Friday, February 08, 2008,10:29 PM
QAISRA SHAHRAZ: “Bagi saya kesetaraan itu penting.”

Selasa pagi menjelang siang, 5 Februari 2008, Qaisra Shahraz bersama suami dan Pangestuningsih dari Penerbit Mizan, tiba di Perkebunan Teh Gunung Mas. Bukan kunjungan resmi, hanya mampir untuk minum teh sembari istirahat di tengah-tengah jadwalnya yang padat sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandung. Qaisra berada di Indonesia sepekan lebih untuk mempromosikan kedua novelnya yang telah terbit, yakni The Holy Woman (2001) dan Typhoon (2003). Terjemahan Indonesianya menjadi Perempuan Suci dan Perempuan Terluka, diterbitkan oleh Mizan.

Selama di Indonesia–ini merupakan kedatangannya yang kedua–wanita kelahiran Pakistan dan besar di Inggris ini mengadakan serangkaian acara diskusi buku, jumpa penggemar, dan wawancara di sejumlah kota besar di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya). Siang itu, ia mengenakan busana muslimah berupa tunik coklat bermotif bordir dipadu celana panjang dan selembar kerudung hitam yang disampirkan di lehernya.

Pada kunjungan tersebut Qaisra tak sekadar menikmati kehangatan secangkir teh Walini saja, namun juga dipergunakannya untuk bercakap-cakap dengan sejumlah perempuan pekerja pabrik dan pemetik teh. Penulis yang pernah meraih Jubilee Award (2003) ini mengungkapkan, bahwa ia ingin bicara dengan banyak orang di seluruh dunia, terutama para perempuannya. Saya sungguh beruntung memperoleh kesempatan ngobrol dengan novelis cantik ini.

Riwayat kepenulisannya dimulai sejak ia berumur 19 tahun. Sebenarnya pada umur 14 tahun pun ia telah senang menulis. Kariernya dimulai sebagai jurnalis koran dan majalah sebelum kemudian membuat cerita pendek dan novel. “Dan saya telah menulis selama 23 tahun,” ujar Qaisra seraya mengaduk teh di cangkirnya. Saat ini ia tengah menyelesaikan novel ketiganya.

“Kepedulian saya pada hubungan antarmanusia, tetapi fokus utama saya perempuan,” Qaisra menjawab pertanyaan seputar kedua karyanya yang mengangkat persoalan perempuan di Pakistan, “Saya tertarik pada kehidupan mereka, pada yang mereka lakukan.” Dan itu tidak terbatas pada perempuan Pakistan saja, namun di seluruh dunia.

Menurut sarjana lulusan Universitas Manchester ini persoalan perempuan di dunia yang paling mengkhawatirkan adalah kesehatan. Pendidikan memang penting, tetapi kesehatan jauh lebih penting. Masih banyak perempuan di dunia ini yang tidak memiliki akses ke dokter, terutama saat hamil dan melahirkan yang dapat mengakibatkan kematian.

Dan Qaisra merasa sangat bersyukur sebab ia tinggal di Inggris yang memperlakukan para wanita dengan lebih baik dibandingkan tanah kelahirannya, Pakistan. “Ayah saya seorang sarjana dan punya pekerjaan serta latar belakang yang baik, saya beruntung sekali,” tutur Qaisra, “ tetapi jika saya tinggal di desa barangkali saya akan memiliki gaya hidup yang sangat berbeda.”

Namun dari semua, kata Qaisra dengan nada prihatin, kunci utamanya adalah masalah ekonomi. Bagaimana mau sekolah atau berobat ke dokter jika untuk makan saja sudah sulit. Kondisi ini menyebabkan para wanita terpaksa bekerja (kasar) mencari nafkah membantu suami meski harus meninggalkan anak-anak mereka di rumah. Tetapi andai para wanita ini berpendidikan tinggi, tentu keadaannya akan berbeda. Pendidikan akan menghindarkan mereka dari “perangkap” itu. “Saya sangat berharap wanita-wanita itu mendapat kesempatan yang sama seperti yang kita lakukan, dan bagi saya kesetaraan itu penting.”

Lantas, apa yang paling mengesankannya selama di Indonesia? “For me, it is especially wise people, lovely charming people,” sahut Qaisra dengan senyum lebarnya,” I don’t understand it fully, but that is the word I usually use to describe it. And I love it. That’s why I come back again.”

Saat jarum jam mendekati pukul 14, Qaisra beserta rombongan mohon diri. Sebelum benar-benar meninggalkan Gunung Mas, ia masih meluangkan waktu berbincang sejenak dan berfoto bersama ibu-ibu pemetik teh. ***

Penghargaan yang pernah diterima Qaisra Shahraz:


Commonword Prize (1988)
  • Ian St. James Award (1994)
  • Jubilee Award (2003)
  • Pakistan Television Award (2004)

  • endah sulwesi 8/2

     
    posted by biru
    Permalink ¤