Tuesday, February 26, 2008,10:12 PM
"SIDANG SUSILA" TEATER GANDRIK

Teater Gandrik dan Butet Kartaredjasa seperti kembar siam yang tidak terpisahkan. Sejak berdirinya pada 12 September 1983 mereka selalu bersama, bagaikan sepasang kekasih yang saling setia. Di mana ada pentas Gandrik, di situ berarti ada Butet. Teater asal Yogyakarta ini terakhir kali manggung tahun 2003, mengusung lakon Departemen Borok. Setelah vakum lima tahun mereka kembali mentas di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta selama dua malam (22-23 Februari 2008).

Sebagaimana galibnya pementasan Gandrik yang sudah-sudah, kali ini pun teater tersebut masih percaya pada kekuatan gaya sampakan yang meniadakan batas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”. Model permainan seperti ini juga sangat membuka peluang bagi para pemain melakukan improvisasi dan bahkan kadang-kadang melibatkan penonton. Pola sampakan ini diadaptasi oleh Gandrik dari banyak kecenderungan di teater tradisional Tanah Air. Misalnya saja, lenong Betawi atau ludruk Jawa Timuran.

Setiap aktor boleh bermain sebagai lelaki atau perempuan tanpa terjerumus menjadi banyolan banci-bancian yang slapstick. Seperti kali ini, dalam lakon Sidang Susila karya kolaborasi Ayu Utami dan Agus Noor, Butet kebagian peran perempuan pengacara (pembela). Dalam balutan kostum dan tata rias bernuansa Bali, “Raja Monolog” ini tampil kenes dalam perannya tersebut beradu akting dengan aktor lainnya yang juga memerankan karakter perempuan, Whani Darmawan.

Tentu saja naskah yang mereka pentaskan masih sarat dengan kritik sosial. Sidang Susila sejatinya ingin merespons dan menyikapi RUU Tentang Pornografi yang baru saja selesai digarap DPR dan telah diserahkan kepada pemerintah untuk disahkan. Dalam Undang-undang ini memuat segala peraturan ikhwal perbuatan dan perilaku masyarakat yang berkenaan dengan pornografi. Celakanya, menurut Ayu Utami, RUU tersebut memperlakukan kesenian, kebudayaan, dan adat istiadat sejajar dengan sekadar pengobatan disfungsi ereksi.

Lebih jelasnya, penulis novel Saman ini mengambil contoh pasal 8 RUU itu yang melarang orang menggunakan anak sebagai obyek atau model pornografi. Namun, di pasal 13, ada pengecualian: Larangan-larangan (tersebut)….tidak meliputi pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi untuk tujuan a) pengobatan gangguan kesehatan seksual, b) pertunjukan seni dan budaya, c) adat istiadat dan tradisi yang bersifat ritual.

Di panggung Gandrik, lakon Sidang Susila disajikan dalam kemasan komedi cerdas dan segar yang terkesan main-main, mengundang gelak tawa penonton yang malam itu (22/2) memenuhi seluruh kursi. Malah sebagaian ada yang rela membeli tiket “lesehan”.

Kisahnya adalah tentang Susila Parna (Susilo Nugroho), seorang pedagang mainan anak-anak yang sial terkena razia polisi susila. Tuduhan kepada lelaki berbuah dada big size ini adalah karena ia telah mempertontonkan tubuhnya di sebuah pesta tayuban. Maka, ia pun harus disidang untuk mempertaggungjawabkan perbuatannya yang dianggap asusila itu.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim (Heru Kesawa Murti) serta Jaksa (Whani Darmawan) itu mendakwa Susila dengan pasal berlapis-lapis sehingga Pembelanya (Butet Kartaredjasa) kesulitan memberikan advokasi. Sementara itu publik di luar ruang pengadilan ribut berdemo, sebagian menuntut Susila dihukum sesuai perbuatannya dan yang lain menyerukan tuntutan untuk membebaskan tukang mainan itu dari segala tuduhan. Ada juga kelompok dan pihak-pihak yang berusaha menangguk keuntungan dari kasus Susila ini. Semuanya merupakan gambaran riil yang terjadi di masyarakat kita.

Uniknya, pertunjukan ini disutradarai oleh sebuah tim yang terdiri dari para pemain dan semua yang terlibat di dalamnya. Hal ini berangkat dari situasi selama latihan yang berkembang setiap waktu; melahirkan gagasan-gagasan baru bagi pementasan tersebut. Ide semula yang ingin menunjuk seseorang sebagai dalang menjadi tidak relevan lagi lantaran pada kenyataannya peran sutradara itu dikerjakan secara keroyokan. Singkatnya, sutradaranya adalah Teater Gandrik. Adapun urusan musik masih tetap dipercayakan pada Djaduk Ferianto yang juga berperan sebagai Kepala Keamanan.

Jika ukuran sukses sebuah pertunjukan dilihat dari tiket yang terjual, maka pentas Gandrik pekan lalu terhitung sukses. Berikutnya, mereka akan menggelar Sidang Susila di Taman Budaya Yogyakarta pada 7 dan 8 Maret yang akan datang. ***ENDAH SULWESI
 
posted by biru
Permalink ¤