Saturday, January 27, 2007,7:55 PM
Peluncuran "Becoming Dew"
Nama Reda Gaudiamo barangkali tak asing lagi bagi penikmat puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Wanita inilah yang bersama-sama dengan Tatyana membentuk duet "Dua Ibu". Duet kedua perempuan yang sama-sama berstatus ibu ini memang khusus membawakan lagu-lagu musikalisasi puisi. Bukan hanya karya Sapardi, tapi juga sajak-sajak Goenawan Muhammad mereka dendangkan. Biasanya dengan iringan alat musik berdawai : gitar, bas, cello, dan biola. Dua tahun silam, "Dua Ibu" menelurkan satu album bertajuk Gadis Kecil.

Rupanya Reda tak berhenti menyanyi hanya di "Dua Ibu". Tahun ini, ia menggandeng pula seorang sahabat lamanya, Ari Malibu, untuk menemaninya bernyanyi. Masih mengusung puisi-puisi Sapardi, kolaborasi mereka berdua akhirnya berhasil membuahkan album perdana dengan judul Becoming Dew yang pada Jumat malam, 26 Januari 2007, diluncurkan di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan.

Reda dan Ari pertama kali berduet tahun 1982, pada ulang tahun ke-25 Ikatan Kekerabatan Antropologi UI. Sejak itu, mereka lantas jadi sering manggung di acara-acara kampus. Namun, karena kesibukan masing-masing, duet tersebut tak berlanjut.

Baru setelah 25 tahun kemudian mereka bisa membuat album rekaman berisi 12 lagu dari sajak-sajak Sapardi. Dan mereka bernyanyi hanya dengan iringan petikan gitar tunggal yang dimainkan oleh Ari Malibu.

Becoming Dew diambil dari bait terakhir puisi Sapardi yang berjudul Jangan Ceritakan. Pada album ini, puisi tersebut dinyanyikan dalam bahasa Inggris. Selengkapnya puisi itu adalah sebagai berikut :

Jangan Ceritakan

bibir-bibir bunga yang pecah-pecah
mengunyah matahari,
jangan ceritakan padaku tentang dingin
yang melengking malam-malam
- lalu mengembun

versi Inggrisnya :

Don't Tell Me

chapped lips of flowers
chewing on the sun,
don't tell me about the cold
screeming deep into the night
- becoming dew

Beberapa lagu merupakan karya lama dan telah sering diperdengarkan, seperti misalnya: Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti, dan Metamorfosis.

Becoming Dew direkam dalam bentuk compact disc (CD). Dijual dengan harga Rp 50.000,-/per keping.

Tampil pula dalam acara semalam Wulan Guritno dan Happy Salma; membacakan masing-masing dua buah puisi. Reda dan Ari sempat pula mengajak pengunjung sejenak bernostalgia bersama lagu-lagu yang ngetop di era 80-an. Salah satunya, What A Feeling.


Endah Sulwesi 27/01
 
posted by biru
Permalink ¤ 1 comments
Friday, January 19, 2007,9:54 AM
"Kunjungan Cinta" Teater Koma
Memperingati ulang tahunnya yang ke-30, Teater Koma menggelar pertunjukannya yang ke-111 dengan lakon “Kunjungan Cinta”. Naskah yang – menurut Nano Riantiarno – sulit ini adalah hasil adaptasi dari drama karya Friedrich Durrenmatt, seorang dramawan asal Swiss. Pertunjukan berlangsung selama 2 pekan (12 – 28 Januari 2007) di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Agak sedikit berbeda dari biasanya, kali ini tak banyak dagelan yang dilontarkan di atas panggung. Namun bukan berarti tak lucu. Kalau tidak lucu bukan Teater Koma namanya. Teater yang berdiri pada 1 Maret 1977 ini memang telah telanjur dikenal sebagai sebuah kelompok teater yang kerap menampilkan cerita berbalut komedi satire.

