MEREKA KINI TERBARING, TETAPI BUKAN TIDUR, SAYANG…
Empat hari menjelang Idul Fitri, tepatnya Sealas, 9 Oktober 2007, kita dikejutkan oleh sebuah berita duka: penyair Toto Sudarto Bachtiar telah berpulang ke rahmatullah pada pukul 06.00 WIB di kediaman seorang kerabatnya di Banjar, Ciamis, Jawa Barat. Penyair Angkatan ’45 ini tutup usia hanya beberapa hari menjelang ulang tahunnya yang ke-79 tahun. Beliau dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, pada 12 Oktober 1929.
Almarhum Toto Sudarto Bachtiar adalah penyair Angkatan ’45 yang cukup banyak menulis puisi-puisi perjuangan di masa kemerdekaan dulu bersama rekannya Si Binatang Jalang, Chairil Anwar. Salah satu puisinya yang sangat terkenal adalah Pahlawan Tak Dikenal yang dibuatnya sepuluh tahun setelah kemerdekaan (1955). Sepanjang kiprah kepenyairannya, ia baru menerbitkan dua buku kumpulan puisi saja, yakni Suara (1956) dan Etsa (1958).
Selain menulis puisi, bapak satu orang putri ini juga seorang penerjemah yang lumayan produktif. Karya-karya terjemahannya antara lain: Pelacur (Jean Paul Sartre;1954), Sulaiman yang Agung (Harold Lamb;1958), Bunglon (Anton Chekov;1965), Bayangan Memudar (Breton de Nijs; 1975), Pertempuran Penghabisan (Ernest Hemingway;1976), dan Sanyasi (Rabindranath Tagore; 1979).
Pujangga yang di masa tuanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan beternak ikan gurame ini, meninggalkan Zainar (istri), Sri Adilla Perikasih (anak), serta dua orang cucu. Beliau dimakamkan di TPU Gumuruh, Lengkong, Bandung.
Hanya berselang empat hari kemudian (13 Oktober 2007), sekali lagi kita menerima berita duka lainnya. Kali ini tentang wafatnya seorang sastrawati yang juga terkenal sebagai aktivis perempuan, Marianne Katoppo (64). Perempuan kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, 9 Juni 1943 ini, memiliki nama lengkap Henriette Marianne Katoppo. Beliau meninggal dalam perjalanan ke RS Azra, Bogor, akibat serangan jantung.
Sebagai novelis, ia dikenal dengan karya fiksinya yang berjudul Raumanen (1977) selain sebagai seorang feminis teolog. Raumanen yang memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (1975) ini juga memperoleh penghargaan lain, seperti: Hadiah Yayasan Buku Utama (1978) dan SEA Write Award dari Ratu Sirikit (1982). Novelnya yang lain adalah Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta (1977), Terbangnya Punai (1978), dan Rumah Di Atas Jembatan (1981). Dan seperti halnya Toto Sudarto, Marianne juga menerjemahkan novel-novel asing, antara lain : Malam (Elie Wiesel) dan Lapar (Knut Hamsun).
Adapun selaku pemikir feminis, karyanya yang gemilang adalah sebuah buku nonfiksi bertajuk Compassionate and Free (1979). Buku yang ditulis dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa ini, justru baru pada tahun 2007 diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia. Konon, karyanya ini banyak dipakai sebagai text book mata kuliah teologi feminis.
Dalam kenangan sastrawan Budi Darma, Marianne Katoppo adalah seorang perempuan yang sangat teguh berprinsip, keras, dan vokal. Keteguhan prinsip ini tampak jelas terlihat dalam Compassionate and Free. Dalam karyanya tersebut, anak bungsu dari sepuluh bersaudara ini, memilih untuk tetap menjadi “liyan” (yang lain), tetap menjadi perempuan. Menurutnya, menjadi “yang lain” bukanlah ancaman keserasian bagi lelaki. Pengalaman menjadi liyan adalah pengalaman mengalienasi diri ketika perempuan tidak berbeda dengan lelaki. Dalam masyarakat patriarki, untuk bisa maju, perempuan harus terlebih dulu menjadi laki-laki dan berhenti menjadi “yang lain” itu. Marianne menegaskan, bahwa sebetulnya para lelaki tidak perlu merasa terancam oleh keberadaan perempuan atau “yang lain” itu. Jika perempuan menuntut persamaan hak, itu lantaran pada dasarnya perempuan adalah manusia juga, sama seperti lelaki.
Ya.. mereka, Toto Sudarto Bachtiar dan Marianne Katoppo, kini telah terbaring dalam tidur panjang yang damai. Selamat jalan, Pak Toto. Selamat jalan, Bu Marianne…***
Endah Sulwesi
(Naskah diolah dari berbagai sumber)