DENGAN ANGKLUNG ‘MENAKLUKKAN’ EROPA
Peristiwanya telah lama usai. Tepatnya terjadi di sepanjang bulan Juli-Agustus tiga tahun silam. Serombongan anak muda asal Kota Kembang yang bernaung di bawah Keluarga Paduan Angklung SMAN 3 Bandung (KPA 3), melangsungkan muhibah kesenian ke Eropa. Dengan niat mulia memperkenalkan musik tradisional Jawa Barat bernama angklung, ketiga puluh lima pemuda–25 siswa SMA serta 10 orang mahasiswa–ini sukses menggebrak panggung-panggung pertunjukan di enam negara Eropa (Belgia, Prancis, Inggris, Ceko, Polandia, dan Jerman) selama 40 hari.
Keberhasilan kontingen angklung tersebut tak bisa dilepaskan dari andil dan kerja keras Maulana M. Syuhada, seorang mahasiswa Indonesia yang tengah mengambil gelar master Manajemen Produksi di Technische Universitaet Hamburg-Haburg, Jerman. Keterlibatan total Maulana pada misi ini bukan hanya karena kesetiaan pada almamaternya, namun ada tujuan lebih besar lagi, yakni mengharumkan nama bangsa dan negara lewat kesenian dan kebudayaan.
“Di berbagai bidang, kita terpuruk di mata dunia. Hanya lewat kesenianlah kita masih bisa berbangga,” kata Maulana pada kesempatan Senin malam pekan lalu di toko buku MP Book Point, Jakarta. Pada waktu lain, lewat tayangan sebuah acara di salah satu stasiun TV swasta nasional, lelaki berumur 30 tahun ini juga berujar tentang rasa nasionalismenya yang kian tumbuh subur justru setelah ia berada jauh dari tanah air.
Kendati belum pernah secara resmi menjadi anggota KPA 3, sejatinya Maulana adalah seorang pencinta seni yang hobi sekolah. Maka, setamatnya dari Teknik Industri ITB (2001), ia terbang ke Jerman, melanjutkan pendidikannya ke jenjang master. Selama tinggal di negeri Hitler ini, ia aktif terlibat di berbagai kegiatan seni dan budaya, hingga pada 2002 berhasil membentuk kelompok “Angklung-Orchester Hamburg” di kampusnya dengan anggota para mahasiswa asing yang berasal dari sepuluh negara.
Sepak terjangnya kemudian berlanjut dengan mendirikan grup Sabilulungan, yakni sebuah grup kesenian Sunda dengan spesialisasi kecapi-suling dan rampak gendang. Selain itu, ia pun turut tergabung dalam grup gamelan Margil Budoyo Hamburg serta merupakan salah seorang konseptor “wayang kontemporer” yang dipentaskan pertama kali di Eropa pada November 2003.
Dari seabreg kesibukannya menggeluti kesenian–khususnya kesenian Sunda–pengalaman terbesar, spektakular, dan tak akan pernah dilupakan seumur hidup adalah saat ia memimpin KPA 3 melakukan konser ke enam negara Eropa dalam rangka mengikuti tiga festival musik dan tari internasional selama 40 hari pada musim panas 2004. Dan, dengan bersenjatakan angklung itulah ia ‘menaklukkan’ Eropa.
Hasil gemilang yang telah diraih bukanlah jatuh begitu saja dari surga. Di baliknya ada sederet cerita muram tentang perjuangan seorang Maulana beserta adik-adik kelasnya itu. Mereka sempat ditolak oleh panitia penyelenggara Aberdeen Youth International Festival hanya 3 bulan menjelang hari “H”. Untunglah, berkat upaya dan kekuatan lobi masalah tersebut bisa diatasi.
Tetapi itu belum seberapa. Masih ada lagi yang lebih ekstrem dan menegangkan. Seminggu sebelum keberangkatan ke Eropa, perusahaan yang sedianya akan mensponsori, mendadak membatalkan kontrak secara sepihak. Kontan, seluruh rombongan lemas lunglai dan panik, tak tahu mesti bagaimana mengusahakan dana sebesar 300 juta rupiah. Di saat-saat kritis itu, Maulana tampil memberi semangat dan mencarikan jalan keluarnya.
Pendek kata, akhirnya mereka bisa berangkat walaupun dengan biaya yang serba minim hasil dari mengutang sana-sini termasuk berjualan CD (compact disk) berisi rekaman lagu-lagu mereka plus aneka cendera mata etnis dari Indonesia seperti wayang golek, batik, pulpen, dll.
Segala jerih payah mereka tak percuma. Di setiap penampilan mereka selalu diganjar sambutan dan apresiasi yang baik dari khalayak penonton. Bahkan ketika tampil sebagai bintang tamu di Festival Zakopane, Polandia, tanpa diduga mereka dianugerahi Ciupaga, yakni penghargaan tertinggi yang hanya diberikan kepada para pemenang kompetisi highland folklore, bukan kepada bintang tamu. Di sini, mereka juga memenangi audience award. Rupa-rupanya nomor “Jali-Jali” serta “Siksik Si Batu Manikam” yang mereka bawakan telah memikat hati para juri dan publik penonton. Sungguh prestasi yang membanggakan.
Seluruh pengalaman indah dan berkesan ini kemudian diabadikan Maulana dalam sebuah buku setebal 550 halaman berjudul 40 Days In Europe . Buku ini diterbitkan oleh penerbit Bentang dan telah diluncurkan awal September lalu di Bandung.
Menurut Maulana pengalaman berharga ini patut dibagi kepada banyak orang agar dari situ orang lain dapat memetik hikmah dan pelajaran. Kandidat doktor yang harus segera kembali ke kampusnya di Inggris sana telah membuktikan, bahwa dengan kerja keras, doa, dan pertolongan-Nya, segala yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.
Ide untuk membukukan perjalanan ESA (Expand the Sound of Angklung) ini, sebetulnya sudah muncul sejak petualangan 40 hari tersebut berakhir. Namun, karena kesibukan menyelesaikan studi, baru pada awal tahun ini ia berkesempatan menuliskannya. Itupun lantaran ia mesti istirahat total di ranjangnya selama empat bulan tersebab patah tulang kaki yang diperolehnya saat bermain sepak bola. “Andaikan kaki saya tidak pernah patah, mungkin buku ini tidak akan pernah ada”, katanya. Peristiwa tersebut semakin menambah keyakinannya bahwa di balik sebuah musibah pasti ada hikmahnya.***