Friday, September 14, 2007,9:04 PM
QARIS TAJUDIN: “Waktu kecil saya tidak boleh baca komik…”



Jika Anda penggemar fiksi lokal, barangkali tahu bahwa saat ini di pasar tengah beredar novel baru berjudul Mahasati. Novel bertema cinta tersebut ditulis oleh seorang penulis muda berbakat yang juga jurnalis. Dia adalah Qaris Tajudin. Saat ini menjabat sebagai redaktur mode dan gaya hidup di Koran Tempo. Pria berusia 33 tahun pada 13 Agustus yang lalu ini pada mulanya hanya bercita-cita menjadi wartawan. Ia tak pernah menyangka ketika akhirnya bisa menerbitkan sebuah karya fiksi berupa novel setebal hampir 400 halaman.

Mahasati memang karya perdana yang saya harap bisa menjadi batu pijakan saya untuk melangkah lebih mantap lagi memasuki dunia penulisan fiksi,” kata Qaris menjelaskan arti penting karya debutannya itu. Sesungguhnya, ia telah lama jatuh cinta pada fiksi. Bermula di tahun 1986, saat pertama kali dia memiliki komputer sendiri. Waktu itu, Qaris masih seorang remaja baru lulus Sekolah Dasar di kampung halamannya di Bangil, Jawa Timur sana.

“Fiksi-fiksian,” demikian ia menyebut tulisan pertamanya berupa cerita berjenis thriller. Mengapa thriller? “Terpengaruh Lima Sekawan. Ha..ha..ha,” Qaris tertawa renyah mengenang kembali masa-masa awalnya berkenalan dengan dunia tulis-menulis. “Tapi waktu kecil saya nggak boleh baca komik, lho. Makanya, saya terlambat mengenal Donald Bebek”. Satu-satunya komik yang boleh dilahap penggemar novel-novel Murakami dan J.D. Salinger ini adalah Mahabarata-nya R.A. Kosasih. Itupun lantaran sang bunda tercinta kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan Qaris kecil setiap usai menonton pertunjukan wayang di TVRI. “Jadi saya disuruh baca sendiri saja di komik itu. He..he..he,” Qaris terkekeh saat membongkar kembali memori masa kecilnya.

Berikutnya, ia melewatkan masa SMP dan SMA di sebuah pesantren milik Persatuan Islam (Persis) di Bangil sebelum akhirnya terbang jauh ke Kairo, Mesir, demi mereguk ilmu filsafat di universitas paling bergengsi di sana: Al Azhar. Enam tahun dia menempuh kuliah untuk kemudian mengawali karier idamannya sebagai jurnalis hingga hari ini.

Nama Qaris sendiri memiliki makna “dingin sekali”. Diambil dari kosa kata bahasa Arab. Tetapi siapa menyangka jika ternyata ia justru keturunan India. “Ayah saya, India. Ibu saya dari Malang,” jelas anak ketiga dari lima bersaudara ini. Pengagum berat Goenawan Muhammad dan Nizar Qabbani ini juga menggeluti puisi, meskipun belum berniat untuk menerbitkannya dalam sebuah buku. Sementara ini, puisi-puisi karyanya baru bisa diintip di blog miliknya: www.cerminretak.blogdrive.com.

Lelaki yang menikah pada 2003 dengan seorang perempuan bernama Fardiah ini, selanjutnya mengisahkan tentang pengalaman “berdarah-darah”-nya selama menyelesaikan Mahasati. Dari mulai penulisan hingga diterbitkan, seluruhnya memakan waktu lima tahun. Sebuah penantian yang cukup panjang. Kendati begitu, Qaris tak lalu jadi kapok. Ia malah ketagihan. “Saya bahkan sudah mulai menulis (calon) novel kedua saya,” ujarnya berbagi rahasia. Namun, ia tak hendak membocorkan dulu bercerita tentang apa novel keduanya kelak. “Tunggu saja nanti ya,” katanya sembari mengulum senyum, “Pokoknya masih tentang cinta”.

Ah..mengapa mesti (tentang) cinta lagi, Qaris? “Ya..sebab kalau bukan cinta, kayaknya buku saya bakal jadi cerita yang gelap dan kelam,” tandasnya. Ia yakin, lewat (kisah) cinta (dengan berbagai variasinya) segala hal bisa disampaikan.

Di Koran Tempo, Qaris juga terlibat dalam sidang redaksi Ruang Baca; suplemen khusus sastra yang terbit rutin satu bulan sekali pada setiap pekan ketiga. Untuk itu, mau tidak mau ia harus rajin mengamati perkembangan sastra. Menurutnya, dinamika sastra tanah air cukup menggembirakan jika dilihat dari banyak lahirnya para penulis muda. Hal tersebut dimungkinkan oleh situasi hari ini yang sangat kondusif bagi siapapun untuk menulis. Perkara mutu, biarlah diurus belakangan. Yang penting jadikan dulu menulis (dan membaca) sebagai budaya. Ia juga menyambut gembira buku-buku sastra terjemahan yang belakangan tumbuh menjamur memenuhi rak di toko-toko buku kita. Tak perlu cemas dengan buku-buku impor itu, justru jadikan itu sebagai pemacu motivasi.

Kembali bercerita ihwal karier jurnalistiknya, Qaris sangat terkesan dengan pengalamannya meliput langsung perang terbuka di Afganistan (2001). “Suvenir” dari medan tempur itulah yang lantas diabadikan dalam Mahasati. Banyak yang “curiga”, bahwa tokoh Andi Jatmika dalam Mahasati merupakan alter ego dirinya. “Mungkin ya. Biasa deh, karya pertama biasanya kan lebih gampang mengambil model hal-hal yang akrab dengan kita,” sahutnya lugas. “Untuk fiksi, saya memilih menulis hal-hal realis yang dikemas dengan bahasa sehari-hari yang ringan tanpa terjerumus menjadi chicklit”.

Intinya, Qaris Tajudin akan terus menulis fiksi sambil tetap menekuni karier kewartawanannya, sebab ia sadar betul bahwa pilihan (menjadi penulis) itu belum bisa dijadikan sumber nafkah yang memadai.***

Biodata singkat:
Nama lengkap: Qaris Tajudin
Tempat/tgl.lahir: Bangil, 13 Agustus 1974.
Nama istri: Fardiah
Nama ayah/ibu: Tajudin (alm)/Sri Hartati
Pendidikan: Jurusan Filsafat Univervitas Al Azhar, Mesir.
Pekerjaan: Redaktur Mode dan Gaya Hidup Koran Tempo

ENDAH SULWESI
 
posted by biru
Permalink ¤