Wednesday, February 14, 2007,10:57 AM
Wawancara dengan Kurnia Effendi
Menjelang peluncuran buku Burung Kolibri Merah Dadu (BKMD), tanggal 14 Februari 2007, jam 19.00 di MP Book Point, Jl. Puri Mutiara Raya 72, Jakarta Selatan; Endah Sulwesi mewawancara pengarangnya, Kurnia Effendi. Di antara hari-hari hujan, perbincangan tertulis antara Endah dan Kef tetap berlangsung, sebagaimana tertuang di bawah ini untuk pembaca PARLE:

Sejak awal kepenulisan anda, tema cinta telah lekat dengan cerpen-cerpen anda. Pertanyaannya klasik, mengapa cinta?

Karena di negeri ini, atau di bumi ini, cinta belum selesai. Ah, jawabannya terasa sebagai jargon ya? Sebenarnya karena saya merasa bahwa hidup ini tak akan tumbuh tanpa cinta. Bahkan sejak Tuhan menciptakan manusia pertama. Rasanya mustahil sebuah penciptaan tidak didasari cinta. Namun demikian, cinta tidak sepenuhnya lurus dan mendapatkan tempat yang tepat. Kondisi seperti itu selalu menggoda saya untuk menuliskannya.

Ada tujuan khususkah diterbitkannya buku Burung Kolibri Merah Dadu ini? Siapa sebenarnya segmen pembaca yang disasar?

Tujuan khusus sebenarnya ingin memberi trigger atau pemicu untuk “mengumpulkan” teman-teman lama melalui sebuah nostalgia dengan cerpen-cerpen tahun 80-an. Tapi kemudian berkembang sekaligus menjadi catatan jejak karier kepengarangan saya hampir sepanjang 3 dekade. Ah, jadi terdengar sudah tua ya? Karena tema cinta yang dihimpun di sana, alangkah seru diluncurkan pada tanggal 14 Februari yang secara universal dianggap hari kasih sayang. Soal sasaran, akhirnya semua usia yang gemar dengan cerita cinta, sebab dalam buku itu tidak hanya memasang cerita tahun 80-an, termasuk cerita tahun 2000-an juga.

Jika hendak dibandingkan dengan karya-karya bertema cinta remaja yang ada sekarang, cerpen-cerpen anda terasa “berbeda“. Bagaimana memandang “perbedaan” ini?

Sebenarnya secara esensi antara cerpen remaja tahun 80-an tidak berbeda dengan teenlit hari ini, mengolah gejolak cinta yang masih terombang-ambing antara idealisme dan kepentingan pihak ketiga: orang tua, guru, penjaga moral, dsb. Yang membedakan ada dua hal. Pertama, cara ungkapnya. Di masa lalu masih menggunakan bahasa yang cenderung puitis, tertib sebagai bahasa tulis. Sedangkan sekarang nyaris tidak berbeda antara bahasa lisan dan tulisan, seperti halnya saat kita mencurahkan isi hati ke dalam buku harian. Mengenai tema yang masih berkisar pada romantika cinta remaja, latarnya berkembang sesuai dengan zaman. Kedua, dengan kelahiran teknologi informasi, sisi keindahan hubungan antarmanusia pun berubah. Mungkin tak ada lagi debaran hati saat menunggu datangnya surat dari kekasih, dan terasa mustahil jika janjian di suatu lokasi ternyata salah waktu dan keliru titik pertemuan… bukankah kini ada HP yang akan menuntun mereka pada akurasi janji? Tapi masing-masing, pada zamannya, akan terasa sebagai “gue banget“. Mudah-mudahan, buku BKMD ini menjadi referensi bagi remaja masa kini, bahwa dulu pernah ada cerita remaja dengan gaya ungkap yang berbeda.

Dalam menulis cerpen, mana yang lebih anda pentingkan: tema atau gaya pengucapan?

Keduanya penting bagi saya. Dalam menulis cerita, saya lebih dulu menemukan judul. Dengan demikian saya akan mencari tema yang pas untuk judul itu. Lantas, karena tema sentralnya selalu bertumpu pada cinta, saya mendeskripsikannya dengan cara yang mudah-mudahan romantis. Dalam proses menulis, saya kerap mencari nuansa “melodius“ untuk sebuah paragraf.

Pernahkah mengalami kebuntuan ide?

Tentu pernah. Dari jam terbang kepengarangan, saya mulai tahu bagaimana cara mengatasinya. Mau tahu? Itu perlu sebuah kelas, hehe. Atau baca proses kreatif saya di blog http://www.sepanjangbraga.blogspot.com/

Menurut anda, apakah di negeri kita seseorang akan dapat hidup layak hanya sebagai penulis?

Jawabnya bisa ya dan tidak. Jika melihat Marga T yang telah menembus penjualan 1 juta buku atau Hilman Hariwijaya pencipta Lupus (nama tokoh utama dalam serial cerita remaja di Majalah "Hai" dan pernah sangat populer pada era 80-an. - red), rasanya tak ada masalah dengan hidup melalui tulisan. Tapi tentu ada kontribusi yang kuat juga dari penerbit, upaya promosi, dan fans club, dalam membangun citra yang ujung-ujungnya pada penjualan buku. Royalti secara umum kan hanya 10% dari harga jual. Tapi kita tahu, sebagian besar pengarang di negeri ini masih bersandar pada pekerjaan formal atau kegiatan lain.

Sebenarnya, siapa sih penulis favorit anda?

Penulis favorit? Bisa banyak sekali, karena saya lebih terpikat kepada karya ketimbang pengarang yang kadang-kadang mengalami pasang surut dalam berkarya. Misalnya saya menggemari Olenka karya Budi Darma, sejumlah novel Alistair MacLean, cerpen-cerpen Katyusha di masa lalu. Sedangkan untuk puisi, sejak awal saya merasa nikmat membaca karya Acep Zamzam Noor dan Goenawan Mohamad.

Terakhir, sampai kapan anda akan terus menekuni dunia sastra ini?

Menekuni dunia sastra tentu ada dua macam, membaca dan menulis. Keduanya akan terus menjadi bagian hidup saya. Saya akan terus menulis sepanjang saya masih mampu menulis. Bahkan ada semacam cita-cita, setelah “pensiun” dari pekerjaan formal akan total menjadi penulis. Bukankah saya masih “berutang” banyak kepada para calon pembaca untuk membayarnya dengan tulisan, setelah saya membaca kehidupan ini?

Endah Sulwesi 11/2
 
posted by biru
Permalink ¤