Friday, January 11, 2008,12:02 AM
FTI AWARD 2007

Untuk kedua kalinya, Federasi Teater Indonesia (FTI) menganugerahkan penghargaan kepada seorang pekerja/seniman teater Indonesia. Tahun 2007 ini, pada usianya yang ketiga, FTI memberikan anugerah tersebut kepada dramawan Putu Wijaya. Bertempat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu malam pekan lalu (9/1) FTI Award diserahkan dalam sebuah acara sederhana yang dihadiri insan-insan teater dan seniman Indonesia; di antaranya tampak Slamet Rahardjo Jarot, Alex Komang, Didi Petet, Danarto, W.S. Rendra, dan Jajang C.Noer. Hadir juga penyanyi balada Ebiet G.Ade dan Aning Katamsi yang mempersembahkan beberapa lagu, serta Raja Monolog Butet Kertaradjasa yang tampil membacakan cerpen Paman Gober karya Seno Gumira Ajidarma.

FTI yang diketuai oleh Radhar Panca Dahana ini dibentuk pada 27 Desember 2004. Waktu itu tak kurang dari 250 kelompok teater yang ada di wilayah Jabodetabek bertemu di TIM dengan agenda mendeklarasikan satu wadah bagi para pekerja/seniman teater. Wadah ini kelak diharapkan mampu mengakomodasi semua kepentingan seniman teater, seperti pementasan, workshop, terjemahan naskah, hingga pertukaran dengan seniman teater luar negeri. Namun, dalam usia yang masih balita ini, FTI sering kesulitan menyelenggarakan program-programnya karena terbentur masalah dana (finansial).

Terpilihnya I Gusti Ngurah Putu Wijaya sebagai penerima FTI Award adalah hasil kesepakatan dewan juri yang terdiri dari Nano Riantiarno, Danarto, Benny Yohanes, dan Radhar Panca Dahana. Putu Wijaya yang lahir pada 11 April 1944 ini dinilai sangat pantas mendapatkan anugerah tersebut karena, “Dedikasinya tidak diragukan lagi. Baginya teater adalah darah dan jiwa. Lebih dari satu dekade, ia menyadarkan, dengan gaya ‘meneror’, bahwa selalu masih ada ruang untuk mempertanyakan kembali sikap, aturan, kesimpulan, dan hukum-hukum teater yang seakan sudah dianggap baku dan tak bisa diubah-ubah lagi.” Demikian N.Riantiarno mengemukakan alasannya.

Putu Wijaya memang seniman serbabisa. Selain menekuni teater, lelaki kelahiran Tabanan, Bali ini juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Sudah 30 novel, 40 naskah drama, ratusan cerpen, esai, serta kritik drama yang ditulisnya. Bahkan tiga skenario film karyanya–Perawan Desa (1980), Kembang Kertas (1985), serta Ramadhan dan Ramona (1992)–telah memenangi Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia (FFI). Seni lukis dan panggung sinetron pun tak luput dirambahnya pula.

Pada tahun 2007 yang lalu, anak ketiga dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati ini juga memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie dari Freedom Institut. Lagi-lagi berkat kiprah dan dedikasinya pada dunia sastra dan teater Indonesia.

Bengkel Teater pimpinan W.S.Rendra adalah awal mula “percintaan” Putu dengan panggung teater. Itu terjadi 40 tahun silam di Yogyakarta, kota tempat ia menamatkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (1969). Di kota pelajar ini pula lelaki yang kini akrab dengan topi pet putihnya itu, menempuh pendidikan seni di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) serta di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).

Pada 1970, Putu hijrah ke Jakarta dan sempat terlibat di Teater Ketjil pimpinan Arifin C.Noer dan Teater Populer-nya Teguh Karya. Setahun berikutnya (1971) ia mendirikan Teater Mandiri dan kemudian giat mengusung pertunjukan-pertunjukan yang disebutnya sebagai “teror mental” dengan lakon yang selalu bersumber dari karya-karyanya dan disutradarainya sendiri. Pertunjukan perdananya adalah Orang-orang Mandiri (1971) yang ditayangkan di TVRI. Selanjutnya, hingga hari ini, Putu Wijaya terus berkarya tanpa henti bagi sastra dan dunia teater yang dicintainya.***

Endah Sulwesi (dari berbagai sumber)
 
posted by biru
Permalink ¤