Wawancara dengan Abidah El Khalieqy
Pada Seminar Sastra bertema “Perempuan dan Agama dalam Sastra” di Hotel Le Meridien, 22 Maret 2007 yang lalu, Abidah El Khaleiqy diundang sebagai salah seorang pembicara. Pada kesempatan itu, dengan lantang ia menyuarakan ide-ide feminisnya di hadapan hadirin. Makalah yang dibawakannya menyoroti peranan tradisi, budaya, dan agama (Islam) dalam mengekalkan budaya patriarki di masyarakat “Fiqihlah yang paling berpengaruh atas ter-subordinasinya perempuan. Karena itu harus dilakukan rekonstruksi fiqih dan re-interpretasi ayat-ayat (kitab suci)”, ujarnya bersemangat yang disambut tepuk-tangan para peserta seminar.
Abidah, dalam banyak karyanya – cerpen, novel, puisi – kerap mengangkat isu-isu perempuan, termasuk novel
Geni Jora yang meraih juara kedua Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003. Dalam novel tersebut, wanita kelahiran Jombang, 1 Maret 1965 ini mengungkap kehidupan di seputar pesantren putri. Sebagai mantan santriwati, ia berutur dengan fasihnya tentang sisi lain dari pesantren yang selama ini jarang mengemuka. “Seharusnya, pesantren dapat menjadi agent of change”, begitu Abidah berharap bagi perubahan nasib perempuan yang hingga kini masih termarjinalisasi di segala sektor kehidupan.
Berikut ini wawancara saya dengan Abidah yang dilakukan secara tertulis :
Di hampir semua karya-karya anda (cerpen dan novel) tampak sekali warna feminisme yang menyuarakan hak-hak perempuan serta gugatan akan kesejajaran hakiki antara lelaki dan perempuan. Menurut Anda apa sesungguhnya persoalan perempuan yang paling mendesak di negeri ini?
Jika kita mau sekilas saja menengok realitas kehidupan di negeri tercinta ini, kita pasti ternganga menyaksikan kebrutalan dan premanisme laki laki atas perempuan. Tengok saja tayangan teve. Seorang suami yang dibakar cemburu telah memotong payudara istrinya lalu mengunyahnya bak sepotong burger. Di channel lain, seorang suami menyiram wajah istrinya dengan airraksa. Masih banyak channel lagi yang mengekspos poligami para suami, nikah legal nikah illegal. Pada saatnya, ketika kita sedikit mampu lebih serius meneropong kenyataan, saat itu tak sempat lagi kita ternganga. Hanya bersyukur karena tak jadi stroke. Lalu kita tahu, setidaknya ada 15 ribu perempuan pertahunnya yang mengalami kekerasan, baik fisik atau psikis. Angka ini terus naik seiring semakin terbukanya para korban untuk berani bersuara dan melapor. Jadi sejatinya, ada proses pembungkaman yang sistemik telah dilakukan oleh patriarki, oleh budaya dan pemahaman agama. Ini yang mendesak untuk dibongkar dan ditata ulang.
Bagaimana tanggapan kalangan pesantren terhadap novel Geni Jora?Saya sudah terbiasa dengan pro-kontra para pembaca buku saya.
Novel Perempuan Berkalung Sorban sebenarnya lebih keras kritiknya terhadap Kitab Kuning dan para kyai, yang mereka adalah ‘para penguasa’ yang menciptakan pola pikir dan budaya. Namun saya melihat, ‘para penguasa muda’ memang lebih toleran dan responsif. Mereka lulusan perguruan tinggi terkemuka seperti Al Azhar Cairo atau Damaskus dan Libya. Dan rata rata, mereka menyambut baik novel-novel saya.
Apakah Geni Jora ini berangkat dari pengalaman pribadi anda? Apakah Kejora itu gambaran sebagian diri anda? Atau alter ego seorang Abidah?
Bisa jadi alter-ego. Namun sebuah novel tetaplah karya fiksi. Dan karya fiksi lahir tidak jauh dari apa yang kita rasakan, kita lihat dan pikirkan. Pun yang kita khayalkan. Dalam fiksi, kita bisa bermain antara khayalan dan kenyataan. Fiksilah yang menyediakan sebuah negeri ideal, di mana kita disuakan bersama tokoh dan sosok atau figur-figur yang ideal.
Apakah karya sastra cukup efektif sebagai media penyadaran mengingat angka melek huruf perempuan di negeri ini yang masih rendah?
Saya termasuk orang yang masih percaya bahwa kisah
Siti Nurbaya hanya dibaca oleh beberapa orang, namun hampir setiap orang tahu atau merasa tahu dengan sang protagonisnya. Demikianlah cara novel-novel itu berbicara. Sesuatu yang datang dari hati, akan sampai ke hati.
Oya, kabarnya anda juga tengah menyiapkan sebuah novel baru berjudul Nirzona. Apakah masih mengusung tema feminisme seperti Geni Jora?
Mungkin sedikit di antara nafasnya.
Tapi Nirzona lebih subversif dibanding novel-novel sebelumnya. Ia mengkritisi pihak yang selama ini jadi momok mengerikan di negri ini. Sangat usil dan peduli pada sejarah sebuah negeri yang hampir kolaps berikut topeng topeng para zombie. Mencoba tetap puitis seperti sepasang mata kekasih yang paling dirindukan….
Endah Sulwesi 27/3