Sunday, November 26, 2006,10:59 PM
Wawancara dengan Gde Aryantha Soethama
Gde Aryantha Soethama : “Terlalu banyak gugatan yang harus dilontarkan di Bali”
Kamis pekan lalu, 16 November 2006, barangkali akan menjadi malam yang selalu dikenang oleh Gde Aryantha Soethama. Pasalnya, pada malam penganugrahan Khatulistiwa Literary Award itu, Mandi Api, buku kumpulan cerpen karya pria berperawakan tinggi besar ini, berhasil keluar sebagai pemenang untuk kategori penulisan prosa, mengalahkan empat finalis lainnya.
Gde Aryantha telah gemar menulis sejak remaja. Tulisan-tulisan awalnya lebih banyak berupa puisi sebelum akhirnya menulis cerita pendek, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik. Berbagai penghargaan telah diraihnya, di antaranya sebagai juara pertama lomba penulisan novel yang diselenggarakan oleh harian Bali Post (judul novel itu Senja di Candidasa).
Berikut ini adalah bincang-bincang tertulis Parle dengan lelaki yang mengaku menyukai kisah-kisah wayang ini :
Bagaimana perasaan Anda menerima anugrah ini? Pernah menyangka sebelumnya?
Tentu saya senang. Selain itu, penghargaan ini menandakan bahwa karya saya disukai, setidaknya oleh para juri. Saya tak pernah menduga karya saya akan memperoleh penghargaan sastra paling bergengsi di Tanah Air kita. Yang bersaing karya-karya terbaik yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang tersohor. Ini ibarat persaingan antarpendekar sakti di rimba persilatan. Dan saya tak pernah memperhitungkan diri sebagai salah seorang dari pendekar itu. Tahu-tahunya, eh, menang!
Apa makna kemenangan ini bagi Anda?
Sebagian besar cerpen dalam Mandi Api berkisah tentang kehidupan Bali, tentang persoalan-persoalan Bali yang tidak banyak diketahui dunia luar. Selama ini kita tahu Bali dari ocehan pemandu wisata dan kenyinyiran brosur-brosur pariwisata. Informasi itu bertujuan untuk menggaet pelancong, dan sudah tentu, menjual Bali. Seperti kebanyakan informasi berbau iklan, banyak informasi itu yang tidak benar, dilebih-lebihkan, selalu serba hebat, romantis, menggairahkan, penuh pesona. Sudah barang tentu, itu informasi yang menipu. Nah, sastra dengan jujur menyampaikan apa sesungguhnya yang terjadi di Bali. Jadi, Mandi Api berbicara tentang Bali dari dalam, kisah-kisah dari orang yang melakoni langsung kehidupan Bali. Karena itu, ini adalah penghargaan terhadap hasrat mengungkap Bali yang sesungguhnya, dengan sejujurnya. Ada banyak konflik di antara manusia Bali dikisahkan dalam buku ini, berikut ironinya. Tidak berarti selama ini tidak ada karya, fiksi dan nonfiksi, yang bagus dan jujur tentang Bali. Tapi, banyak karya itu ditulis oleh orang asing. Dalam karya-karya itu memang kita mendapatkan keunikan, tetapi tidak otentik. Dalam Mandi Api kita mendapatkan kisah-kisah tentang Bali yang unik dan otentik, karena ditulis oleh orang Bali, oleh orang yang melakoni, sehingga dia menjadi cerita-cerita "Bali oleh Bali, unik dan otentik".
Cerpen-cerpen dalam Mandi Api banyak mengambil latar kehidupan masyarakat dan budaya Bali. Apakah memang ada hal-hal yang perlu digugat dalam budaya dan tata kehidupan masyarakat Bali kini? Perubahan apa sebenarnya yang paling mengkhawatirkan?