Dalam perjalanan usianya yang 30 tahun – suatu usia yang panjang bagi sebuah grup teater di Indonesia – telah banyak peristiwa direkam dan dilalui. Kisah pahit getir pelarangan pentas pada masa Orde Baru turut mewarnai dan sekaligus membesarkan grup pimpinan Nano Riantiarno ini. Nyaris setiap pementasannya selalu dicurigai sebagai upaya merongrong penguasa. Nano sudah kenyang diinterogasi aparat militer dan polisi. Namun, semua itu tak lantas membuatnya jera. Suami Ratna Riantiarno ini terus berkiprah. Cintanya telah tertambat pada kesenian, khususnya teater.

Sepanjang 30 tahun usianya, Teater Koma banyak melahirkan aktor, penulis naskah, dan sutradara . Nama-nama seperti Rita Matu Mona, Syaeful Anwar, Salim Bungsu, Budi Ros, Idries Pulungan, Sari Madjid, Soebarkah dll merupakan sederet nama yang lahir dari ‘rahim’ Teater Koma.

Dalam beberapa kesempatan manggung, Teater Koma sering pula melibatkan “orang luar”. Misalnya saja, Harry Rusli (alm) untuk urusan musik; Robby Tumewu untuk kostum; Cornelia Agatha, Ria Irawan, Ine Febrianti, Tuti Indra Malaon (alm), Rima Melati, dan Butet Kertaredjasa selaku aktor.

Penghargaan Hadiah Sastra Indonesia pernah diraih kelompok teater ini pada 1998. Pada tahun yang sama pula berhasil merebut Anugerah Sastra Asean, SEA Write Award untuk naskah drama “Semar Gugat”.

“Kunjungan Cinta” bercerita tentang balas dendam. Klara Zakanasian (Ratna Riantiarno) kembali ke kampung halamannya, Kota Goela, setelah 45 tahun menghilang. Ia kini telah menjadi seorang nyonya kaya-raya pemilik berbagai perusahaan besar di dunia warisan para suaminya yang berjumlah 9 orang. Ia pulang ke Kota Goela demi sebuah dendam masa lalu kepada Ilak Alipredi (Butet Kertaredjasa).

Empat puluh lima tahun yang lalu Klara telah diperlakukan secara tidak adil oleh Ilak dan seluruh penduduk kota. Ilak menghamilinya tanpa mau bertanggungjawab. Ia dibiarkan terlunta-lunta dan terusir dari kota dengan membawa aib di perutnya. Ilak lebih memilih menikahi Matilda, putri seorang pedagang kaya.

Saat kembali ke Kota Goela yang kini nyaris bangkrut total, Klara bersedia menghibahkan dana sebesar 1 trilyun. Tapi tentu ada syaratnya, yakni : nyawa Ilak sebagai tukarannya. Ia ingin Ilak dibunuh. Kota Goela gempar. Warganya dihadapkan pada pilihan yang sulit : tetap menjaga moralitas tetapi miskin atau kaya-raya dengan membunuh Ilak.

Disutradarai oleh Nano Riantiarno, “Kunjungan Cinta” tampil dalam bentuk drama realis dengan setting panggung apik hasil kerja Onny K. Tak banyak lagu dan tarian sebagaimana lazimnya pentas Teater Koma. Akting menawan berhasil disuguhkan oleh Ratna dan Butet sebagai karakter utama. Juga Budi Ros selaku pemeran Walikota. Sementara Salim Bungsu menyegarkan suasana dengan perannya sebagai Kobi Si Buta.

Pada hari ke-5 pementasan, penonton cukup ramai memadati gedung Graha Bakti Budaya. Hanya tersisa beberapa kursi yang kosong. Dari catatan Teater Koma, pertunjukan mereka sejak pertama kali manggung mengusung lakon “Rumah Kertas” (1977) selalu dibanjiri penonton. Tiket senantiasa ludes terjual jauh hari sebelum pementasan. Sebuah kisah sukses yang barangkali belum pernah diraih oleh grup teater lain di Indonesia. Teater Koma telah menancapkan pesonanya sendiri di tengah publik penikmat teater. Selamat ulang tahun!



Endah Sulwesi 19/1
 
posted by biru
Permalink ¤ 0 comments