Friday, February 15, 2008,10:56 PM
MERAYAKAN CINTA BERSAMA SAPARDI

Entah disengaja atau tidak, pada tanggal 14 Februari 2008 bertepatan dengan hari yang dikenal sebagai Valentine’s Day, digelar acara pembacaan dan musikalisasi puisi-puisi cinta Sapardi Djoko Damono. Tak kurang dari dua puluhan sajak cinta dibawakan oleh sejumlah seniman di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Acara yang berlangsung selama dua malam berturut-turut ini menampilkan duet Ari-Reda, Jose Rizal Manua, Teater Tanah Air, Kelompok Paduan Suara Gita Swara Nassa, Lab. Musik Jakarta, Teater Tetas, Ags. Arya Dipayana, Cornelia Agatha, dan Ine Febriyanti.

Mereka secara bergantian mengusung puisi-puisi karya penyair gaek yang juga adalah guru besar dan kritikus sastra handal itu dalam bentuk pembacaan, teater, dan musikalisasi. Mengalunlah dengan indah dan syahdu di atas panggung untaian bait-bait cinta yang beberapa telah sangat akrab bagi para pencinta Sapardi dan Ari-Reda. Nomor-nomor beken seperti “Aku Ingin”, “Hujan Bulan Juni”, “Dalam Dirimu, “Nokturno”, “Di Restoran”, dan “Pada Suatu Hari Nanti” disenandungkan dalam nada-nada bening vokal Reda Gaudiamo yang kadang tinggi melengking dipadu suara manis Ari Malibu dengan iringan petikan gitar akustiknya. Keindahan duet itu tambah memukau tatkala maestro gitar, Jubing Kristanto, “turut campur” dalam nomor “Gadis Kecil” dan “Aku Ingin”.

Tak pelak lagi, malam itu duo Ari-Reda adalah bintang panggung yang dinanti-nanti penonton. Meski sebagian kursi terlihat kosong, namun tak mengurangi semangat mereka untuk memberikan penampilan terbaik. Sayangnya, penempatan perangkat lighting tepat di tengah-tengah panggung bagian depan, terasa sangat tidak pas dan mengganggu pemandangan ke atas pentas, terutama untuk hadirin yang duduk di kursi barisan depan. Bahkan ketika kelompok Lab. Musik Jakarta tampil, penonton di deret depan sama sekali tidak bisa melihat mereka lantaran terhalang oleh benda yang salah letak tersebut. Selebihnya, pertunjukan pada malam yang diguyur rinai gerimis tanpa henti itu, terbilang sukses. Antusias penonton pada setiap penampil cukup meriah. Rasanya akan bertambah seru andai para pengunjung malam itu bisa lebih ekspresif lagi dengan ikut serta berdendang bersama, seperti pada pertunjukan musik umumnya.

Pada kesempatan itu, sang empunya sajak turut didaulat pula untuk membacakan karyanya. Maka, ia pun beraksi dengan satu puisinya: “Hujan dalam Komposisi”. Dalam kurun waktu lebih dari empat puluh tahun kiprahnya, Sapardi telah mengabadikan karya-karyanya dalam beberapa buku kumpulan puisi, seperti Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), dan Ayat-ayat Api (2000). Kini, di usianya yang kian senja (lahir 20 Maret 1940), ia masih aktif berkarya, tanpa henti terus mencari kemungkinan atas kata. Sajak-sajak cintanya laksana mantra yang menyihir banyak orang. Bagaikan dua orang yang saling mencinta, begitulah Sapardi dan puisi : tak akan pernah terpisahkan. ***ENDAH SULWESI
 
posted by biru
Permalink ¤