DISKUSI NOVEL “GLONGGONG”
dari kiri ke kanan : Binhad Nurohamat, A.S. Laksana, Junaedi "Glonggong" Setiyono Glonggong adalah salah satu pemenang sayembara penulisan novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) awal tahun 2007. Tepatnya pemenang harapan ke-2. Ditulis oleh Junaedi Setiyono, seorang dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Glonggong telah menaklukkan hati para juri yang di antaranya adalah Ahmad Tohari (sastrawan) dan Bambang Sugiharto (dosen Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung).
Kamis pekan lalu, 16 Agustus 2007, atas kerja sama Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Serambi,
Glonggong dibincang ramai-ramai di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Perbincangan ini dikawal oleh moderator Binhad Nurohmat (penyair), menggantikan Adi Wicaksono yang berhalangan hadir. Sastrawan A.S. Laksana dan Bambang Sugiharto didaulat sebagai pembicara. Diskusi dihadiri pula oleh Junaedi Setiyono serta Elsa Surya yang petang itu membacakan petikan
Glonggong.Glonggong mengambil latar belakang sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro, dengan tokoh utama seorang laki-laki biasa yang lugu dan berani bernama Glonggong, diambil dari bahasa Jawa yang adalah pedang mainan kanak-kanak terbuat dari tangkai daun papaya. Menurut amatan Bambang Sugiharto, novel yang beralur konvensional ini merupakan kisah anti-hero, namun bernas dan matang visi kemanusiaannya dengan moralisme yang bukan hitam-putih. Junaedi Setiyono, masih kata Bambang, mampu melihat persoalan secara realistis, multi-dimensi, dan seimbang, jauh dari sikap menghakimi. Ia berusaha untuk setia pada pelukisan dan menghindari berbagai tendensi ekstremitas. Akan tetapi tetap menawarkan kiblat nilai yang jelas: kesetiaan pada nilai-nilai perjuangan, pembebasan, kejujuran, dan ketulusan.
Sementara itu, A.S. Laksana, dalam tinjauannya berkomentar, bahwa novel ini menampilkan kemahiran penulisnya dalam membangun plot. Penulisnya tahu cara mengikat pembaca, meskipun pada beberapa bagian Sulak, demikian A.S. Laksana biasa disapa, menemukan banyak frase yang diulang-ulang–bahkan dalam satu alinea–sebagai akibat dari “kemalasan menggali” (kosa kata). Hal tersebut, menurut Sulak, lumayan mengganggu kenikmatan membaca.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, kedua pengamat itu sepakat intuk satu hal, yakni bahwa
Glonggong adalah sebuah novel yang sungguh menarik.
Acara diskusi selama hampir 2 jam itu diakhiri dengan pembagian doorprize bagi sejumlah pengunjung.
Endah Sulwesi 23/8