Monday, March 03, 2008,2:49 PM
DINO F.UMAHUK DAN METAFORA BIRAHI LAUT

Rabu malam pekan silam (27/2), Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan tampak ramai. Orang-orang muda satu per satu tampak bermunculan di sana. Lelaki dan perempuan. Mereka datang untuk menghadiri acara peluncuran buku kumpulan puisi Dino F.Umahuk yang diberi judul Metafora Birahi Laut.

Perhelatan yang berlangsung dari pukul 20.00 sampai menjelang pukul 22.00 itu dimeriahkan oleh berbagai acara. Ada diskusi buku dengan menampilkan cerpenis Kurnia Effendi sebagai pembicara, pembacaan puisi di antaranya oleh Yonathan Rahardjo dan Budi Setyawan, serta pementasan mini drama oleh kelompok Teater Pintu STBA LIA, Jakarta.

Buku perdananya ini memuat 127 buah puisi yang dibuat sepanjang tahun 2000 hingga 2007. “Ini adalah buah perjalanan dari lika-liku dan luka hidup saya,” ungkap Dino mengenai riwayat bukunya. Sejatinya, lelaki berdarah Ambon ini telah menulis puisi jauh sebelum tahun 2000. Tetapi kerusuhan Ambon pada 1999 telah membakar habis arsip-arsip yang berisi sajak miliknya. Tanpa sisa.

Dino yang lahir pada 1 Oktober 1974 ini menghabiskan masa remajanya di Ambon. Selain menekuni puisi, pria berkulit gelap ini sehari-harinya aktif sebagai Program Peace Building di Bappenas untuk reintegrasi dan perdamaian Aceh. Tak heran jika ia sering bolak-balik Jakarta-Banda Aceh.

Dalam makalahnya, Kurnia Effendi menulis, bahwa pembicaraan tentang laut (dalam hal metafora, sebagai latar tempat, personifikasi, maupun esensi) sangat karib dalam puisi Dino. Boleh jadi ini menunjukkan kedekatan penyairnya dengan laut sebagai lingkungan yang membesarkan dan atau menjadi obsesinya. Sebagai orang Indonesia bagian Timur, tepatnya Ambon, sekaligus sebagai cucu dari moyang Nusantara yang konon para pelaut, sudah seharusnya manusia Indonesia memiliki “darah” kelautan.

Sementara Ikranegara, budayawan yang kini mukim di Amerika Serikat, dalam kata pengantar di buku tersebut mengatakan, bahwa puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri; baik itu kejadian sosial politik, maupun yang terjadi atas diri pribadi.

Terlepas dari penilaian keduanya, kita berharap agar buku ini tidak lalu sekadar menjadi penanda kepenyairan seorang Dino Flores Umahuk, tetapi juga bisa ikut memberi kontribusi yang berarti bagi kekayaan ranah sastra Indonesia.***
 
posted by biru
Permalink ¤