Tuesday, August 14, 2007,10:56 PM
Drama NYAI ONTOSOROH
ini buku panduan



akhir pertunjukan



“Kita telah melawan, Nak, Nyo, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”

Kalimat di atas adalah penggalan dialog penutup drama Nyai Ontosoroh yang dipentaskan selama tiga malam berturut-turut (12, 13, dan 14 Agustus 2007) di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Lakon yang naskahnya diadaptasi dari karya masterpiece sastrawan (alm) Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, ini digelar oleh Institut Ungu bekerja sama dengan Jaringan Nasional Perempuan Mahardika serta Perguruan Rakyat Merdeka.

Ketiga lembaga yang peduli pada persoalan perempuan, sosial, dan kebudayaan ini bersama-sama menyatukan visi dan energi memanggungkan pertunjukan teater Nyai Ontosoroh. Kolabarasi tersebut melibatkan 150 orang personel secara keseluruhan, termasuk di dalamnya artis sinetron Happy Salma sebagai pemegang rol utama.

Pada malam kedua pementasan, seluruh kursi yang tersedia, terisi penuh. Bahkan di sudut-sudut ada penonton yang duduk di kursi ekstra. Seluruh tiket, sejak beberapa hari sebelum pertunjukan berlangsung, telah ludes terjual. Nyai Ontosoroh, bagi kalangan penikmat sastra memang bukanlah nama yang asing. Tokoh rekaan Pramoedya ini nyaris bagai “legenda”, berdampingan dengan Minke.

Malam itu, Nyai Ontosoroh menjelma dalam sosok Happy Salma: perempuan cerdas yang angkuh, berwibawa, bermartabat, penuh harga diri. Penampilan Happy Salma cukup memukau. Aktingnya terjaga dari awal hingga akhir. Penguasaan vokalnya prima. Ia menguasai dialog-dialognya nyaris tanpa cacat. Sebagai karakter utama, Happy mampu memberi ruh pada keseluruhan pertunjukan. Agaknya, dialah sripanggung malam itu.

Jika karakter sang Nyai berhasil ditafsirkan dengan baik, sebaliknya pada tokoh Minke. Ada yang terasa kurang pas dalam sosok yang diperankan oleh Temmy Meltanto. Minke yang hadir malam itu adalah Sinyo yang lembek, yang melulu cuma repot ngurusin cintanya pada cewek indo cantik putri sang Nyai, Annelies. Tidak ada itu Minke pemuda cerdas, kritis, dan pemberani. Mestinya,ia bisa menjadi karakter pendamping yang setara dengan Nyai Ontosoroh.

Faiza Mardzoeki yang menulis naskahnya; sedangkan bertindak sebagai sutradara adalah Wawan Sofwan, seniman teater “jebolan” Studi Klub Bandung. Menurut pengakuan Wawan, ia menggunakan konsep panggung berjalan (moving stage) dan penuturan kilas balik dengan Nyai Ontosoroh sebagai sentral cerita. Ada beberapa kali, ia menyelipkan juga teknik visualisasi berlapis.

Pesan moral drama ini adalah tentang keberanian untuk melawani ketidakadilan serta kesewenang-wenangan. Setting-nya adalah Surabaya di masa kolonial Belanda.

Nyai Ontosoroh alias Sanikem adalah seorang perempuan yang tidak menyerah begitu saja dalam ketidakberdayaannya. Riwayat hidup yang getir telah membentuk watak pemberontak dalam jiwanya yang tak habis diliputi kesumat: kepada ayah, ibu, serta Herman Mellema, lelaki Belanda yang memeliharanya sebagai gundik. Dengan cerdik, Sanikem bermetamorfosis dari seorang perempuan desa menjadi seorang Nyai terhormat. Ia menguasai baca-tulis dalam bahasa Belanda dan Melayu berkat didikan tuannya. Ia juga memperoleh pelajaran tentang bertani, beternak, dan menjalankan perusahaan. Untuk beberapa lama, Sanikem mensyukuri peruntungannya sebagai gundik.

Sampai suatu ketika datanglah malapetaka yang menghancur-leburkan kerajaan kecil miliknya tempat ia berkuasa selama ini. Bencana itu adalah Maurits Mellema (Hendra Yan), putra kandung Herman dari istri sahnya di Belanda. Maurits datang membawa dendam kepada ayah yang telah meninggalkannya. Sejak itu, kehidupan rumah tangga Sanikem dan tuannya menjelma neraka. Tatkala Herman mati di sebuah rumah bordil, Sanikem harus menghadapi persidangan di hadapan hakim dan pengacara Belanda. Di sana, Sanikem dengan penuh harga diri mempertahankan hak-haknya sebagai ibu dari Annelies, putri yang oleh Maurits ingin direnggut darinya. Sepeninggal Herman, Maurits, secara hukum Belanda, berhak atas perwalian Annelies.

Sanikem tak tinggal diam menyerah. Segala upaya ia tempuh demi mendapatkan kembali Annelies. Namun, pada akhirnya kekuasaanlah yang menang, kendati ia telah melawan sekuat tenaga. Sebab, Sanikem percaya, dengan melawan, ia tak sepenuhnya kalah. “Kita telah melawan, Nak, Nyo, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.

endah sulwesi 14/8
 
posted by biru
Permalink ¤