipandu oleh Hikmat Darmawan, acara dibuka dengan pemutaran potongan film Tsotsi. Film yang meraih Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ini, tidak terlalu setia pada novelnya. Misalnya saja, setting di novel adalah Afrika Selatan tahun 1950-an. Di film, setting ini dipindah ke masa kini. Lokasi tetap di Afsel. Namun, demikian hal tsb tidak lalu menjadikan filmnya tidak menarik.Tapi buat aku pribadi, lebih asyik membaca novelnya. Rasanya lebih "dalem" gitu...

Rada cemas sedikit sih, sebab langit malam itu tampak murung oleh mendung yang menggantung. Kalau sampai jatuh hujan, diskusi yang sudah disiapkan di area terbuka terpaksa harus boyong ke sebuah ruang kecil yang berfungsi sebagai perpustakaan MP Book Point. Tapi, rupanya hujan urung datang. So, diskusi tetap bisa diteruskan di bawah payung-payung kafe sampai selesai.

Pembicara semula adalah Eric Sasono, seorang pengamat perfilman. Namun, pada detik-detik terakhir (satu hari sebelum hari "H"), ia terpaksa membatalkan kesediaannya semula karena ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan. Maka lantas pembicara pengganti pun dicari. Ketemulah nama Bagus Takwin, dosen psikologi UI yang juga penulis novel Akademos.

Oleh sebab Aten, sapaan akrab untuk Bagus Takwin, seorang dosen psikologi, maka ulasan beliau untuk Tsotsi diteropong lewat perspektif psikologi. Tentu jadi menarik, karena boleh disebut Tsotsi adalah sebuah novel psikologi. Menurut pengakuan Aten, dia dan para mahasiswanya pernah nonton bareng dan mendiskusikan film Tsotsi sebagai bagian dari kuliah yang diberikannya.

Pada sesi tanya jawab, beberapa hadirin terpancing menggulirkan pendapatnya. Di antaranya Yusi Pareanom yang bertanya soal kepribadian dan elemen kepribadian. Juga ada cowok dari London School (maaf aku lupa mencatat namanya). Dengan skeptis ia menanyakan apakah benar manusia bisa berubah secepat itu seperti yang dialami Tsotsi. Terus juga ada pendapat dari Pak Johan, lelaki beranak 7 yang malam itu memborong buku banyak sekali (di MP Book lagi ada diskon sampai 80%!). Bapak ini berpendapat, sembari memberi ilustrasi kisah-kisah Nabi dan para sahabatnya, bahwa hidayah bisa datang kepada siapapun yang Tuhan inginkan. Aten setuju, tetapi tetap semua hal tidak muncul begitu saja. Selalu setiap kejadian memiliki sejarahnya sendiri. Dengan gaya ustad (cieee), dia mengutip kalimat : Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang atau suatu kaum apabila orang atau kaum itu tidak berusaha mengubahnya. Kira-kira begitu deh.

Masih ada beberapa lagi yang menanggapi. Titi, yang datang terlambat, melempar pertanyaan soal chiklit. Menurut cewek ini, agar novel-novel bertema "berat" lebih diminati remaja, mengapa tidak dibuat dalam bentuk chiklit saja. Segera saja ditanggapi dengan seru oleh Kris dan Yusi dan Aten.

Akhirnya, diskusi diakhiri dengan bagi-bagi doorprize. Malam itu yang ketiban rejeki adalah Pak Johan, Mas London School, dan Titi. Masing-masing membawa pulang 1 buah novel Tsotsi. Kemudian, pemutaran film dilanjutkan hingga tamat.

Dan seperti biasa terjadi, beberapa orang masih belum puas ngobrolnya. Merekapun meneruskan diskusi di warung bakmi Jawa Ampera sampai jam 12.30. Siapa sih mereka yang gila ngobrol itu? Nih dia : Kris, Kef, Yusi, Aten, dan Risdi (editor buku kumpulan cerpen happy Salma yang baru diluncurkan beberapa waktu berselang).

Demikian. Semoga diskusi berikutnya hadir lebih banyak lagi peserta.

Salam,
endah
 
posted by biru
Permalink ¤