Terlalu banyak gugatan yang harus dilontarkan di Bali. Karena Bali tumbuh dan berkembang berkat pariwisata, sudah tentu, dunia plesir salah satu yang harus bertanggungjawab terhadap perekonomian Bali. Tetapi orang sering keliru, seolah-olah Bali itu berubah hanya karena pariwisata. Di dalam diri Bali sendiri, perubahan-perubahan yang menyangkut kehidupan adat dan keagamaan, berubah tanpa pengaruh pariwisata. Artinya, ada atau tidak pariwisata, perubahan dalam tatanan masyarakat Bali akan berubah juga. Saya rasa bangsa-bangsa mana pun mengalami hal semacam ini. Modernisasi, snobisme, hedonisme, dengan mudah kita dapatkan di Bali. Hubungan kekerabatan meluntur. Mereka yang kaya karena pariwisata, melangsungkan upacara adat semakin mewah. Orang-orang Bali banyak yang menjual tanah dengan harga tinggi, kemudian menghabiskan uangnya untuk ritual keagamaan. Makin banyak orang Bali yang dulu punya tanah, kini tidak lagi. Semakin hari kian banyak tanah-tanah di Bali dikuasai oleh orang luar. Ini masalah gawat.
Tampaknya Anda menyukai tema-tema realis ya. Ada alasan tertentu?
Persoalanya bukan suka atau tidak. Tetapi, begitulah kemampuan saya. Saya menyukai karya aliran macam apa pun. Mungkin karena saya terlibat sangat lama di pers, saya dibentuk untuk menyampaikan gagasan, peristiwa, apa pun segamblang mungkin. Jangan sampai satu pun informasi sampai membingungkan pembaca. Tak bolah menimbulkan pengertian ganda. Semua harus jelas, nyata, tajam, hindari kalimat yang berbunga-bunga. Jangan berbelit-belit. Itu mungkin sebabnya, akhirnya saya menulis karya fiksi menjadi seperti kenyataan. Ini bukan pilihan, tapi memang begitulah jadinya.
Sekarang banyak artis yang tiba-tiba menjadi penulis dan membuat buku. Bagaimana komentar Anda mengenainya?
Siapa pun berhak menulis buku. Dan itu bagus. Persoalannya bukan siapa yang menulis, tapi apakah yang mereka hasilkan itu bagus atau tidak. Kalau jelek, ia akan ditinggal. Jika bagus, dia akan diharapkan, ditunggu-tunggu.
Dengar-dengar Anda aktif mengikuti milis-milis perbukuan dan sastra. Menurut Anda, sampai di mana peran milis-milis itu bagi perkembangan sastra? Adakah pengaruhnya bagi Anda sebagai penulis?

Saya ikut milis secara pasif saja, untuk mengetahui perkembangan kesusastraan kita, karena media cetak tampaknya tidak sanggup menampung melubernya gairah orang-orang yang bergiat atau sekedar main-main di sastra. Saya selalu berharap semakin banyak tumbuh milis sastra dan perbukuan. Ini akan sangat membantu siapa saja yang hendak mengasah kepengarangannya dengan mengikuti milis-milis tersebut. Sekali tempo, bagus juga kalau ada lomba milis perbukuan dan sastra. Ini akan memacu kita untuk berinteraksi. Memberi kita perbandingan, sejauh mana pencapaian kita. Banyak informasi karya atau buku yang bagus saya dapatkan dari milis. Tapi banyak juga karya-karya jelek yang digembar-gemborkan bagus dan hebat di milis. Namanya juga promosi.
Nah, kalau yang ini pertanyaan iseng-iseng : mau dipakai apa nih hadiah 100 juta?
Ini bukan pertanyaan iseng, justru pertayaan serius. Terus terang, saya tak pernah menyangka jadi pemenang. Jadi, tak pernah menduga tiba-tiba punya duit Rp 100 juta. Karena itu, ketika diumumkan sebagai pemenang, saya tak tahu untuk apa uang sebanyak itu. Beberapa saat kemudian saya berpikir, mengapa hadiah ini tidak saya belikan mesin cetak saja? Saya bisa mencetak lebih banyak buku sastrawan lain dengan harga berdamai. Saya memang merancang sendiri sebagian besar buku-buku saya yang saya terbitkan dan cetak sendiri. Dengan mesin cetak yang akan saya beli, tentu saya bisa lebih longgar memproduksi buku. Ongkos cetak bisa ditekan karena dikerjakan dengan mesin sendiri. Beberapa rekan pengarang di Bali yang kantongnya tipis dan ingin menerbitkan buku, kadang-kadang datang kepada saya agar penerbitan bukunya bisa dibantu. Maka, pertanyaan untuk apa uang seratus juta itu sesungguhnya pertanyaan serius, tidak iseng. Sepotong pertanyaan yang sesungguhnya menyangkut dunia kepengarangan dan industri perbukuan.
Endah Sulwesi 26/11
 
posted by biru
Permalink ¤