OKA RUSMINI : “Menulis itu, buat saya adalah semacam terapi jiwa.”
Malam masih muda saat saya bertandang ke sebuah rumah mungil bercat kuning cerah di kompleks Perumahan Purnawira, Denpasar, Bali pada akhir Oktober silam. Seorang perempuan bertubuh kurus–nyaris ceking–mengenakan tank top yang juga berwarna kuning, menyambut dengan hangat. Dialah sang nyonya rumah, Oka Rusmini.
“Aku baru pulang kantor, nih,” ujarnya sembari mempersilakan saya masuk. Tubuhnya masih basah oleh keringat. Seorang bocah kecil mengintil di belakangnya. “Ini Pasha, anakku. Baru disunat dia,” Oka memperkenalkan putra semata wayangnya itu. Selanjutnya kami mengobrol akrab di ruang tamu yang dinding-dindingnya meriah oleh aneka foto Oka dan keluarga.
Oka Rusmini memang seorang pribadi yang ceria dan cepat akrab dengan siapapun. Segera saja kami merasa bagai bicara dengan seorang sahabat yang telah lama tak berjumpa. Padahal, baru kali itulah kami saling bertemu.
Nama Oka Rusmini mulai bersinar sejak novelnya Tarian Bumi (2000) diluncurkan. Novel yang mengusung isu feminisme dengan mengetengahkan persoalan perempuan Bali dalam belitan kultur dan agama (Hindu) tersebut membuat nama Oka Rusmini berkibar di blantika sastra Tanah Air, kendati kiprah kepenulisan perempuan kelahiran 11 Juli 1967 ini telah dimulai jauh sebelumnya. Karya pertamanya yang dipublikasi adalah Monolog Pohon (1997) berupa kumpulan cerita pendek (cerpen). Seterusnya, karya-karyanya yang lain, baik berbentuk puisi atau pun prosa, terus mengalir. Beberapa di antaranya bahkan mendapat penghargaan sebagai yang terbaik.
Sifat periang istri dari penyair dan esais Arief Bagus Prasetyo ini sangat bertolak belakang dengan masa kecilnya yang tidak terlalu manis untuk dikenang. Kedua orang tuanya bercerai ketika Oka berusia 6 tahun. Ia lalu diasuh oleh ayahnya yang kemudian menikah lagi. Sebagai anak perempuan produk keluarga broken home, Oka tumbuh “sendirian”. Tak ada ibu atau kakak–ia anak sulung dari 2 bersaudara–yang bisa diajak curhat. Hanya kepada buku hariannya Oka menumpahkan segala gundah hatinya. Lantaran itulah, “Menulis, buat saya, adalah semacam terapi jiwa,” katanya. Tetapi anehnya, buku harian yang ditulisnya, selalu akan dibakarnya pada hari ulang tahunnya. Itu dilakukannya selama bertahun-tahun.
Barangkali dari situlah awal Oka menyadari bakatnya sebagai penulis. “Kenanga saya tulis waktu SMA, loh,” kenang Oka sambil menunjuk foto cover novel Kenanga di dinding. Novel itu pun memuat kisah perempuan Bali yang terpuruk karena adat dan tradisi di kampungnya. Walaupun menurut pengakuannya ia tak pernah berniat mengkhususkan diri menulis tentang perempuan (dan Bali), namun publik telanjur memberinya stempel sebagai seorang penulis fiksi feminis.
“Sebetulnya, saya ingin menjadikan tulisan-tulisan saya ini sebagai sebuah dokumentasi, khususnya (dokumentasi) Bali,” papar Oka lebih lanjut. “Sebab, saya percaya segala (tradisi) yang pernah terjadi di Bali, kelak akan punah, tergerus zaman”. Masih menurut Oka, persoalan perempuan di Bali (dan di manapun) adalah persoalan kultur dan agama; dan perempuan itu sendirilah yang paling mengerti dirinya. Oleh karena itu, perempuan pulalah yang mesti menuliskannya.
Trauma perceraian orang tuanya sempat membuat Oka berniat tidak menikah. Namun, kekerasan hatinya luluh oleh cinta seorang pria Jawa yang kini menjadi suaminya itu. Dari perkawinan mereka lahirlah Pasha Renaisan (6). Perkawinan ini harus “dibayar” mahal oleh Oka yang berkasta Brahmana. Ia harus menerima nasib seperti tokoh-tokoh perempuan (Bali) rekaannya : “dibuang” dari keluarga karena menikah dengan seorang pria muslim (beda kasta). Ia sendiripun lantas memutuskan memeluk agama Islam.
“Saya tidak pernah mengira akan menikah dan punya anak. Setelah Pasha lahir, saya baru sadar, ternyata saya hanyalah seorang ibu yang sangat konservatif; yang selalu khawatir akan keselamatan anaknya”, kata penggemar novel Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan) seraya tersenyum sumringah.
Di samping terus menulis, Oka Rusmini juga bekerja sebagai redaktur fashion di Bali Post, koran lokal terbesar di Bali. Sesekali ia juga menghadiri undangan selaku pembicara pada forum-forum sastra nasional maupun internasional seperti Ubud Writers and Readers Festival di Bali serta Festival Sastra Winternachten di Belanda beberapa waktu lalu. Ia juga pernah diundang sebagai penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman (2003).
Kepiawaian Oka menulis tak perlu disangsikan lagi. Berbagai penghargaan telah diraihnya. Dimulai pada 1994 ketika cerpennya yang berjudul “Putu Menolong Tuhan” terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Femina. Disusul oleh “Sagra” yang memenangi sayembara novelet di majalah yang sama pada 1998. Lalu giliran majalah sastra Horison mengganjar cerpen karyanya, “Pemahat Abad” sebagai cerpen terbaik 1990-2000. Kemudian pada 2003 ia dinobatkan sebagai “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” berkat novel Tarian Bumi.
Kini, wanita pemilik nama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini, tengah menanti kelahiran novel terbarunya yang diberi tajuk Tempurung. Apakah masih berkutat pada Bali dan persoalan perempuan? Baiklah, kita lihat saja nanti.***
Biodata singkat:
Nama Lengkap: Ida Ayu Oka Rusmini
Tempat/tgl.lahir: Jakarta, 11 Juli 1967
Pendidikan: Fakultas Sastra Universitas Udayana
Pekerjaan: Redaktur Fashion Bali Post
Suami: Arief Bagus Prasetyo
Anak: Pasha Renaisan (6 tahun)
Buku : Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), dan Warna Kita (2007).
Endah Sulwesi 6/11