"TADINYA SAYA INGIN MASUK KOPASSUS….”
Nama Eddri Sumitra barangkali tidak ada yang mengetahui. Tetapi jika diubah menjadi E.S. Ito, tentu Anda, terutama para pencinta sastra, segera mengenalinya. Ya, Eddri Sumitra adalah nama asli E.S. Ito.
“Kakak perempuan saya yang pertama kali memanggil saya dengan nama Ito,” katanya memulai percakapan dengan saya di sebuah warung kopi di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, dua pekan silam. Perbincangan dengan pemuda berumur 26 tahun ini berlangsung akrab dan hangat ditemani secangkir kopi panas dan segelas coklat dingin. Langit pukul 4 sore itu tampak sedikit murung oleh mendung yang mengepung.
“Saya sudah tidak kuliah lagi,” jelasnya saat ditanya tentang studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejak dua tahun lalu Ito meninggalkan bangku kuliahnya dan kini bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengurusi persoalan sosial politik Papua. Kantornya di kawasan Tebet, Jakarta. Petang itu Ito kelihatan santai dalam balutan kemeja biru muda dan celana jins yang juga berwarna biru.
Rupanya keputusan berhenti kuliah lantaran Ito akhirnya tidak bisa lagi mengerjakan hal-hal yang bukan menjadi minatnya. Seperti terlihat dalam dua novelnya, minatnya adalah sejarah. Ketika lulus dari SMA Taruna Nusantara–salah satu sekolah terbaik di Indonesia–Ito memilih Fakultas Ekonomi karena ingin realistis. Menurutnya, di Indonesia ini bidang studi sejarah tak memberi masa depan yang menjanjikan. Mendingan jadi akuntan dari pada jadi ahli sejarah.
“Paling banter jadi dosen atau pengamat,” kilahnya . Awalnya, dia malah sebetulnya bercita-cita masuk AKABRI, karena itulah ia sekolah di SMA Taruna Nusantara. “Tadinya saya ingin masuk Kopassus. Ha..ha..ha,” Ito tertawa mengenang masa lalunya.
Di jagat sastra Tanah Air, ia masih termasuk pendatang baru dengan dua buah novelnya: Negara Kelima (2005) dan Rahasia Meede (2007). Keduanya cukup mendapat sambutan hangat dari publik pembaca sastra. Bahkan, Rahasia Meede yang ditulis selama dua tahun itu, telah cetak ulang.
Novel yang kental dengan nuansa sejarah itu sempat ramai dibincang di milis-milis sastra. Beberapa pendapat menyatakan, bahwa Ito terpengaruh Dan Brown dan Pramoedya Ananta Toer. Dan Ito yang lahir di Kamang, kampung kecil berjarak 12 km dari Bukittinggi, Sumatera Barat ini tak menyangkal. “Mungkin benar begitu. Tetapi siapa yang tidak membaca Da Vinci Code? Kita semua membacanya”, ujarnya. Dan Pram, tentu ia juga sangat mengaguminya. Buku Pram yang menjadi favoritnya adalah Arus Balik.
Namun, perkenalan pertamanya dengan karya fiksi adalah lewat komik strip karya Jan Mintaraga yang nongol setiap pekan di majalah anak-anak Ananda di tahun 80-an. Saat itu Ito masih SD. Kemudian oleh sang kakak yang bekerja di perpustakaan sebuah sekolah Aliyah di kampung mereka, Ito dipinjami buku Tafsir Al Azhar HAMKA karya ulama besar HAMKA sebanyak 30 jilid.
Persentuhannya dengan HAMKA ini mengendap selama bertahun-tahun untuk kelak teraktualisasi dalam tulisan-tulisannya semasa ia terlibat aktif dalam kehidupan politik di kampusnya.Seperti anak muda lainnya, Ito pun sempat ikut aksi-aksian mendemo penguasa. Polemik dan “perang” puisi-puisi pamflet juga dialaminya. Kampuslah yang memicu keluar bakat menulisnya.
“Saya masih ingat satu puisi yang saya buat untuk menyindir perilaku borju kelompok mahasiswa yang senangnya berpesta dan bikin acara hura-hura”, Ito menyungkil sekelumit kenangan dari ingatannya, “ Judul puisi itu Boneka Barbie,” lanjutnya. “Tetapi itu masa lalu. Sebenarnya kita tetap membutuhkan keberadaan mereka (para mahasiswa borjuis itu) agar kita bisa selalu tampil sebagai pahlawan. Ha..ha..ha..” Gelak tawanya yang lepas itu sejenak menghapus kesan introvert dan pemalu pada diri anak muda bertubuh tegap ini.
Ito lahir pada 21 Juni 1981 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Suardi Katik Batuah dan Rosnadiar. Masa kecil hingga remaja dihabiskannya di Kamang sana sebelum hijrah ke Magelang dan akhirnya menclok di Jakarta. Ketika ia menyangkal tentang kesenangannya membaca, saya paham bahwa ia sekadar sedang berendah hati saja. Sebab sepanjang obrolan yang menghabiskan waktu 2 jam itu meluncur dengan fasih dari bibirnya nama-nama mulai Lupus, Trotsky, sampai Gorky. “Saya ini orangnya pragmatis; hanya membaca yang saya perlukan.”
Tatkala kopi di cangkirnya mendingin dan tersisa separuh, perbincangan telah menginjak pada wilayah privat: pacar. Pengagum Bung Hatta ini mengaku masih senang menjomblo. Sementara ini kenikmatan baginya adalah jika bisa main gaple sampai pagi bersama para sahabat.
