Wednesday, November 21, 2007,2:42 PM
Delapan Penyair Unjuk Puisi di TUK

Mendung menggantung di langit Jakarta sejak siang pada akhir pekan lalu yang disusul kemudian oleh hujan lebat pada petang harinya. Jakarta sekejap menjadi basah dan sebagian orang memilih untuk tinggal nyaman di rumah. Tetapi hujan rupanya tak menyurutkan langkah segelintir orang untuk tetap mendatangi Teater Utan Kayu (TUK) yang senja itu menggelar pembacaan puisi delapan penyair muda Tanah Air. Ini merupakan agenda berkala TUK yang mencoba memantau perkembangan sastrawan muda Indonesia.

Kedelapan mereka adalah: Hasan Aspahani (Batam), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Pranita Dewi (Bali), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), S. Yoga (Jawa Timur), serta Dina Oktaviani (Yogyakarta). Selama dua hari (9-10 November 2007) mereka tampil membawakan sajak masing-masing.

Pada malam kedua, giliran Pranita Dewi, Binhad Nurrohmat, Inggit Putria Marga, dan S.Yoga yang menunjukkan kebolehannya membaca puisi setelah malam sebelumnya tampil Hasan, Fadjroel, Dina, dan Lupita Lukman.

Mereka semua memang penyair (penulis puisi) yang rata-rata sudah menerbitkan buku, tetapi bukan ”pembaca” puisi. Oleh karena itu, harap maklum saja jika aksi panggung mereka cenderung datar dan biasa-biasa saja. Gerak tubuh, mimik wajah, serta olah vokal mereka juga tidak ada yang tampak luar biasa. Mereka telah berusaha semaksimal mungkin, namun, apa mau dikata, hasilnya tetap tak istimewa.

Binhad, misalnya, berupaya mencairkan suasana dengan melontarkan lelucon-lelucon sebagai improvisasi. Awalnya cukup berhasil mengajak penonton tergelak. Tetapi, tak bertahan lama. Audiens yang tak banyak itu segera merasa jenuh.

Lalu Fadjroel, mencoba bergaya teatrikal dengan naik ke atas kursi ketika membacakan satu sajaknya yang berjudul “Secangkir Kopi Pagi” yang dicuplik dari buku Dongeng untuk Poppy. Barangkali merasa lebih bebas dan cair ketika dia membacakan sajak itu pada acara launching di MP Book Point beberapa bulan lalu. Bersama-sama Binhad dengan Bau Betina-nya, Fadjroel masuk ke dalam sepuluh besar kandidat penerima Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007 untuk kategori puisi.

Selanjutnya ada Dina Oktaviani melantunkan “Hantu-Hantu Tanjung Karang” dengan vokal sedikit gemetar. Padahal, ketika suaranya menjadi ”surat yang disuarakan” dalam rekaman untuk pertunjukan cerpenis mantan suaminya, Gunawan Maryanto dalam Festival Sastra International dua tahun lalu di tempat yang sama, sangat memukau. Tak beda jauh dengan Dina, demikian pula Pranita Dewi, Si “Pelacur Para Dewa” dan Lupita Lukman saat membaca karya mereka.

Yang agak lumayan barangkali Inggit Putria Marga. Tanpa banyak lagak, cukup duduk tenang di kursi kayu yang tersedia, penyair Lampung ini membawa penonton sejenak larut bersama puisinya. Mungkin dengan cara seperti ini, makna puisi lebih merasuk sukma, dan pesan penyair sampai dengan baik.

Ya, menulis puisi memang tak sama dengan membaca puisi. Dan kita, para penikmat ini, tak bisa menuntut para penyair itu untuk juga piawai sebagai pembaca puisi. Tak banyak yang bisa melakukan keduanya dengan baik. Rasanya bisa dihitung jari, sebut saja Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan almarhum Hamid Jabbar yang mampu menyihir kita. ***


endah sulwesi 13/11
 
posted by biru
Permalink ¤