Friday, January 18, 2008,11:02 AM
KENAPA LEONARDO?
Pentas Teater Koma Minus Musik dan Tarian

Tanggal 1 Maret tahun ini, Teater Koma genap berumur 31 tahun. Sebuah usia yang cukup panjang untuk sebuah grup teater di Indonesia. Sejak berdirinya, kelompok sandiwara ini dikomandoi Nano Riantiarno yang bahu-membahu bersama sang istri, Ratna, terus berupaya memperpanjang napas “anak kesayangan” mereka ini. Dan tahun ini mereka buka dengan pentas Kenapa Leonardo?

Naskah berjudul asli What About Leonardo? ini adalah karya seorang dramawan asal Slovenia, Evald Flisar. Flisar lahir di Gerlinci, Slovenia pada 12 Februari 1945. Selain menulis naskah drama (ada 12 naskah), mantan ketua Asosiasi Penulis Slovenia ini juga menulis novel, cerpen, dan esai-esai sastra. Novelnya yang paling terkenal adalah Going Away with The Wild Tiger yang telah dicetak enam kali. Ia hadir pada pertunjukan malam pertama (11/1) pentas Kenapa Leonardo? ini di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta.

Kisahnya adalah tentang sekelumit kehidupan di sebuah lembaga syaraf–semacam klinik penyakit jiwa–yang dikelola oleh dr. Hopman (N.Riantiarno) bersama pembantunya yang setia yang biasa disebut “suster” (Herlina S.) saja. Di sana ada lima orang pasien yang menjalani perawatan. Mereka adalah Martin (Budi Ros) yang mengidap amnesia akut tetapi memiliki kemampuan meniru yang menakjubkan; Bu Risah (Sari Madjid) yang mengalami gangguan dalam mengontrol gerakan-gerakan anggota tubuhnya; Prof.Karuso (Dudung Hadi) yang menggilai angka-angka; lalu ada pula Pak Miring (Joko Yuwono/ Adri Prasetyo) dengan otak mesum dan memiliki obsesi seorang aktor panggung; serta Rebeka (Tuti Hartati), gadis yang tergila-gila pada puisi dan dansa.

Hasil diagnosa dr. Hopman, penyakit para pasien itu disebabkan oleh faktor fisiologis, bukan psikologis, maka tidak mungkin disembuhkan. Sampai suatu hari datanglah dr. Dasilva, seorang dokter muda penuh gagasan pembaruan yang meyakini bahwa para pasien lembaga syaraf bisa kembali normal. Dokter cantik ini kemudian mengambil Martin sebagai “kelinci percobaan”-nya.

Namun, tatkala percobaannya mulai menunjukkan hasil, Dasilva justru mengkhawatirkan dampaknya bagi Martin, sebab ternyata ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab turut memanfaatkan “proyek Martin” tersebut untuk tujuan-tujuan jahat. Tetapi sayang, usaha menyelamatkan Martin sudah terlambat. Martin yang telah menjelma “Leonardo”–manusia baru abad 21–lepas kendali dan menimbulkan kekacauan yang berujung tragis.

Lewat naskah ini, tampaknya Evald Flisar ingin menyampaikan betapa pentingnya kemanusiaan bagi semua orang; bagi orang gila sekalipun. Manusia berbeda dengan benda atau hewan yang tidak memiliki kebebasan memilih serta kemampuan “merasa”. Kita harus senantiasa mengutamakan kemanusiaan dalam segala hal.

Menurut Ratna Riantiarno selaku pimpinan produksi, lakon ini adalah refleksi diri. Betapa dekat jarak antara ‘kenyataan’ dan ‘khayalan’. Betapa besar khayal memengaruhi kehidupan sehari-hari. Drama ini juga, masih menurut istri Riantiarno ini, merupakan pertarungan antara neurology, psikiatri, psikologi, dan politik. Ketika hukum kausalitas hilang keampuhannya dan kita tak mampu lagi saling melihat, itulah kengerian bagi dunia.

Pementasan ke-112 ini terasa berbeda dengan pementasan-pementasan sebelumnya karena minus lagu dan tari, bahkan ilustrasi musik sekali pun. Panggung yang biasanya ramai dan meriah oleh gerak dan tari jadi terasa “sunyi”. Materi guyonannya pun kurang “akrab” dengan peristiwa sosial politik tanah air seperti lazimnya Teater Koma selama ini. Durasi pertunjukan yang hampir 4 jam dengan lakon realis yang “serius” itu, agaknya bagi sebagian penonton cukup melelahkan. Beberapa kursi yang semula penuh, tampak kosong setelah jeda 15 menit.

Yang patut dipuji dari pementasan ini adalah setting panggung yang menampilkan salah satu ruangan dalam di lembaga syaraf tersebut; bergaya bangunan lama zaman kolonial Belanda, lengkap dengan jendela, pintu lengkung, serta gerbang besi yang khas.

Akting para pemain lumayan bagus, khususnya karakter Pak Miring yang genit dan sedikit mesum serta Bu Risah, berhasil menghidupkan suasana di setiap kehadirannya. Bintang tamu, Cornelia Agatha, tampil standar saja, tidak terlihat menonjol. Demikian pula Nano Raintiarno yang merangkap sebagai sutradara.

Pertunjukan ini akan berlangsung sampai dengan 24 Januari 2008.***ENDAH SULWESI
 
posted by biru
Permalink ¤