Lantas, sampai kapan ia akan terus menulis? “Sampai bosan,” sahutnya dengan sesungging senyum. Ia lalu mereguk sisa kopinya sebelum menyudahi seluruh percakapan petang itu. Waktu di arloji saya menunjuk jam 6 lewat 10 menit.***
Akademi Jakarta yang diketuai oleh sejarawan Taufik Abullah, tahun ini kembali menganugerahkan penghargaan kepada seseorang yang dinilai berjasa dan mendedikasikan hidupnya bagi perkembangan seni dan budaya Tanah Air. Kali ini penghargaan tersebut diberikan kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri.
Dipilihnya Sutardji merupakan hasil kesepakatan para juri yang terdiri dari Remy Silado (ketua), Alfons Taryadi (anggota), Enin Supriyanto (anggota), Imam Umar atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Iman Soleh (anggota), dan Karlina Supelli (anggota).
Para juri ini menganggap Sutardji patut mendapatkan anugerah tersebut dengan beberapa alasan. Di antaranya, penyair asal Riau ini telah menunjukkan larasnya antara sikap hidup, sikap berkesenian, serta tanggungjawab atas karya-karyanya sepanjang hidupnya. Sutardji juga hadir dengan sangat meyakinkan atas piranti pertanggungjawaban estetisnya yang disebut “credo” , sebagai isyarat baru dalam peta sejarah seni kontemporer Indonesia, khususnya pasca Chairil Anwar. Lewat “credo”-nya penyair yang dijuluki sebagai presiden penyair oleh Abdul Hadi WM ini telah memerdekakan diri dari keterbatasan dalam bahasa Indonesia.
Nama Sutardji akhirnya mencuat sebagai “pemenang” setelah “mengalahkan” sejumlah nama seniman lain yang juga menjadi kandidat kuat penerima anugerah seni tersebut. Mereka adalah Taufiq Ismail, Darmanto Yatman, Putu Wijaya, Rahayu Supanggah, Sunaryo, dan Yohanes Surya.
Pada awalnya, anugerah ini bernama “Hadiah Seni” . W.S. Rendra adalah seniman yang pertama kali menerimanya (1975). Sejak 2005 namanya diubah menjadi “Penghargaan Akademi Jakarta”. Saat itu jatuh kepada koreografer Retno Maruti.
Dibentuk pada 39 tahun yang lalu (1968), dalam perjalanannya Akademi Jakarta telah memberikan penghargaan kepada sepuluh orang seniman atas kerja keras, dedikasi, dan karya-karya yang mereka hasilkan. Anggota Akademi Jakarta diresmikan pertama kali oleh Gubernur Ali Sadikin melalui surat keputusan gubernur tertanggal 24 Agustus 1970. Sutan Takdir Alisjahbana ditunjuk sebagai ketuanya. Keanggotaan Akademi Jakarta ini untuk seumur hidup dengan maksud agar tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan politik dan kekuasaan yang terjadi. Meskipun namanya Jakarta, tetapi para anggotanya meliputi seluruh Indonesia. Jakarta hanya merupakan lokasi Akademi tersebut.
Pada saat berdirinya hingga lima tahun kemudian anggotanya hanya sepuluh orang. Namun, sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman, pada 2002 membengkak menjadi 27 orang. Salah satu tugas Akademi ini adalah memberikan hadiah seni kepada ciptaan seni di seluruh Indonesia yang bermutu luar biasa.
Pada tahun ini, acara penyerahan Penghargaan Akademi Jakarta tersebut dilangsungkan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada hari Senin, 10 Desember 2007 pukul 10.00 s.d. 12.00. Dalam kesempatan tersebut hadir dan bertindak sebagai wakil Akademi Jakarta yang menyerahkan piagam penghargaan kepada Sutardji adalah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Selain itu, tahun 2007 ini Akademi Jakarta juga memberikan Piagam Penghormatan kepada mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin atas jasa dan kerja kerasnya sebagai pemancang tonggak kebudayaan. Bang Ali, demikian sapaan akrab bagi lelaki kelahiran Sumedang 81 tahun silam itu, semasa kepemimpinannya telah memberikan perhatian yang besar kepada kesenian.
Menurut W.S. Rendra dalam sambutannya, Bang Ali bukan hanya membangun sosial dan ekonomi kota metropolitan, tetapi juga membangun kebudayaan. Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta didirikan atas prakarsa beliau lengkap dengan sarananya, yaitu Taman Ismali Marzuki (TIM). Di luar TIM dibangun pula gelanggang-gelanggang remaja sebagai wadah anak-anak muda berkesenian.
Dan yang terpenting dari itu semua, Ali Sadikin bukan sekadar menciptakan sarana dan dana untuk kiprah kesenian, tetapi juga memberikan kedaulatan penuh kepada lembaga-lembaga tersebut supaya dapat bekerja mandiri. Dampaknya kemudian, masih mengutip Rendra, TIM menjadi semacam tolok ukur bagi perkembangan kesenian di seluruh Nusantara. Untuk itu semua, pantaslah kiranya Bang Ali memperoleh penghormatan dari Akademi Jakarta. ***
Para penerima Hadiah Seni/Penghargaan Akademi Jakarta
W.S. Rendra (dramawan), tahun 1975
Zaini (pelukis), tahun 1978
Gregorius Sidharta Soegijo (perupa), tahun 2003
Nano S. (pemusik), tahun 2004
Gusmiati Suid (koreografer), tahun 2004
Retno Maruti (koreografer), tahun 2005
Amir Pasaribu, tahun 2006
Raden Pandji Soejono, tahun 2006
Tenas Effendy, tahun 2006
Sutardji Calzoum Bachri, tahun 2007.
Endah Sulwesi